berita aktual Pengendalian Food Waste Lewat Literasi Konsumsi yang Berkelanjutan

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat staf redaksi illinibasketballhistory.com

Mentan menyampaikan Indonesia mempunyai kemampuan dalam menghadapi ancaman darurat pangan. Pada saat yang sama, United Nations Environment Programme (UNEP) menempatkan Indonesia sebagai penghasil sampah makanan terbesar di Asia Tenggara, setara dengan 20,93 juta ton sampah makanan setiap tahunnya, mulai tahun 2022. Sebuah paradoks yang menyedihkan.

Angka yang luar biasa ini menjadi semakin tragis ketika melihat perbandingan grafis Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional yang memperlihatkan tumpukan sampah makanan Indonesia yang melebihi ketinggian menara Monas. Sampah pangan ini sebagian besar berasal dari produk akhir pangan yang tidak dapat diolah melalui proses pengolahan sampah di tempat pengumpulan sampah karena mengandung unsur-unsur yang tidak dapat diterima oleh lingkungan.

Situasi ini berpotensi merugikan negara sebesar Rp213 triliun setiap tahunnya atau setara dengan 4% pendapatan nasional (PDB). Ini memang merupakan situasi kronis yang memerlukan solusi strategis yang mendesak. Sebelum berfokus pada solusi penanganan limbah makanan di hilir, penting untuk menelusuri sumber utama produksi limbah makanan di hulu.

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hotel, rumah makan, rumah makan dan kantin di sektor informal, supermarket lebih banyak menyumbang sampah makanan yang belum jadi di dalam negeri, dan perilaku masyarakat yang suka meninggalkan makanan tidak terlalu penting. Berbagai penelitian ilmiah menunjukkan bahwa perilaku manusia merupakan faktor mendasar dalam intervensi pengendalian konsumsi buah dan sayur. Sebuah studi oleh Conrad dkk yang diterbitkan di PLoS One pada tahun 2018 menyatakan bahwa kelompok orang yang mempraktikkan pola makan sehat, terencana, dan ramah lingkungan secara klinis dan statistik memiliki tingkat limbah makanan yang jauh lebih rendah dibandingkan kelompok orang yang mengikuti pola makan yang dapat diterima secara sosial. tingkat perilaku konsumsi secara umum.

Kelompok orang yang rutin makan buah dan sayur 1-2 kali sehari menghasilkan sisa makanan yang lebih sedikit dibandingkan kelompok yang tidak suka makan buah dan sayur. Secara medis, dapat dijelaskan dengan jelas bahwa serat berperan penuh dengan menunda pengosongan lambung, sehingga mencegah seseorang makan dan menahan makanan berlebih.

Indikator konsumsi buah dan sayur kemudian menjadi salah satu konteks perilaku berkelanjutan yang banyak dipromosikan di negara-negara maju. Bahkan di beberapa negara Skandinavia, buah dan sayur dimasukkan dalam kebijakan subsidi kesehatan.

Aspek kebijakan mengenai ketersediaan dan keterjangkauan pangan di negara maju dianggap sebagai indikator keberhasilan program. Hal ini tentu saja dibarengi dengan program pendidikan sistematis mengenai gizi berkelanjutan yang menyasar lembaga pendidikan dasar yang menyertakan masyarakat dan keluarga sebagai elemen pendukung utama.

Dampaknya terlihat pada tingkat sampah makanan yang menempatkan negara-negara di kawasan ini pada posisi terendah di dunia. Kampanye makan buah dan sayur merupakan strategi intervensi awal dalam pengendalian sampah makanan yang telah terbukti secara ilmiah efektif dan efisien dalam pelaksanaannya.

Bagaimana dengan Indonesia? Indeks Niat Keberlanjutan Diet (Dietary Sustainability Intent Index) 2023 dari Health Collaborating Center (HCC) kurang lebih menggambarkan keadaan perilaku konsumen dan kemungkinan individu membuang sisa makanan yang tidak terpakai.

Studi yang dilakukan terhadap 2.531 responden ini menunjukkan bahwa di antara delapan produk pangan berkelanjutan yang berstandar internasional sesuai rekomendasi WWF, statistik umum menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia berada pada level di luar standar yang dapat diklasifikasikan. sebagai berkelanjutan.

