Jakarta, ILLINI NEWS adalah perusahaan tekstil terintegrasi terbesar di Asia Tenggara, Sri Rezeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex, kini sudah tidak ada lagi. Perusahaan tersebut dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang, yang kemudian dikukuhkan dengan putusan akhir Pengadilan Tinggi (IH).
Menteri Tenaga Kerja Yasirli (Menaker) pada Oktober 2024, alasan utama bangkrutnya Sritex adalah mitigasi risiko manajemen dan bertambahnya utang.
Hingga September 2022, total liabilitas Sritex mencapai US$1,6 miliar atau sekitar Rp25,9 triliun.
Berdasarkan putusan pailit Sritex, 10.000 pekerja berencana datang ke Jakarta pada 14-15 Januari 2025 untuk berdemonstrasi di Pengadilan Tinggi Jakarta dan Istana Negara. Mereka datang dari beberapa daerah seperti Sukoharjo, Boyolali dan Semarang.
Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group Slamet Kaswanto mengatakan, protes tersebut ditujukan agar Mahkamah Agung mempertimbangkan nasib para pekerja menyusul putusan pailit Sritex.
Terlepas dari proses kebangkrutan yang melibatkan Sritex saat ini, perusahaan tersebut benar-benar sukses. Sejarah perusahaan tidak lepas dari sosok pendirinya, Haji Muhammad Lukminto.
Lukminto alias Le Ji Shin merupakan seorang peranakan Tionghoa yang lahir pada tanggal 1 Juni 1946. Ia memulai karirnya sebagai pedagang tekstil di Solo pada tahun 1920-an.
Dalam uraian buku local champion, Solo sebagai pusat tekstil Jawa sejak masa kolonial, tumbuh suburnya usaha Lukminto. Akhirnya, sekitar tahun 1966, di usianya yang ke-26, ia berani menyewa toko di Pasar Semanggi. Kios tersebut bernama UD Sri Rejeki.
Tiba-tiba, bisnis berkembang pesat. Dua tahun kemudian, ia membuka percetakan pertamanya yang memproduksi tekstil putih dan berwarna untuk pasar Solo. Berdirinya pabrik ini kemudian menjadi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex pada tahun 1980 yang masih bertahan hingga saat ini.
Tak banyak cerita mengenai “tangan keren” Lukminto yang menjadikan Sritex sebagai “raja” industri TPT di Indonesia. Satu hal yang menarik dari dirinya adalah kedekatannya dengan presiden kedua Indonesia, Soeharto. Penguasa nampaknya punya tangan dingin dalam pengembangan Sritex.
Mengutip Prahara Orde Baru (2013) terbitan Tempo, Sritex menjadi ikon bertahta karena berada di bawah lindungan keluarga Cendana, sebutan keluarga Sudanto. Fakta itu tak lepas dari Harmoko yang pernah dekat dengan tangan kanan Lukminto Kenda yang dikenal sebagai Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar pada masa Orde Baru. Harmoko adalah teman masa kecil Lukminto.
Karena kedekatannya dengan pemerintah dan pemilik pasar, Sritex dan Luckminto meraih kesuksesan di luar dugaan. Pada masa Orde Baru, Lukminto berulang kali melakukan tender proyek pengadaan bersama yang disponsori pemerintah.
“Saat itu di Tanah Air, Korpri Sritex (1990-an), Golkar, dan ABRI berbentuk batik,” tulis Tempo. Hal ini memberi Sritex jutaan rupee dan dolar serta kendali atas pasar pakaian jadi di dalam dan luar negeri. .