illini berita Hilirisasi Mineral dan Aspek Ketenagalistrikannya

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat dewan redaksi illinibasketballhistory.com

Salah satu program pemerintah adalah mengurangi sumber daya alam untuk diolah menjadi berbagai produk yang memberikan nilai tambah. Program pengurangan ini antara lain mencakup penipisan sumber daya alam (SDA), termasuk sumber daya pertanian, kelautan, dan mineral.

Sejauh ini, program yang paling cepat berkembang adalah pengurangan mineral logam melalui pembangunan pabrik peleburan nikel dan bauksit. Pertumbuhan pesat tersebut antara lain terlihat pada data investasi di sektor tersebut.

Menurut Kementerian Investasi/Dewan Koordinasi Penanaman Modal (CIBIC), investasi asing langsung di industri logam primer (PMA) merupakan sektor dengan pertumbuhan lapangan kerja terendah dan nilai investasi tertinggi pada tahun 2019-2023. dibandingkan dengan industri lainnya. .

Pada periode tersebut, nilai investasi industri logam dasar (termasuk smelter) tercatat sebesar 38,8 miliar dollar AS (setara Rp 581,50 triliun, kurs Rp 15.000/USD), atau porsi 21,09% dari total PMA dan tingkat pertumbuhan yang moderat. – rata-rata 45,96% per tahun.

Dengan tingginya pertumbuhan investasi pembangunan smelter metalurgi, investasi di sektor pertambangan juga tumbuh pesat. Sebagai pemasok bahan baku industri pengelasan, penanaman modal asing di industri pertambangan mencapai $11,59 miliar (Rp173,84 triliun, kurs Rp15.000/USD) dengan share 6,30% selama 2019-2023. Pertumbuhan keseluruhan dan tingkat pertumbuhan rata-rata investasi FDI masing-masing adalah 24,63%-tahun. (lihat diagram)

Berdasarkan perkembangan tersebut, investor asing tampak sangat agresif berinvestasi di industri peleburan Indonesia. Investasi FDI terbanyak berada di Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2019 hingga 2023, penanaman modal asing akan dilakukan pada industri logam di Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Sulawesi Selatan.

Ia menciptakan jaringan peleburan Proyek Strategis Nasional (PSN). Sesuai Keputusan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, PSN merupakan salah satu bidang usaha yang memenuhi persyaratan bidang usaha prioritas.

Dengan status tersebut, insentif finansial dan non finansial diberikan kepada investor yang menggunakan modalnya pada bidang usaha prioritas. Insentif non finansial antara lain menjamin ketersediaan energi, antara lain Tabel: Perkembangan Investasi FDI Berdasarkan Sektor dan KBLI

Menyelaraskan karakteristik bisnis dan biaya listrik merupakan tantangan besar saat ini. Undang-Undang Presiden (Perpres) 4 Tahun 2016 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan 14/2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, pemerintah menunjuk perusahaan tersebut untuk mengembangkan infrastruktur ketenagalistrikan. .

Dengan keahlian berinvestasi dan reputasi menarik pendanaan asing, penulis dapat berperan dalam membangun infrastruktur ketenagalistrikan PLN untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk industri pembakaran.

Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, terutama terkait dengan model bisnis penyediaan tenaga listrik untuk industri pengelasan, yang dapat saling menguntungkan bagi pelaku usaha, perusahaan utilitas (dalam hal ini PLN) dan pemerintah. Setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam penyediaan tenaga listrik pada industri pengelasan.

Pertama, mencocokkan karakteristik perusahaan listrik dengan karakteristik industri peleburan. Perlu diketahui bahwa keberlangsungan industri pengelasan dibatasi oleh ketersediaan bahan baku, dalam hal ini sumber daya mineral dari tambang bawah tanah.

Mineral pertambangan tidak terbarukan. Seiring dengan berkurangnya kandungan mineral di wilayah tersebut, maka kapasitas kilang juga akan berkurang. Sebaliknya, rata-rata umur pembangkit listrik besar adalah sekitar 25-30 tahun.

Karakteristik pembangkit listrik tersebut dapat menimbulkan ketidaksesuaian jika umur industri peleburan lebih pendek dibandingkan umur pembangkit listrik. Selain karakteristik tersebut, industri pengelasan mempunyai kerentanan yang tinggi, baik teknis maupun non teknis, yang dapat menghentikan operasional perusahaan sebelum masa ekonomi berakhir.

Artinya, ketika industri peleburan ditutup, jika tidak ada permintaan listrik baru, maka pembangkitan listrik built-in mungkin masuk akal. Pertanyaannya, siapa yang menanggung investasi dan biaya produksi yang menganggur?

