Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat dewan redaksi illinibasketballhistory.com
Jika Anda batuk selama, katakanlah, dua hingga tiga hari, Anda cukup mengonsumsi obat pereda yang dijual bebas dengan harapan penyakitnya akan segera membaik. Namun jika batuk Anda tidak kunjung reda hingga lebih dari dua minggu, Anda tentu harus lebih waspada terhadap suatu penyakit.
Analogi inilah yang menggambarkan situasi perekonomian Indonesia saat ini. Misalnya, inflasi yang terjadi terus menerus selama lima bulan terakhir. Faktanya, kita tidak bisa menentukan penyebabnya selain gejala inflasi yang terjadi saat ini. Pandangan pemerintah yang menyebut inflasi sisi penawaran terjadi akibat peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan, tidak serta merta salah. Situasi ini terlihat dari penurunan inflasi volafile food pada periode yang sama.
Namun seperti yang saya tulis sebelumnya, “batuk” seperti itu bisa menjadi peringatan akan adanya penyakit ekonomi yang serius. Inflasi jika terjadi terus-menerus justru lebih dahsyat karena hilangnya daya beli masyarakat.
Alasannya adalah kita tidak bisa memisahkan observasi dari data inflasi saja. Gejala lain dari “batuk” yang saling terkait dan menunjukkan masalah serius, antara lain menurunnya jumlah kelas menengah sebagai konsumen; Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur turun; Hingga gelombang PHK terbaru.
Runtuhnya kelas menengah jelas merupakan gejala penyakit serius. Merekalah yang menjadi motor penggerak konsumsi nasional. Jika golongan ini tertekan maka daya beli akan menurun dan konsumsi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi akan hilang. Hal ini bukan hanya sekedar penurunan daya beli, namun merupakan tanda lemahnya institusi perekonomian nasional yang ditopang oleh sektor konsumen.
Semakin lemahnya sektor manufaktur yang terlihat dari indeks PMI yang anjlok merupakan indikator lain yang sangat penting karena manufaktur merupakan jantungnya produksi nasional. Jika sektor ini melemah, dampaknya bisa sangat luas, mulai dari berkurangnya ekspor hingga hilangnya lapangan kerja. Ini tidak lebih dari apa pun: ini adalah dampak jangka panjang dari terpuruknya industri nasional kita, yang kini mulai kita wujudkan gejalanya.
Matahari Industri Nasional
Sepuluh tahun terakhir, industri nasional kita semakin hari semakin terpuruk seiring dengan tingkat deindustrialisasi yang terjadi saat ini. Penurunan ini berasal dari dua aspek, yaitu runtuhnya pasar ekspor internasional dan hancurnya pasar dalam negeri. Krisis global muncul akibat kenaikan suku bunga dan tingginya inflasi, dimana masyarakat global lebih mengutamakan kebutuhan pangan dan energi. Sementara itu, pasar dalam negeri kita sedang tertekan oleh membanjirnya produk impor.
Misalnya saja industri TPT yang menyumbang nilai ekspor terbesar ketiga yang berkontribusi terhadap penurunan produk domestik bruto (PDB) dari 1,40% pada tahun 2010 menjadi 1,11% pada tahun 2023. Faktanya, industri ini menarik lebih dari tiga juta delapan ratus tujuh puluh ribu pekerja dan memenuhi tujuh puluh persen kebutuhan sandang nasional. Namun hingga Agustus 2024, industri ini mengalami kontraksi cukup tajam yang ditandai dengan adanya PHK sebanyak lima belas ribu orang sejak awal tahun 2024.
Industri lain yang tampaknya berkembang pesat namun sangat rentan adalah kosmetik. Meski jumlah industri meningkat sebesar 20 persen dalam dua tahun terakhir, sayangnya lebih dari 90 persen masih memiliki ketahanan yang rendah. Seperti yang dialami industri tekstil, industri kosmetik juga terdampak oleh produk impor, terutama yang berasal dari Tiongkok. Daya saing industri kosmetik nampaknya semakin melemah, hal ini terlihat dari defisit neraca perdagangan yang cukup tajam. Pada tahun 2023, defisit akan mencapai $288,18 juta, naik dari $39,92 juta pada tahun 2014.
Untuk meningkatkan kualitas lapangan kerja dan meningkatkan upah riil, kita tentu memerlukan industrialisasi besar-besaran. Perhitungan kami, kontribusi manufaktur terhadap PDB minimal 25 hingga 30 persen. Masalahnya, keadaan kita saat ini justru sebaliknya: 18 persen produk domestik bruto berada di sektor manufaktur. Tentu saja masih jauh.
Profesor Telisa Olia Falanti, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), dalam forum diskusi pentahelix (14/08) yang digelar mengenai kebijakan masa depan penguatan industri lokal, juga mempunyai permasalahan sering berubah. Kebijakan tersebut mengidentifikasi kurangnya koordinasi kebijakan ekonomi sebagai faktor utama yang berkontribusi terhadap memburuknya iklim industri kita.
Selain itu, para pelaku industri menghadapi tantangan besar dalam memprediksi arah kebijakan perekonomian pemerintah yang mempengaruhi keputusan investasinya. Profesor Telesa menambahkan: “Untuk mengurangi ketergantungan pada impor, kita perlu menciptakan lingkungan bisnis yang stabil dan ramah bagi para pelaku industri. Hal ini berarti memperbaiki peraturan, memperkuat jaminan hukum dan memastikan koordinasi kebijakan antar lembaga pemerintah.” Profesor Telissa berkata.
Deindustrialisasi ini juga berarti kegagalan dalam mentransformasikan struktur perekonomian nasional menjadi sektor yang bernilai tinggi, yang terlihat dari komposisi barang ekspor sebagai proksi daya saing perekonomian.
Ekspor utama kita masih berupa produksi barang-barang industri yang berbasis sumber daya alam dan tenaga kerja murah seperti batu bara, minyak sawit, dan produk logam dasar. Struktur ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pertengahan masa Orde Baru, artinya selama tiga dekade tidak ada pendalaman struktur industri kita secara signifikan.
Buruknya insentif untuk diversifikasi ekonomi berarti tidak banyak investasi di sektor-sektor yang bernilai tinggi. Jika hal ini terus berlanjut, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan kesempatan kerja? Bagaimana daya beli bisa diperkuat sementara produktivitas dan upah tidak meningkat secara signifikan? Dalam konteks ini, pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen masih terasa seperti mimpi belaka.
Impian pertumbuhan delapan persen
Impian Prabowo-Gibran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi delapan puluh persen tidak mungkin terwujud tanpa industrialisasi yang luas dan terarah. Industrialisasi adalah kunci untuk meningkatkan daya saing nasional, menciptakan lapangan kerja dan mendorong ekspor, yang semuanya berkontribusi terhadap peningkatan PDB. Agenda industrialisasi jelas mempunyai multiplier effect yang besar.
Tanpa basis industri yang kuat, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya bergantung pada sektor konsumen dan komoditas yang rentan terhadap perubahan global. Bahkan indikator konsumsinya sendiri bisa tertekan sedemikian rupa, seperti yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai dampak lain dari terpuruknya industri nasional.
Industri yang digerakkan oleh lokal harus diperkuat untuk memberikan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja berkualitas tinggi dan mengurangi ketergantungan pada impor, terutama bahan mentah. Industrialisasi melalui integrasi dan kebijakan yang tepat sasaran dapat menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi impian. Menurut saya, paket kebijakan ini sudah menjadi bagian integral dari kebijakan ekonomi Prabo-Jarban. Sebab menurut strategi dasar dan komitmen pembangunan industri pemerintahan baru, target delapan puluh persen tidak mungkin tercapai. Semoga begitu. (dpu/dpu)