Jakarta, ILLINI NEWS Indonesia – Fantasi Eropa tentang surga bukan hanya tentang akhirat. Mereka pun membayangkan surga sebagai tempat yang indah di bumi atau yang disebut surga.
Selama ratusan tahun, banyak orang Eropa mencari surga baru di bumi. Dalam imajinasi mereka, ini adalah tempat di mana Anda dapat bersantai, memanjakan mata, dan memulihkan kehidupan Anda. Gunung, pantai, hutan lebat, laut dan seni ada di satu tempat. Sayangnya fantasi tersebut sulit diwujudkan karena mereka tidak bisa meninggalkan benua biru.
Barulah ketika era penjelajahan samudera dimulai, mereka menemukan fantasi lama mereka tentang surga di bumi. Nampaknya salah satu dari sedikit tempat yang ada di Indonesia, yakni Pulau Bali yang dijuluki “surga terakhir”.
Surga terakhir
Bali awalnya merupakan kawasan tertutup. Kontak pertama antara orang asing dengan masyarakat Bali tercatat pada abad ke-16 oleh penjelajah Belanda Cornelis de Houtman. Pada tanggal 25 Januari 1597, ia datang bersama tim dan menjelajahi seluruh Bali.
Penjelajahan ini kemudian dituangkan dalam tulisan panjang dan menjadi pintu gerbang orang Eropa menuju Bali. Meski begitu, kedatangan Cornelis dan orang-orang Eropa lainnya yang mengikutinya selama ratusan tahun dilatarbelakangi oleh kolonialisme, yaitu kolonialisme.
Pada awal abad ke-20, dengan masuknya wisatawan ke Indonesia, Bali mulai menjadi tempat wisata. Sejarawan Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas (2008) mengungkapkan perubahan ini didasari oleh keinginan pemerintah kolonial untuk menjadikan Bali sebagai “Museum Hidup”.
Di Bali banyak sekali keunikan yang tidak bisa ditemukan di daerah lain di muka bumi, seperti keindahan alam, keunikan seni, keramahan masyarakat, sistem kasta sosial bahkan ajaran agama. Semua ini sejalan dengan fantasi Eropa tentang surga di bumi. Oleh karena itu, pemerintah ingin semua ini menjadi wadah hiburan terbuka bagi wisatawan asing.
“Dengan cara ini, masyarakat Barat dapat mengenang Bali sebagai surga romantis dan mengarang cerita fiksi tentang esensi karakter Bali, sistem demokrasi desa kuno, serta integrasi seni dan agama yang bahagia dan harmonis dalam kehidupan sehari-hari.” kata Gouda.
Dari sinilah terjadi balinisasi yang membuka arus wisatawan dari dalam dan luar negeri. Salah satu kelompok yang mendorong dibukanya pintu wisatawan adalah para seniman. Mereka kerap melukiskan keindahan alam Bali yang kemudian dimuat di banyak majalah, poster, dan berbagai media lainnya.
Semua itu membuat banyak orang penasaran sehingga berbondong-bondong mengunjungi surga terakhir. Pada tahun 1920-an, banyak biro perjalanan wisata yang mulai membuka tur ke Bali.
Namun daya tarik Bali tidak seperti akomodasi. Orang Barat sulit pergi ke Bali dan tinggal di sana. Sejarawan Achmad Sunjayadi dalam Pariwisata di Hindia Belanda (2019), mengatakan permasalahan ini segera teratasi dengan dibukanya jalur transportasi langsung dan hotel pertama di Bali bernama Hotel Bali.
Berkat cara tersebut, Bali pun langsung kebanjiran wisatawan mancanegara. Pada tahun 1930, 50-100 orang per bulan pergi ke Pulau Dewata. Jumlah ini terus meningkat setiap tahunnya. Puncaknya terjadi pada tahun 1936. Saat itu tercatat 4.500-5.000 wisatawan setiap tahunnya yang mayoritas berasal dari luar negeri.
Pernyataan positif disampaikan oleh mayoritas wisatawan. Salah satunya berasal dari orang Eropa yang tidak disebutkan namanya. Ia mengatakan bahwa di Bali “setiap orang lebih mencintai kebenaran, lebih jujur, dan lebih terhormat dibandingkan orang Eropa.”
Di sisi lain, kehadiran wisatawan di Bali justru menimbulkan kontroversi. Banyak yang percaya bahwa Bali telah dirusak oleh wisatawan. Dalam surat kabar Het Vaderland (21 Januari 1940) terdapat seorang kolumnis yang mengkritik Bali karena dijual oleh pemerintah kolonial.
“Bali menjadi tontonan, dengan banyak iklan, untuk memuaskan hasrat mencari keuntungan,” tulis kolumnis tersebut.
Meski demikian, pemerintah tidak mau mendengarkan kritik tersebut. Bali tetap menjadi objek wisata yang bisa mendongkrak anggaran. Tak diketahui berapa jumlahnya, yang pasti provinsi itu meraup untung jutaan juri.
Semua ini Anda dapatkan tidak hanya dari akomodasi, tetapi juga dari budaya lokal yang menarik uang. Salah satu kebudayaan tersebut adalah Ngabe. Acara kremasi tersebut disebut-sebut akan menghasilkan tontonan yang mampu mendatangkan jutaan gulden ke kas pemerintah kolonial.
Pada akhirnya, daya tarik Bali sebagai destinasi wisata tetap ada. Pada masa kemerdekaan, keadaan Y Paradwys Olaf tidak berubah dan semakin terkenal. Di tengah musim liburan, dipastikan Pulau Dewasa akan selalu dibanjiri wisatawan untuk melihat surga fantasi Eropa zaman dulu. (mfa/mfa) Simak videonya di bawah ini: Video: Lirik tentang Produk Perawatan Rambut Lokal Prospek Bisnis Mendunia