Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan dewan redaksi illinibasketballhistory.com
Dalam berbagai pembahasan kebijakan ekonomi, kita akan selalu dihadapkan pada dilema. Bahkan Raja Inggris pada masa Depresi Besar mengungkapkan kebingungannya mengapa setiap kali bertemu dengan para ekonom, masing-masing mengatakan hal yang berbeda.
Jika Anda mengundang lima ekonom, Anda pasti akan mendapatkan lima pendapat berbeda mengenai hal yang sama. Pada akhirnya, kebijakan harus membahas tujuan apa yang harus dicapai, dengan berbagai kendala yang ada.
Mengenai pertanyaan tentang pertumbuhan dan stabilitas, ungkapan stabilitas atas pertumbuhan adalah sesuatu yang sering kita lihat dalam pengambilan keputusan di sektor keuangan selama 10 tahun terakhir. Hal ini sangat relevan dengan munculnya sentimen bearish pada tahun 2013.
Selama satu dekade terakhir, kita tidak berdaya menghadapi superioritas dolar AS. Hampir seluruh pengetatan moneter yang terjadi di Indonesia selama satu dekade terakhir bertujuan untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di tengah inflasi yang relatif terkendali.
Bank Indonesia (BI) telah melakukan tugasnya dengan baik melalui strategi kebijakan makroprudensial dan kerja sama dengan disiplin fiskal Kementerian Keuangan, yang mampu membimbing kita melewati masa yang penuh volatilitas.
Namun di sisi lain, jika melihat keadaan sektor riil, dengan melihat data perusahaan-perusahaan di Bursa Efek Indonesia (BEI), terlihat ada tren penurunan pertumbuhan penjualan dan laba.
Meskipun pertumbuhan ekonomi kita tetap konstan pada kisaran 5% selama satu dekade terakhir, tren pengembalian modal terus menurun dan sektor riil terus-menerus diganggu oleh lesunya perekonomian. Jadi kondisi yang kita hadapi di lapangan menarik, dengan latar belakang indikator makroekonomi yang sangat stabil, kita melihat dilema melemahnya pertumbuhan di tingkat dunia usaha, UKM, dan masyarakat yang terus melemah.
Jika kita melihat data pertumbuhan PDB nominal (PDB yang memasukkan komponen inflasi), data tersebut mengalami tren perlambatan yang cukup tajam, dari rata-rata sebesar 12% pada tahun 2010-16 menjadi hanya 7% pada tahun 2016-2024 kami melihat perusahaan-perusahaan mengalami perlambatan pertumbuhan, yang juga berdampak pada berkurangnya kesempatan kerja.
Di satu sisi, dalam hal kesehatan perbankan, kita telah memiliki sektor perbankan yang sangat kuat, dengan rasio kecukupan modal dan kredit bermasalah yang sangat rendah, serta margin bunga bersih yang sangat baik.
Menariknya, dengan latar belakang kinerja perbankan yang kuat, kita mengalami masalah ketatnya likuiditas di masyarakat. Kondisi ini berarti kita memerlukan bantuan sektor keuangan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Stabilitas perekonomian baik, namun tingkat perputaran ekonomi yang tercermin pada perputaran uang beredar (M2/PDB) belum kembali seperti sebelum pandemi Covid-19.
Di sisi lain, pembahasan yang selalu mengemuka adalah perlambatan ekonomi global yang sudah bertahun-tahun dibicarakan dan selalu membuat kita was-was. Dengan masih adanya keadaan yang disebut VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity), maka akan aneh jika kita masih hanya dalam tahap khawatir dan terus-menerus khawatir.
Meskipun ini merupakan masalah kronis. Mungkin dalam hal ini kita memang perlu mengubah cara pandang kita. Apakah kita benar-benar berhati-hati sehingga aktivitas ekonomi menjadi sangat terbatas?
Ibarat seorang remaja berbakat balap sepeda yang dilarang mengendarai sepedanya secepat mungkin karena takut terjatuh. Jika pemikirannya seperti ini, maka hampir pasti negara tersebut akan menjadi juara atau, dalam konteks artikel ini, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi hanya akan menjadi impian belaka.
Para remaja berbakat ini tidak boleh dilarang bersepeda secepat mungkin, melainkan harus dibekali fitur manajemen risiko bersepeda seperti helm, bantalan siku, dan bantalan lutut. Sehubungan dengan itu, mekanisme pasar keuangan harus diperbaiki, yang salah satu fungsi utamanya adalah pembagian dan pengelolaan risiko. Sektor keuangan yang kuat harus mendukung pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa tujuan antara yang perlu dipenuhi agar sektor keuangan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, sejalan dengan amanat UU P2SK.
Pada artikel kali ini, kita akan membahas beberapa kebijakan yang dapat meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi sektor keuangan. Berikut rinciannya: a. Kajian mengenai internasionalisasi aset berbasis rupee harus dimulai
Hal ini terkait dengan persoalan nilai tukar rupee terhadap dolar AS yang sudah lama ada. Saat ini, ada beberapa pembatasan yang membuat rupee tidak bisa diperdagangkan ke luar negeri.
