JAKARTA, ILLINI NEWS – Pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat, namun pertumbuhan kredit terus meningkat. Per September 2024, kredit perbankan meningkat 10,85% (year-on-year) menjadi Rp 7.579 triliun menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pada periode yang sama, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,95% per tahun pada kuartal III 2024.
Sementara itu, pertumbuhan kredit lebih banyak didukung oleh sektor korporasi yang seharusnya mendukung konsumsi rumah tangga. Faktanya, masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini dihantui oleh fenomena penimbunan (mandapam), lemahnya daya beli, dan penurunan kelas.
Bitar Abdullah, direktur pelaksana Segara Research, mengatakan pertumbuhan kredit tidak bersifat “one-to-one” dengan pertumbuhan ekonomi. Padahal, kata dia, sebelumnya pertumbuhan kredit mencapai 25%, namun pertumbuhan ekonomi kurang dari 6%.
“Kredit korporasi dan kredit konsumsi itu mirip. Kredit korporasi mungkin tinggi, sedangkan kredit konsumsi mungkin tidak tinggi,” kata Bitar, Rabu (12/04/2024) dari ILLINI NEWS.
Ia menjelaskan beberapa alasan. Diantaranya adalah tingkat efisiensi perekonomian yang ditunjukkan dengan koefisien peningkatan modal (ICOR), yaitu rasio yang menunjukkan besarnya tambahan investasi yang diperlukan untuk meningkatkan satu unit output.
“Kredit bank mungkin tinggi, artinya investasi tumbuh, tapi karena ICOR tinggi, pertumbuhan ekonomi rendah,” jelas Bitter.
Ditambah lagi dengan indikator ketimpangan yang besar, sehingga daya beli masyarakat miskin tidak meningkat.
“Hanya orang kaya yang menikmati pertumbuhan ekonomi,” kata Bitter.
Menurut Ryan Kiryanto, Co-Editor LPPI, kinerja sektor perbankan saja tidak mampu menopang pertumbuhan ekonomi negara seperti halnya sektor lainnya. Sama seperti pasar modal, perusahaan mencari uang dengan berbagai cara.
Penyaluran kredit yang didukung sektor korporasi sebagian besar berasal dari bank-bank milik negara (Himbara).
“Karena sejalan dengan rencana pemerintah dalam rangka penyusunan rencana strategis nasional. Nilai pinjamannya tinggi dan hanya bisa ditanggung oleh bank Himbara saja, baik secara individu maupun sindikasi atau konsorsium,” ujarnya. . kata Ryan saat dihubungi ILLINI NEWS, Rabu (4/12/2024).
Pada saat yang sama, sektor UMKM melemah seiring menurunnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, pertumbuhan kredit pada sektor UMKM dibarengi dengan peningkatan proporsi kredit miring dan non-performing loan.
“Jadi mungkin di tahun 2025 mendatang, seluruh korporasi masih mendukung rencana pemerintah memperingati Asda Cita saat ini,” pungkas Ryan.
Ia mengatakan, penyaluran kredit perbankan ke segmen UMKM harus lebih hati-hati ke depan.
“Saya tidak bilang stop kredit, tapi tetap harus hati-hati karena pemulihan ekonomi kelas menengah tidak akan terjadi dalam waktu dekat,” kata Ryan.
Secara terpisah, Kepala Ekonom Bank Permata Joshua Burdate mengatakan penyaluran kredit perbankan akhir-akhir ini meningkat karena adanya insentif kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM). Banyak segmen yang dicakup oleh KLM merupakan segmen padat modal dibandingkan padat karya. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi tidak akan berdampak pada seluruh keluarga,” tuturnya.
Dalam hal ini, mulai 1 Januari 2025 BI KLM akan mengalihkan kebijakan tersebut ke sektor padat karya. Insentif KLM merupakan insentif yang ditetapkan BI dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi 4%. Insentif tersebut diberikan kepada bank-bank yang menyalurkan kredit pada sektor-sektor yang menurut BI mempunyai kontribusi signifikan terhadap perekonomian.
(mkh/mkh) Tonton video di bawah ini: Video: Syarat UMKM mendapat pinjaman baru setelah pajak! Artikel Berikutnya BI: Kredit perbankan tumbuh 12,36% year-on-year per Juni 2024