Perilaku yang dianggap buruk adalah aspek pemilihan makanan. Banyak yang masih mengonsumsi makanan tinggi lemak jenuh dan lemak olahan serta sedikit mengonsumsi sayur-sayuran. Data Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan gambaran rendahnya konsumsi buah dan sayur masyarakat Indonesia.

Dari aspek ini terlihat bahwa fokus pada promosi kesehatan terkait perilaku makan sehat dengan kandungan buah dan sayur yang tinggi merupakan intervensi yang mungkin belum diperbaiki oleh pemerintah. Pesan gizi yang baik dalam kampanye Isi Piringku mungkin dapat dikembangkan, tidak hanya berdampak pada kesehatan diri sendiri, namun juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan lingkungan, salah satunya adalah mengurangi sampah makanan.

Makan sayur dan buah tidak hanya menyehatkan, tetapi juga membantu menjaga lingkungan. Sesederhana itu.

Strategi Nutrisi Berkelanjutan Global Sejumlah penelitian kesehatan masyarakat di berbagai negara telah merangkum strategi efektif untuk mempromosikan tren dan perilaku nutrisi berkelanjutan yang telah terbukti secara ilmiah dapat mengurangi jumlah limbah yang tidak dapat dimakan. Di Jerman, kebijakan perencanaan makan atau perencanaan menu massal di tingkat keluarga telah terbukti membantu mengurangi pembelian berlebihan dan mengurangi sampah makanan.

Kebijakan strategi pangan perkotaan yang terintegrasi selama dua dekade terakhir telah secara signifikan mengurangi kontribusi sampah makanan terhadap total timbulan sampah nasional. Individu dapat membuat daftar belanjaan berdasarkan kebutuhan sehari-harinya, mengikuti rencana makan yang telah disiapkan.

Di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, kebebasan pemerintah negara bagian untuk menerapkan kebijakan masuk pertama, keluar pertama (FIFO) di tingkat bisnis pangan telah terbukti mengurangi produksi limbah makanan secara signifikan dalam waktu kurang dari satu dekade. Prinsip FIFO digunakan dalam penyimpanan makanan di setiap restoran, rumah makan, kantin dan supermarket melalui aturan untuk mengatur stok makanan yang akan diolah atau dipajang di rak supermarket.

Prinsip FIFO merupakan kebijakan promosi kesehatan yang banyak digunakan pada masyarakat perkotaan dan restoran di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia. Perlu adanya perbaikan sistem pengelolaan penyimpanan pangan dan produk pangan pada restoran dan jasa katering.

Sebab, sektor ini menyumbang paling besar terhadap hilangnya makanan yang tidak bisa dimakan. Perbaikan pengelolaan berpotensi mengurangi risiko kadaluwarsa pangan, sehingga produk pangan olahan tidak berakhir di tempat pembuangan sampah.

Pertanyaan penting mungkin muncul mengenai besarnya dampak upaya untuk mendorong sistem pangan berkelanjutan dengan mengelola sampah makanan di tempat pembuangan sampah. Perubahan pola dan perilaku konsumsi pada tingkat individu dan masyarakat bukanlah jenis investasi yang akan berdampak cepat.

Berdasarkan pengalaman beberapa negara maju dengan sistem kebijakan publik yang mapan, kebijakan untuk mendorong perilaku sehat memerlukan implementasi selama puluhan tahun agar dapat menghasilkan pengurangan limbah makanan yang terukur. Tujuan jangka pendek untuk mengurangi sampah makanan dan mengakhiri sampah jangka panjang yang ditimbulkannya sangatlah mendesak, tentunya salah satu langkah segera adalah dengan mengaktifkan teknologi pengolahan sampah.

Namun, mengubah kebiasaan gaya hidup sehat merupakan langkah mendasar dalam mengatasi akar permasalahan krisis sampah makanan di Indonesia. Investasi dalam kampanye kesehatan terpadu di sekolah dan keluarga harus ditingkatkan, dengan aspirasi utama untuk meningkatkan literasi kebiasaan konsumsi pangan berkelanjutan. (mik/mik)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *