Jakarta, ILLINI NEWS – Masyarakat Indonesia sudah ratusan tahun pergi ke dukun untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Baru kemudian segalanya berubah ketika warga dunia mempunyai akses terhadap pengobatan modern. Hanya saja tidak mengubah cara orang berobat ke dokter. Mereka juga bertemu dengan seorang dukun.
Sebagai gambaran, terminologi dukun pada ratusan tahun yang lalu tidaklah sesempit sekarang, karena hanya manusia yang memberikan mantra. Dahulu, jika mengacu pada Encyclopaedie van Nederlansch-Indie (1917), dukun adalah istilah yang digunakan untuk dukun pribumi. Ada dukun pijat, dukun bayi, dukun asmara, dan masih banyak lagi.
Fenomena seperti ini membuat banyak pakar Eropa datang ke Indonesia dengan tujuan mengungkap praktik perdukunan. Mereka datang tidak hanya untuk mempelajari metodologi di balik pengobatan, tetapi juga untuk mendapatkan wawasan tentang populasinya.
Pasalnya, dukun seringkali tidak hanya mempromosikan mantra, tetapi juga aspek sejarah dan etnografi masyarakat Jawa kuno. Sejak abad ke-19, dokter-dokter dari Eropa datang ke Indonesia untuk meneliti pengobatan dukun.
Dokter pertama yang mempelajari pengobatan lokal adalah F.A.C. Pada awalnya, Waltz terkejut melihat begitu banyak orang Eropa dan penduduk asli pergi ke dukun, bukannya menemuinya.
Maka, ia mencoba mencari tahu apa yang terjadi di balik metode pengobatan dukun tersebut. Singkat cerita, ia mengetahui bahwa pengobatan dukun tidak ada hubungannya dengan mantra, melainkan bergantung pada keberhasilan pengobatan herbal.
Obat herbal ini didapat dari tanaman herbal yang mudah didapat. Namun bagi Waltz, pengobatan herbal perlu dibuktikan secara ilmiah. Sebab obat-obatan yang digunakan dukun didasarkan pada trial and error. Artinya pengobatannya bukan berdasarkan kebiasaan dan pengalaman, bukan berdasarkan ilmu pengetahuan.
Dari sinilah ia bertekad menjadi orang pertama yang meneliti secara ilmiah obat herbal.
Sejarawan Hans Pols dalam “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Mediation Networks” (2008) mengatakan bahwa dokter-dokter Eropa bergegas melakukan eksperimen.
Dia mencari informasi dan mencoba narkoba sendiri. Singkat cerita, perjalanan panjang mempelajari praktik perdukunan dan penggunaan obat-obatan herbal membuahkan hasil yang positif.
Pada tahun 1829, ia mencatat semuanya dalam karya berjudul Pratische Waarnemingen Over Eenige Javaansche Geneesmiddelen (Pengamatan Praktis Beberapa Obat Jawa).
Dalam buku tersebut ia tidak hanya mencatat obat-obatan herbal Jawa, tetapi juga tentang penyakit-penyakit yang dibawa orang Eropa ke Jawa dan obatnya. Begitu pula dengan pengklasifikasian obat berdasarkan ilmu kedokteran modern.
Selain Waltz, dokter Eropa lainnya yang tinggal di Surabaya bernama Sybrand Schilstra juga melakukan hal tersebut. Pada tahun 1900-an, ia juga mengatakan bahwa obat dari dukun lebih ampuh dibandingkan obat modern dari dokter.
Berbagai penemuan para ahli Eropa kemudian menambah penegasan keefektifan obat herbal yang tidak dimiliki oleh dukun. Pasalnya, cara mengaji yang dilakukan dukun lebih banyak pada aspek psikologis. Sebab, dukungan dari dukun bisa mempengaruhi kekuatan pikiran, sehingga pasien bisa yakin bisa sembuh.
Aspek psikologis ini dijelaskan langsung oleh antropolog Perancis Claude Levi-Strauss dalam “Shamans and their Magic” (1949). Dikatakannya, kunci keberhasilan dukun didasarkan pada ritual kepercayaan antara dukun, pasien, dan masyarakat.
(mfa/mfa) Simak videonya di bawah ini: Video: Lirik Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global Prospek Bisnis