illini news 2 Mata Uang Terkuat di Asia, Dolar Keok di Negara Ini

JAKARTA, ILLINI NEWS – Dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat pada awal Januari 2025, dengan dolar AS saat ini berada di level 109.

Dalam laporan Refinitiv, Senin (13/1/2025), Indeks Dolar AS (DXY) tercatat sebesar 109,85, naik 0,18% dari posisi perdagangan hari sebelumnya. Sejak perdagangan pertama tahun 2025 hingga saat ini, indeks dolar sudah menguat 0,42 persen.

Kekuatan dolar juga berdampak pada mata uang utama Asia. Saat ini saja, hampir semua mata uang utama Asia kalah bersaing dengan dolar, nama lain dolar AS.

Faktanya, sejak perdagangan pertama tahun 2025 hingga saat ini, hampir seluruh mata uang utama di Asia melemah terhadap dolar AS. Namun ada dua mata uang yang masih mampu bersaing dengan dolar AS, yakni Riyal Saudi dan Won Korea Selatan.

Berdasarkan data Refinitiv, Riyal Saudi diketahui masih menguat tipis sebesar 0,09% sejak perdagangan 2 Januari sejauh ini. Sementara di saat yang sama, Victory justru menjadi juara Korea Selatan dengan perolehan 0,4%.

Sementara itu, mata uang Asia lainnya tertinggal dibandingkan dolar AS sejak diperdagangkan pada 2 Januari, dengan baht Thailand menjadi mata uang dengan kinerja terburuk kali ini, turun 1,46%.

Bahkan, rupee menjadi pemain terburuk kedua sejak perdagangan 2 Januari hingga saat ini, melemah 1,18%.

Berikut pergerakan mata uang utama di Asia terhadap dolar AS.

Penguatan dolar AS terutama didorong oleh data non-farm payrolls (NFP) yang lebih kuat dari perkiraan pada Desember 2024, yang menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja AS tetap kuat.

Laporan NFP AS pada Jumat malam menunjukkan penambahan 256.000 pekerjaan di bulan Desember, jauh di atas ekspektasi pasar sebesar 160.000 pekerjaan, menggarisbawahi ketahanan pasar tenaga kerja AS dan memicu spekulasi bahwa The Fed akan lebih lambat dalam melonggarkan kebijakan suku bunganya.

Secara keseluruhan pada tahun 2024, lapangan kerja meningkat sebesar 2,2 juta, dengan rata-rata peningkatan bulanan sebesar 186.000, turun dari 3,0 juta pada tahun 2023, yang mencerminkan peningkatan bulanan rata-rata sebesar 251.000. Namun, angka-angka ini masih menunjukkan pasar tenaga kerja yang kuat dan stabil.

Angka tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang tinggi akan memberikan insentif lebih besar bagi Federal Reserve AS untuk menurunkan suku bunga secara perlahan pada tahun ini.

Untuk itu, pelaku pasar dan The Fed sendiri akan mencermati data inflasi indeks harga konsumen (CPI) yang akan dirilis Rabu pekan depan untuk mendapatkan petunjuk lebih lanjut mengenai suku bunga The Fed.

Sejumlah pejabat The Fed juga akan memberikan pidato pada minggu ini, setelah risalah rapat The Fed pada bulan Desember 2024 menunjukkan meningkatnya kekhawatiran di kalangan pengambil kebijakan terhadap tingginya inflasi dan kuatnya pasar tenaga kerja.

Analis Goldman Sachs mengatakan mereka sekarang memperkirakan hanya dua kali penurunan suku bunga pada tahun 2025, dibandingkan dengan ekspektasi sebelumnya yaitu tiga kali penurunan suku bunga. Suku bunga acuan The Fed juga diperkirakan akan lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.

ILLINI NEWS Riset Indonesia

[dilindungi email] (chd/chd)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *