Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat dewan redaksi illinibasketballhistory.com.
Baru-baru ini, bahan bakar bioetanol 100% diuji di Indonesia. Hal ini menandai era baru bagi Indonesia dalam upaya menyelesaikan permasalahan besar di sektor transportasi darat.
Setidaknya saat ini, ada tiga permasalahan utama yang dihadapi sektor transportasi darat Tanah Air. Pertama, selama 20 tahun terakhir, sektor transportasi Indonesia mengalami pertumbuhan konsumsi energi tahunan tertinggi, yaitu sekitar 6% per tahun, berbeda dengan sektor rumah tangga yang mengalami penurunan sebesar -2% per tahun. Hal ini menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor transportasi di Indonesia meningkat hampir dua kali lipat selama dua dekade ini, dengan rata-rata peningkatan emisi sekitar 7% per tahun.
Permasalahan lainnya adalah Indonesia masih mengimpor bensin, salah satu jenis bahan bakar yang menyumbang 38% dari total konsumsi energi di sektor transportasi. Situasi ini menjadikan Indonesia rentan terhadap gangguan rantai pasokan global dan fluktuasi harga minyak global.
Tantangan ketiga dan utama adalah menyeimbangkan ketahanan energi dan pengurangan emisi dengan kebutuhan pertumbuhan ekonomi. Perlu dipahami bahwa industri transportasi merupakan kontributor utama perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, pertumbuhan sektor ini diperlukan untuk mencapai cita-cita Indonesia Emas pada tahun 2045 yang membutuhkan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) minimal 6-7%. Tahun lalu, sektor transportasi dan pergudangan menyumbang sekitar 6% terhadap PDB negara tersebut, dan pertumbuhannya mencapai sekitar 15%, tertinggi di antara semua sektor. Sektor peralatan transportasi, yang didominasi oleh mobil, juga menyumbang 4,5% PDB negara dan tumbuh sekitar 7,63%. Industri ini juga mempekerjakan lebih dari 1,5 juta pekerja. Oleh karena itu, perlu didukung pengembangan industri terkait transportasi yang menggunakan energi rendah karbon. Dalam hal ini penggunaan bioetanol mempunyai banyak keuntungan.
Pertama, penggunaan bioetanol tidak mengubah rantai nilai industri otomotif. Bioetanol menggunakan basis mesin pembakaran internal, hanya campuran 85% ke atas (E85) yang memerlukan jenis mesin fleksibel. Sementara itu, tidak ada perubahan lain pada komposisi suku cadang kendaraan untuk menjaga rantai nilai kendaraan bahan bakar yang panjang mulai dari produsen kendaraan hingga bengkel kecil milik masyarakat.
Kedua, bioetanol bukanlah teknologi baru. Etanol telah digunakan sebagai bahan bakar sejak tahun 1826, jauh sebelum komersialisasi bensin pada tahun 1913. Saat ini, etanol merupakan biofuel yang paling banyak digunakan di dunia, mencapai lebih dari 50%, terutama digunakan di Amerika Serikat, Brasil, dan India. Faktanya, setelah campuran etanol 20% menjangkau 12.000 SPBU tahun lalu, awal tahun ini, India meluncurkan program E100 secara komersial di 183 SPBU. Hal ini menunjukkan bahwa bioetanol merupakan bahan bakar yang telah teruji dan siap digunakan.
Selain itu, berdasarkan hasil pemodelan skenario, pencampuran bioetanol 5% dengan proyeksi total permintaan bensin nasional sekitar 38 juta kiloliter menghasilkan dampak pertumbuhan PDB sekitar $37 juta dan penambahan 2,3 juta pekerja. Dari sektor pertanian dan pengolahan dapat dihasilkan bahan baku, serta pabrik pengolahan bioetanol. Dampak ini belum termasuk dampak ekonomi dari pengurangan impor BBM sebesar 2 juta kg liter. Selain itu, terdapat dampak positif lainnya yaitu penurunan emisi sekitar 2,2 juta ton setara CO2 dari substitusi bensin.
Dampak terbesar dari perhitungan di atas terjadi pada sektor hulu rantai pasok bioetanol yaitu pertanian. Lebih dari 95% efek pengganda terhadap perekonomian dan lapangan kerja dihasilkan oleh industri. Sektor pertanian juga memberikan pengurangan emisi terbesar karena tanaman dapat menyerap emisi karbon, berbeda dengan produksi bahan bakar fosil dan ekstraksi mineral untuk bahan baku baterai yang menghasilkan emisi. Belum lagi ekstraksi mineral juga memerlukan pembukaan dan penggalian lahan, sehingga mengakibatkan kerusakan ekologi dan keanekaragaman hayati. Sementara di sisi hilir, bioetanol tidak menghasilkan limbah kimia seperti baterai bekas yang saat ini sulit didaur ulang.
Namun produksi bioetanol bukannya tanpa masalah. Sekitar 0,85 juta hektar lahan dibutuhkan untuk produksi bioetanol berdasarkan skenario sebelumnya. Selain itu, bahan baku bioetanol berasal dari tumbuhan yang secara alami rentan terhadap perubahan iklim. Dengan semakin meningkatnya cuaca ekstrem di masa depan, maka diperlukan tanah strategis yang mampu menahan cuaca ekstrem dan melakukan tindakan adaptasi lainnya untuk menjaga ketahanan tanaman sehingga dapat menghasilkan tanaman sesuai kebutuhan.
Terakhir, bioetanol bukanlah solusi ideal untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, keamanan energi, dan dekarbonisasi. Namun bioetanol mungkin bisa menjadi salah satu solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan tersebut, khususnya bagi Indonesia yang memiliki potensi dan kekuatan di sektor pertanian.
(tunggu/tunggu)