Penulis menggunakan umur pembangkit listrik berukuran besar sebagai perbandingan, mengingat tidak layaknya PLN terus mengembangkan pembangkit listrik kecil di masa depan. Produsen energi terbarukan harus ditawarkan kepada negara-negara tetangga, terutama di daerah terpencil, dan kemandirian energi harus dipromosikan di daerah pedesaan.

Pada saat yang sama, PLN lebih memperhatikan pengembangan pembangkit berukuran besar untuk meningkatkan struktur pembangkit dengan efisiensi tinggi. Tujuannya untuk menekan Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik (BPP) sehingga menghasilkan tarif listrik yang lebih murah bagi konsumen.

Kedua, penetapan harga listrik untuk sektor pembakaran. Penulis berpendapat bahwa hal ini sangat penting dalam menentukan gaji. Perlu diketahui bahwa seluruh listrik yang disuplai oleh PLN menggunakan tarif yang diatur baik untuk pelanggan bersubsidi maupun non-subsidi.

Saat ini model pendapatan PLN adalah sekitar 25% pendapatan dari penjualan listrik bersubsidi dan sekitar 75% dari penjualan listrik non-subsidi. Ketika terjadi perubahan signifikan pada keempat faktor yang mempengaruhi BPP, pemerintah menerapkan kebijakan penyesuaian tarif otomatis (ATA) untuk pelanggan berpenghasilan rendah.

Keempat faktor tersebut adalah harga minyak mentah Indonesia (ICP), harga batu bara (HBA), inflasi, dan nilai tukar Rupiah. Oleh karena itu, jika terjadi perubahan pada keempat faktor tersebut, otomatis pemerintah dan PLN dapat melakukan penyesuaian harga listrik.

Namun kenyataannya, hingga tahun 2018, mayoritas harga listrik (termasuk pelanggan non-subsidi) belum terlihat adanya perubahan, meskipun keempat faktor tersebut mengalami kenaikan. Demi menjaga daya beli masyarakat dan mensukseskan dunia usaha (termasuk industri), pemerintah sengaja menunda penerapan ATA.

Dengan memberikan kompensasi kepada PLN, Pemerintah akan menanggung akibat tidak diterapkannya ATA. Kompensasi ini patut diberikan mengingat BPP meningkat signifikan dalam 5 tahun terakhir.

Di sisi lain, biaya listrik yang dibayarkan pelanggan, termasuk pelanggan industri, tidak mengalami kenaikan. Pada tahun 2023, rata-rata BPP listrik sebesar Rp1.595 kWh dibandingkan tahun 2022 sebesar 143 kWh. Sayangnya, harga listrik yang berlaku, khususnya untuk pelanggan kelas atas (termasuk industri las) atau kelompok pelanggan industri (I-4), adalah Rp996,74 per kWh, lebih rendah dibandingkan BPP.

Pada tahun 2023, tagihan listrik yang dibayarkan pemerintah mencapai 74,0 triliun. Indikator ini meningkat sebesar 63,6 triliun dibandingkan tahun 2022 dan 23,4 triliun dibandingkan tahun 2021. Siapa yang mendapat manfaat dari dana kompensasi? Tentu saja, dalam hal ini, klien menyertakan jaringan pengelasan.

Menurut Kementerian Perencanaan Perekonomian, saat ini terdapat 18 perusahaan las yang berstatus PSN. Di sisi lain, kami mendukung peningkatan investasi di industri peleburan.

Sebaliknya, semakin banyak industri pengelasan dibangun, maka kebutuhan listrik akan semakin besar. Sayangnya, peningkatan kebutuhan listrik juga dikaitkan dengan peningkatan beban negara melalui dana kompensasi jika harga listrik tidak berubah atau tidak ada model bisnis ketenagalistrikan untuk industri peleburan.

Mengingat perbedaan besar antara BPP dan harga listrik, maka menaikkan harga listrik bisa menjadi pilihan yang baik. Selain itu, hingga tahun 2018, hampir tidak ada perubahan harga listrik untuk seluruh kelompok pelanggan.

Namun jika terjadi penyesuaian tarif pada kelompok konsumen yang mencakup industri peleburan, maka seluruh industri pada kelompok konsumen tersebut akan terkena dampak kenaikan tarif tersebut. Tentu saja dampak tersebut perlu dipertimbangkan mengingat kondisi sektor industri nasional saat ini yang menghadapi kesulitan dalam menentukan tarif listrik yang adil bagi Industri. Seperti disebutkan di atas, tarif listrik Konsumen Tinggi (KTT) atau kelompok industri (I-4) saat ini sebesar 996,74 per kWh, terendah dibandingkan kelompok konsumen lainnya.

