JAKARTA, ILLINI NEWS – Masalah perpajakan kerap membuat warga Indonesia menangis, terutama masyarakat kelas menengah yang berpenghasilan cukup. Mereka menanggung beban sistem perpajakan negara, yang selanjutnya mengurangi pendapatan mereka.
Baru-baru ini, negara tersebut akan menaikkan PPN menjadi 12% mulai Januari 2025, terutama untuk banyak produk. Dalam hal ini, hanya sedikit warga yang merasa kesal dengan sistem perpajakan. Namun protes ini berujung pada terciptanya pajak pertama di Indonesia. Firaun, pencipta pajak dunia
Sekitar tahun 300 SM, peradaban Mesir yang dipimpin oleh para firaun menerapkan sistem perpajakan terhadap masyarakat, yang sekarang dikenal dengan sistem perpajakan. Firaun mengenakan pajak atas gandum, tekstil, energi, dan banyak barang lainnya.
Umumnya penerimaan pajak dialihkan ke modal untuk mengembangkan dan memelihara hubungan. Firaun tidak mengadopsi sistem perpajakan yang sama, namun mereformasinya. Artinya tarif pajak disesuaikan berdasarkan kemampuan finansial wajib pajak.
Kita ambil contoh pajak pertanian. Jika ladangnya luas atau hasil panennya melimpah, firaun mengenakan pajak yang tinggi. Pada saat yang sama, pajak yang dikenakan pada produsen lebih sedikit.
Adanya sistem perpajakan membuat seluruh warga Mesir harus bekerja lebih keras agar pendapatannya tidak turun akibat pajak. Namun pajak berhasil meningkatkan penerimaan negara. Terakhir, pajak warisan atau pengurangan pendapatan digunakan di banyak negara saat ini. Thomas Stanford Raffles: Pemungut pajak pertama di RI
Ribuan tahun kemudian, dimulai oleh para firaun, dan pada tahun 1811 sistem perpajakan baru masuk ke Indonesia. Saat itu pajak ini diusulkan oleh Thomas Stanford Raffles yang datang ke Hindia Belanda atas nama Kerajaan Inggris.
Raffles (1811-1816) adalah presiden barat pertama yang mengatur keuangan negara baru di Indonesia. Menurutnya, Inggris dan wilayahnya harus dibebani pajak. Ide perpajakan lahir dari dirinya, tulis sejarawan Ong Hok Ham Wahyu Yang Hilang, Bangsa yang Rusak (2018).
Secara teori, Raffles meyakini Inggris berhak menggantikan raja-raja Jawa di mana pun. Oleh karena itu, petani yang menggarap tanah pemilik tanah atau orang lain harus membayar pajak tanah.
Namun kebiasaan tersebut bukan dalam bentuk pajak, melainkan dalam bentuk uang dan penggunaan pribadi.
Ong Hock Ham menulis: “Pajak tanah undian adalah untuk petani, bukan desa atau distrik. Dan dalam bentuk uang.
Namun, Raffles tidak merasakan hasil dari strateginya mengenakan pajak di Pulau Jawa. Sebab ia harus meninggalkan Hindia Belanda pada tahun 1816. Setelah itu, pemerintahan baru menjadi keras.
Baru pada tahun 1870-an pemerintah memperkenalkan pajak pribadi, pajak bisnis, dan pajak penjualan.
Setelah itu, sasaran pajak tidak hanya menjaring penduduk pribumi, tapi juga orang-orang Eropa dan orang-orang kaya. Namun, warga memberikan pendapatan pajak terbesar bagi pemerintah Hindia Belanda.
“Selama dekade pertama abad ke-20, masyarakat adat, yang sebagian besar dikenai pajak tanah, menyumbang 60 persen pendapatan Hindia Belanda,” tulis Ong.
Namun sistem pajak kolonial hanya menguntungkan pemerintah. Karena tidak ada koneksi dari negara, orang-orang ini diperas oleh pemerintah. Karena masalah ini, negara-negara terus-menerus mengubah konsep perpajakannya. Bukan sekadar menambah pendapatan, tapi meningkatkan keseimbangan dan kesehatan.
Persoalannya, setelah lebih dari 200 tahun digunakan di Indonesia, tujuan penggunaan pajak masih jauh dari dapat diprediksi. Faktanya, ia tidak bisa mendamaikan orang-orang karena mereka tidak bisa. (mfa/mfa) Simak video berikut ini: Video: Naskah Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal