Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan staf redaksi illinibasketballhistory.com.
Ekonomi sirkular atau CE menjadi salah satu topik hangat di setiap KTT ASEAN dalam beberapa tahun terakhir. Pada tanggal 18 Oktober 2021, Kerangka Ekonomi Sirkular untuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) diresmikan, menandai komitmen ASEAN untuk melakukan transisi menuju model ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Tujuan utama model CE adalah untuk mengurangi limbah dan polusi dengan meningkatkan desain produk, memperpanjang umur produk, dan mendaur ulang bahan. Dengan kata lain, CE bertujuan untuk menutup lingkaran aliran material dalam perekonomian. Meskipun model CE sudah ada sejak lama, namun penerapannya di kawasan ASEAN dapat dikatakan kurang efektif. Pasalnya, sebagian besar negara anggota ASEAN masih menganut model ekonomi linier yang ditandai dengan penggunaan sumber daya yang tersedia dan produksi limbah dalam jumlah besar.
Hal ini berkontribusi terhadap meningkatnya permasalahan lingkungan seperti emisi gas rumah kaca, polusi udara dan air, serta penumpukan dan pemadatan sampah. Oleh karena itu, penerapan CE dianggap sebagai solusi jangka panjang bagi ASEAN dalam mengatasi permasalahan tersebut dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. cluster produk. Kurangnya harmonisasi standar dan koordinasi antar pemangku kepentingan menjadi kendala dalam pemanfaatan CE secara lebih luas. Oleh karena itu, integrasi standar dan fasilitasi perdagangan menjadi salah satu prioritas utama dalam kerangka ekonomi sirkular di negara-negara anggota ASEAN, hal ini terlihat pada data Bank Dunia tahun 2023 yang menunjukkan pertumbuhan PDB negara-negara ASEAN. pada tahun 2020. 2022. Misalnya, negara seperti Malaysia dan Thailand mengalami resesi ekonomi yang relatif parah pada tahun 2020 akibat pandemi Covid-19, namun pulih dengan pertumbuhan positif lebih dari 3% pada tahun 2021 bahkan melonjak di atas 8% pada tahun 2022. 2022.
Sementara itu, perekonomian negara-negara seperti Vietnam dan Kamboja terbukti lebih stabil di masa pandemi dengan pertumbuhan positif sebesar 2%-3% pada tahun 2020 dan mulai tumbuh pesat di atas 5% pada tahun 2022. Di sisi lain, negara-negara seperti Brunei Darussalam dan Myanmar terus mengalami perlambatan perekonomian bahkan pada tahun 2022. Perbedaan kondisi makroekonomi ini menunjukkan bahwa prioritas masing-masing negara ASEAN dalam pemulihan ekonomi pascapandemi dan mencapai pertumbuhan berkelanjutan sangat berbeda. Hal ini sendiri merupakan tantangan bagi upaya harmonisasi standar ekonomi sirkular secara regional, yang memerlukan pendekatan fleksibel untuk beradaptasi dengan kebutuhan spesifik masing-masing negara. Perbedaan kondisi perekonomian antar negara ASEAN mempengaruhi ketersediaan sumber daya keuangan dan kelembagaan untuk mendukung penerapan kebijakan dan standar ekonomi sirkular. Secara umum, negara-negara berpenghasilan tinggi seperti Singapura memiliki akses terhadap pendanaan, keahlian teknis, dan institusi yang lebih matang untuk menerapkan peraturan daur ulang yang ketat atau skema produksi yang lebih bersih.
Sementara itu, negara-negara berpendapatan menengah dan rendah masih sangat bergantung pada aliran investasi dan pinjaman luar negeri untuk membiayai infrastruktur ramah lingkungan mereka, yang seringkali menjadi isu sensitif secara politik dan menyebabkan peningkatan utang luar negeri untuk mendukung penerapan ekonomi sirkular di ASEAN. sangat penting mengingat tantangan pendanaan yang dihadapi negara-negara ASEAN dalam membiayai infrastruktur ramah lingkungan. Salah satu skema pendanaan yang terbukti berhasil mendukung harmonisasi standar ekonomi sirkular di Uni Eropa adalah program LIFE.
Program LIFE merupakan instrumen pendanaan Uni Eropa untuk aksi lingkungan dan iklim dengan total anggaran sebesar 5,4 miliar euro pada periode 2021-2027. Program LIFE memiliki 4 subprogram: Alam dan keanekaragaman hayati; Ekonomi sirkular dan kualitas hidup; Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; dan Transisi Energi Bersih.
Proyek LIFE dalam subprogram ekonomi sirkular dan kualitas hidup akan mengembangkan teknologi dan solusi untuk meningkatkan ekonomi sirkular. Proyek ini mencakup pemulihan sumber daya dari limbah, pengelolaan air, udara, tanah, bahan kimia dan lain-lain. Salah satu kunci keberhasilan program LIFE adalah pendekatan bottom-up dengan partisipasi banyak pemangku kepentingan. Proyek LIFE tidak hanya didanai oleh Komisi Uni Eropa saja, namun juga memerlukan pendanaan bersama dari mitra lokal seperti badan publik, perusahaan swasta, universitas, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain.
Hal ini memastikan tingginya partisipasi dan kepemilikan lokal dalam pelaksanaan proyek. Misalnya, total proyek LIFE di Irlandia dari tahun 1992 hingga 2020 berjumlah EUR 176 juta, dimana EUR 60 juta berasal dari pembiayaan bersama dengan mitra Irlandia. Pendekatan pembiayaan bersama ini berbeda dengan skema pembiayaan multilateral lainnya seperti Fasilitas Lingkungan Global (GEF) yang sepenuhnya didanai oleh donor. Meskipun GEF telah berhasil mendanai banyak proyek lingkungan hidup di negara-negara berkembang, ketergantungan pada pendanaan eksternal dapat menghambat keberlanjutan jangka panjang.
Sebaliknya, pendekatan pembagian biaya LIFE dapat mendorong keberlanjutan, kapasitas teknis dan kelembagaan serta kesadaran masyarakat di tingkat lokal, sehingga versi LIFE yang diadaptasi di tingkat ASEAN dapat meningkatkan partisipasi dan dukungan negara-negara anggota untuk mencapai tujuan sirkular ASEAN. tujuan perekonomian. Skema ini dapat didanai oleh negara-negara anggota ASEAN secara adil melalui kontribusi tahunan, dengan tambahan pembiayaan bersama dari mitra lokal.
Prioritas pendanaan dapat fokus pada inovasi ekonomi sirkular skala kecil dan menengah yang memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial, misalnya bank sampah masyarakat, pengolahan limbah pertanian atau renovasi dan desain ulang produk elektronik.
Program LIFE versi adaptasi ASEAN harus menerapkan prinsip-prinsip adil dan merata dengan memastikan akses yang sama terhadap pembiayaan bagi pelaku usaha dan masyarakat di negara-negara ASEAN tanpa memandang tingkat pendapatan negara tersebut. Proses pengajuan dan administrasi harus dipermudah bagi pelaku kecil ekonomi sirkular.
Pada tingkat pelaksanaan proyek, bantuan teknis harus disediakan oleh Sekretariat ASEAN untuk pengembangan kapasitas lokal. Oleh karena itu, skema ini dapat mempercepat penerapan praktik ekonomi sirkular di ASEAN secara inklusif dan berkelanjutan. (miq/miq)