Tarif tenaga listrik berlaku untuk pelanggan kelompok industri (I-4), apapun jenis industri dan lokasinya. Maklum, penetapan tarif listrik rendah bagi industri (I-4) dilakukan setelah melalui berbagai kajian untuk kepentingan perekonomian masyarakat.

Namun penetapan tarif tenaga listrik pada suatu kelompok konsumen (I-4), baik secara regional maupun berdasarkan jenis industri, mempengaruhi perbedaan harga pada kelompok konsumen tersebut.

Mengingat disparitas wilayah, pelanggan industri di Pulau Jawa (I-4) membayar tarif listrik lebih murah dibandingkan pelanggan industri di luar Pulau Jawa. Pada saat yang sama, mungkin terdapat perbedaan jenis industri antara pelanggan solder non-solder. Bagaimana menjelaskannya?

Wilayah Jawa memiliki infrastruktur kelistrikan yang lebih lengkap dibandingkan wilayah Jawa lainnya. Generator yang bekerja di Java biasanya merupakan generator berukuran besar dengan performa tinggi.

Wilayah Jawa memungkinkan dibangunnya pembangkit listrik berukuran besar. Hal ini dikarenakan Java memiliki infrastruktur jaringan canggih yang terintegrasi dan tersebar di seluruh Pulau Jawa.

Seiring dengan berbagai keunggulan tersebut, Java memiliki sistem tenaga dengan tingkat keandalan yang lebih tinggi. Tentu saja, mereka yang ingin menggunakan listrik berkualitas tinggi harus dekat dengan tempat yang infrastruktur jaringannya berkualitas tinggi. Situasi ini mendorong para industrialis untuk berinvestasi di Pulau Jawa, termasuk industri pengelasan di Pulau Jawa.

Situasinya berbeda di luar Pulau Jawa. Ketersediaan listrik yang dapat diandalkan dan terjangkau terbatas karena terbatasnya infrastruktur jaringan berkecepatan tinggi. Lagi pula, sebagian besar industri tidak melakukan bisnis di luar Pulau Jawa.

Jika ketidakseimbangan ini tidak segera diatasi, perilaku ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan permanen. Pada akhirnya, wilayah Jawa akan menjadi pilihan investasi terbesar. Kondisi ini tentu saja tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam mendorong perluasan pusat pertumbuhan ekonomi baru melalui pengembangan industri.

Situasi ini juga menyulitkan PLN. PLN harus membangun infrastruktur ketenagalistrikan yang sama di Indonesia. Tentu saja PLN membutuhkan modal yang tidak sedikit. Di sisi lain, pelanggan industri besar di luar Pulau Jawa masih sedikit. Oleh karena itu, periode pengembalian investasinya lama.

Pada saat yang sama, sebagian besar pelanggan industri di wilayah Jawa membayar tarif lebih murah, bahkan selama BPP. Dalam hal ini, harga listrik harus mampu mencerminkan kebutuhan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang rasional tanpa menimbulkan beban tambahan bagi pemerintah.

Dalam konteks ini, perlu dipertimbangkan kemungkinan untuk mengevaluasi kembali kebijakan sistem pengupahan bagi kelompok industri pengguna. Definisi upah harus mencerminkan spesifikasi masing-masing industri untuk mencerminkan keadilan.

Pertama, sektor-sektor yang memiliki akses terhadap lebih banyak infrastruktur (anggaran dan non-keuangan) harus membayar tarif listrik yang lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor yang tidak memiliki keunggulan tersebut.

Kedua, industri yang memberikan kontribusi lebih besar terhadap perekonomian, yang diukur dengan lapangan kerja, misalnya, harus menerima “insentif” dalam bentuk tingkat tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan industri padat modal dengan input tenaga kerja yang lebih sedikit.

Ketiga, kebijakan penetapan harga listrik juga harus dikaitkan dengan pengembangan sektor energi. Pengembangan energi terbarukan akan menjadi prioritas di masa depan. Oleh karena itu, kebijakan pembayaran harus menjadi alat pengembangan energi terbarukan.

Dengan pandangan ini, seharusnya harga listrik di Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan di luar Pulau Jawa, tergantung tingkat emisi karbon. Sebab sebagian besar listrik di Pulau Jawa berasal dari PLTU (batubara).

Meski BPP untuk pembangkit listrik PLTU rendah, namun emisinya tinggi. Dan PLN harus menanggung biaya penerbitan PLTU. Hal ini mencakup pajak karbon, pembelian sertifikat emisi, atau upaya untuk mengimbangi emisi yang dihasilkan oleh PLTU. Selama ini biaya tersebut belum tercermin pada harga listrik yang dibayarkan pelanggan industri.