Saat ini kita masih terjebak pada pola pikir bahwa permasalahan nilai tukar dolar AS/rupiah harus diselesaikan dengan memberikan insentif untuk mendatangkan dolar ke dalam negeri.
Bahwa jika kita terjebak dalam pola pikir ini, kita akan terus melakukan pengetatan moneter dini dalam kondisi inflasi rendah serta pemotongan belanja pemerintah hanya untuk memuaskan dahaga pasar keuangan akan stabilitas.
Rupee saat ini stabil di tengah ekspektasi penurunan suku bunga acuan Bank Sentral AS (Federal Reserve), namun volatilitas yang kita alami dalam beberapa waktu terakhir akan tetap menjadi momok yang menakutkan dan kita akan selalu mengerem perekonomian.
BI telah mengambil langkah yang sangat strategis dengan memperkenalkan pertukaran mata uang bilateral yang memungkinkan kita bertransaksi dengan negara tetangga dalam mata uang lokal. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang sangat baik, namun hanya setengah matang.
Untuk memenuhi kebijakan tersebut, kita juga harus menawarkan kepada negara mitra dagang yang membeli langsung aset rupiah dari emiten Republik Indonesia (pada tahap awal yaitu obligasi pemerintah Republik Indonesia) atau memfasilitasi penerbitan entitas Indonesia. . obligasi dalam mata uang negara mitra dagang.
Jika hal ini tercapai, kita akan mampu meminimalisir tekanan yang biasa terjadi di pasar keuangan ketika sedang terjadi fase kenaikan dolar AS, dan Indonesia masih bisa tumbuh tinggi melawan tekanan dolar AS.b. Pendalaman pasar derivatif (hedging) Selama ini pasar derivatif yang dangkal dan cenderung sepihak menjadi penyebab banyak transaksi yang tidak dapat diselesaikan. Kendala ini membuat sektor swasta rentan terhadap penghindaran risiko ketika terjadi volatilitas rupee dan prospek likuiditas yang semakin ketat.
Minimnya alat juga membuat kita cenderung terjebak dalam pola pikir yang hanya mencari sesuatu yang stabil tanpa berusaha mendobrak batasan yang ada untuk naik lebih tinggi.
Terkait volatilitas, ada beberapa alat menarik yang bisa digunakan. Terdapat dan terus terdapat contoh volatilitas mata uang yang ekstrem di Turki. Menariknya, dengan volatilitas yang sangat tinggi tersebut, tidak terjadi kebangkrutan massal di Turki, meski lira mengalami pelemahan yang sangat kuat.
Kinerja pasar saham Turki mengalami peningkatan yang luar biasa. Dalam hal ini, tampaknya Turki menawarkan insentif kepada sektor swasta yang terkena dampak volatilitas mata uang dengan mekanisme terkait simpanan asing sehingga risiko volatilitas pasar mata uang dapat dikelola dengan baik tanpa harus menunda “aktivitas ekonomi”.
Ini adalah contoh di mana pasar keuangan yang mendalam memungkinkan para pelaku ekonomi untuk melindungi diri mereka sendiri dengan melakukan aktivitas lindung nilai. Pasar derivatif ibarat helm, bantalan siku, dan bantalan lutut bagi pengemudi kelas ekonomi yang ingin menjadi tinggi.c. Pedoman dan Insentif Lembaga Keuangan Non Bank untuk Investasi Langsung dan Investasi Berdasarkan Pertumbuhan Ekonomi Saat ini total aset industri asuransi Indonesia sebesar Rp 1,132 triliun. Sedangkan dana pensiun mencapai Rp1,464 triliun dan dana yang dikelola industri reksa dana sebesar Rp508 triliun. Semua itu mempunyai potensi yang sangat besar apabila kita ingin mengarahkan dana kelolaan pada instrumen-instrumen yang memiliki imbal hasil investasi lebih tinggi, dengan tetap memperhatikan tata kelola dan manajemen risiko.
Beberapa negara tetangga telah melakukan inisiatif ekonomi serupa. Malaysia, melalui Gear-UP, telah mengalokasikan dana dari lembaga investasi negara untuk melaksanakan investasi langsung lokal yang berfokus pada sektor dengan pertumbuhan tinggi dan transisi ekonomi menuju pertumbuhan berkelanjutan.
Ke depan, seiring dengan semakin mendesaknya upaya kita untuk mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi, kita tentu harus melakukan perubahan konstruktif di sektor keuangan. Jangan sampai kita seperti ayam mati di sawah yang potensi besarnya tidak bisa dioptimalkan karena masalah struktural kronis yang sebenarnya bisa diatasi.
Jika semua ini teratasi, maka intermediasi keuangan kita dengan sektor perbankan akan terus membaik. Dengan perubahan bertahap di sektor keuangan, komunikasi yang baik antar kelompok kepentingan yang berbeda, kita akan mampu mencapai pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan. (miq/miq)