Jakarta, ILLINI NEWS – Saat musim liburan, Bali menjadi tempat wisata yang selalu ramai dikunjungi, apalagi dikunjungi wisatawan dari negara lain. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan akan ada 4,8 juta wisatawan asing yang berlibur ke Bali pada Oktober 2024.
Mereka datang karena Bali memiliki beragam tempat wisata, mulai dari pantai, gunung, hingga budaya. Namun kedatangan wisman membawa permasalahan baru. Sebab di Indonesia mereka sering membuat onar dan melanggar aturan sehingga merusak citra Bali.
Masalah ini sebenarnya bukan hal baru. Sebab sejarah mencatat Bali “hancur” ratusan tahun lalu setelah Pulau Dewata dijadikan tempat wisata. Dari Pulau Tertutup hingga Museum Hidup
Bali awalnya adalah tempat yang tertutup. Kontak asing pertama dengan orang Bali tercatat oleh penjelajah Belanda Cornelis de Houtman pada abad ke-16. Ia tiba bersama tim pada tanggal 25 Januari 1597 dan menjelajahi seluruh wilayah Bali.
Penemuan ini ditulis panjang lebar dan menjadi pintu masuk orang Eropa ke Bali. Namun kedatangan Cornelis dan orang Eropa lainnya ke Bali ratusan tahun kemudian dilatarbelakangi oleh kolonialisme atau kolonialisme.
Dengan masuknya wisatawan ke Indonesia pada awal abad ke-20, Bali mulai menjadi tempat wisata. Sejarawan Frances Gouda dalam karyanya Dutch Culture Overseas (2008) menyatakan bahwa perubahan ini disebabkan oleh keinginan pemerintah kolonial untuk menjadikan Bali sebagai “Museum Hidup”.
Ada berbagai keunikan di Bali yang tidak bisa disaksikan di belahan dunia lain, seperti keindahan alam, keunikan seni, keramahan masyarakat, sistem kasta sosial bahkan ajaran agama. Pemerintah ingin semua ini menjadi panggung terbuka untuk hiburan wisatawan asing.
“Dengan cara ini, masyarakat Barat dapat mengenang Bali sebagai surga romantis dan menciptakan cerita fiksi tentang esensi karakter Bali, sistem desa demokrasi kuno, serta integrasi seni dan agama yang bahagia dan harmonis dalam kehidupan sehari-hari.” katanya. Gouda.
Dari sinilah terjadi balinisasi sehingga membuka arus wisatawan dari dalam dan luar negeri. Sebagai upaya promosi, pemerintah kolonial melakukan publisitas besar-besaran melalui kongres internasional, pameran, fotografi, film, dan lukisan. Seringkali keindahan alam dan seni Bali banyak dimuat di surat kabar, poster, dan media lainnya. Industri Pariwisata yang Terkorupsi Secara Budaya
Singkat cerita, berbagai upaya promosi membuahkan hasil. Banyak orang Barat datang ke Bali. Pada tahun 1920-an, ekosistem industri pariwisata mulai terbentuk sehingga membuka jalan bagi perjalanan ke Bali.
Namun berwisata ke pulau yang disebut sebagai surga terakhir ini pada awalnya cukup sulit, terutama dari segi akomodasi. Tidak ada shelter atau jalur transportasi langsung ke sana.
Sejarawan Achmad Sunjayadi dalam bukunya Tourism in the Dutch East Indies (2019) menyebutkan permasalahan tersebut segera teratasi dengan dibukanya jalur pelayaran langsung dan dibukanya hotel pertama di Bali bernama Hotel Bali.
Karena cara tersebut, wisatawan mancanegara pun langsung berbondong-bondong datang ke Bali. Pada tahun 1930, 50-100 orang setiap bulannya datang ke Pulau Dewata. Jumlah ini terus meningkat setiap tahunnya. Puncaknya terjadi pada tahun 1936. Saat itu, tercatat 4.500-5.000 wisatawan setiap tahunnya, sebagian besar berasal dari luar negeri.
Semua wisatawan mempunyai pandangan positif terhadap pariwisata Bali. Namun di sisi lain, seiring dengan bertambahnya Bali sebagai destinasi wisata, timbul permasalahan mengenai rusaknya budaya Bali. Hal tersebut diungkapkan salah satu kolumnis surat kabar Het Vaderland (21 Januari 1940).
Dia mengatakan Bali dijual oleh pemerintah kolonial dan dilakukan perubahan budaya. Raja dan pejabat tinggi dikriminalisasi karena tidak menjaga budaya Bali.
“Bali bukan lagi negara alami, masyarakat Bali bukan lagi penduduk alami. Bali sudah menjadi tontonan, banyak iklan, hal-hal tidak wajar yang memuaskan banyak keinginan mencari keuntungan dan tujuannya untuk menarik banyak orang asing (wisatawan) dan uang. mereka bawa,” tulisnya di kolom penulis mengutip pemaparan tentang Pariwisata di Hindia Belanda (2019).
Namun pemerintah tidak mendengarkan kritik tersebut. Bali tetap menjadi daya tarik wisata yang potensial dan ramah anggaran.
Semua ini dicapai tidak hanya dalam perumahan, tetapi juga dalam budaya lokal yang menarik uang. Salah satu kebudayaan tersebut adalah Ngaben. Pembakaran itu konon akan menjadi tontonan yang mendatangkan jutaan gulden ke kas pemerintah kolonial.
Pemerintah juga menghasilkan uang meskipun budayanya rusak. Saat ini, daya tarik Bali sebagai destinasi wisata terus berlanjut dan permasalahan tersebut masih tetap sama.
(mfa/mfa) Simak videonya di bawah ini: Video: Lirik Tentang Produk Perawatan Rambut Lokal Prospek Bisnis Mendunia