Melalui kebijakan jaringan listrik yang memperhitungkan karbon, pembagian beban akan menjadi cara langsung untuk membagi biaya yang terkait dengan emisi karbon antara PLN dan beberapa pelanggan kelompok industri.

Di sisi lain, produsen energi terbarukan dengan kombinasi unit industri yang lebih baik yang berlokasi di tempat sumber listrik dihasilkan akan menerima upah yang wajar, karena tidak terbebani dengan biaya tambahan yang terkait dengan emisi karbon.

Kebijakan penetapan harga listrik juga harus mencakup biaya yang terkait dengan emisi karbon sejak BPP listrik ditetapkan. Dengan demikian, BPP ketenagalistrikan menunjukkan seluruh biaya yang terkait dengan pembelian tenaga listrik yang akan menjadi acuan dalam penentuan harga tenaga listrik.

Melalui kebijakan tarif ini dapat menjadi insentif bagi para pengembang pembangkit energi terbarukan di masa depan, termasuk solusi model bisnis grid welding. termasuk industri peleburan akan menjadi permasalahan yang sangat kompleks. Tentu saja pemerintah akan lebih bijaksana jika menetapkan kebijakan terkait harga listrik ini.

Kebijakan penetapan tarif listrik tidak boleh hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Jelas, posisi pemerintah tidak mudah dalam menentukan kebijakan tarif listrik. Dunia usaha dapat terlibat dalam memberikan solusi untuk mengurangi beban tantangan yang dihadapi pemerintah.

Salah satunya adalah pelaku usaha, dalam hal ini tukang las, produsen pembangkit listrik, atau kemitraan captive power melalui proyek Co-Investasi dengan PLN.

Konsep koperasi adalah dua pihak, yaitu industri pengelasan dan perusahaan listrik (dalam hal ini PLN), bersama-sama berinvestasi pada perusahaan listrik tertentu untuk memenuhi kebutuhan listriknya.

Penerapan investasi bersama ini dapat membantu mengurangi kompleksitas kebijakan tarif listrik pemerintah. Oleh karena itu, tarif melalui Co-Investment ditentukan secara business-to-business (B-to-B), sehingga tidak berdampak pada sisi keuangan pemerintah.

Model Co-Investment ini menarik. Namun tentu saja diperlukan beberapa kondisi (mungkin) agar dapat berfungsi dengan baik. Yang terpenting, biaya listrik yang dihasilkan oleh Perusahaan Investasi Bersama harus kompetitif. Setidaknya ada dua hal yang penting untuk mendapatkan tarif listrik yang kompetitif dalam kerja sama B-B-B, yaitu pembiayaan infrastruktur energi dan keandalan.

Biaya listrik yang dihasilkan melalui Co-Investment akan kompetitif (baik bagi industri smelter maupun PLN) jika investasi yang digunakan dalam produksi investasi tersebut berasal dari pembiayaan yang mudah.

Sumber permodalan yang fleksibel untuk investasi yang antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan porsi modal investor. Oleh karena itu, mitra investasi yang dapat diandalkan memainkan peran penting dalam mengurangi biaya pembiayaan.

Mitra investor tepercaya mengharapkan lebih banyak pendanaan. Kombinasi PLN sebagai pemilik pasar dan mitra investor yang dapat diandalkan akan menarik pemberi pinjaman untuk berpartisipasi dalam pembiayaan proyek investasi.

Keandalan, kuantitas dan biaya pasokan listrik akan menentukan biaya listrik yang dihasilkan. Dalam kerja sama ini, biaya kerja sama dapat dikurangi jika pasokan energi dasar terjamin. Oleh karena itu, akan menjadi keuntungan baginya untuk bekerja sebagai salah satu investor dalam investasi tersebut bersama dengan pemilik utama energi.

Model Co-Investment menarik karena pihak-pihak yang berpartisipasi akan mendapatkan keuntungan sesuai dengan kontribusinya. Selain mendapat tarif listrik yang kompetitif, operator smelter juga akan mendapat bagian keuntungan usaha dalam bentuk dividen.

Pada saat yang sama, investor yang memiliki aset tetap dijamin akan membeli kembali aset tetapnya selain menerima dividen. Pada saat yang sama, melalui Co-Investasi, PLN mempunyai peluang untuk meningkatkan bisnis ketenagalistrikan. Namun, agar Investasi Bersama dapat dilaksanakan secara efektif, Pemerintah perlu memberdayakan PLN untuk menetapkan harga listrik secara B-to-B. (miq/miq)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *