Jakarta, ILLINI NEWS – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk menjadi penyelamat musibah sepak bola Indonesia saat virus Corona / Covid-19 2019 yang terjadi pada tahun 2020. Tragisnya Liga Indonesia dibubarkan!
BRI menghidupkan kembali Liga Indonesia di masa kelam yakni di masa pandemi Covid-19. Setelah itu, BRI terus memberikan dukungan dengan menjadi sponsor utama selama empat tahun terakhir, secara tidak langsung mendukung timnas Indonesia untuk tampil di pentas Asia dan peringkat 125 yang saat ini berada di peringkat 125 Rizky Ridho, M.Ferrari, Ricky Kambuaya, Yakob Sayuri, Witan Sulaeman. , Ernando Ari, dan Egy Maulana Vikri merupakan pelajar SMA Liga Indonesia yang tergabung dalam tim Garuda.
Kembali ke musim kelam, para suporter, sejumlah klub, pemain, bahkan insan sepak bola Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Liga 1 Indonesia musim 2020/2021 resmi dibubarkan pada Rabu 20 Januari 2021 yang telah dirilis mulai Oktober. 2020 atau segera setelah minggu ketiga.
Liga Indonesia terpaksa terhenti karena tanah air masih sakit terserang Covid-19. Meski liga berbangga diri sudah mempunyai rencana formal penyelenggaraan Liga Indonesia, kami belum mendapat izin keamanan, yang jadi kendala.
Perasaan saat itu mungkin dirasakan oleh jutaan pecinta sepak bola di Indonesia di masa pandemi Covid-19. Olahraga sore apa lagi yang bisa dilakukan selain sepak bola?
Ingat! Saat itu, setiap sore pukul 15.30 WIB selalu ada pengumuman di televisi tentang bertambahnya korban akibat virus yang diyakini berasal dari Wuhan, China tersebut. Sebaliknya, setiap sore masyarakat Indonesia yang terjangkit penyakit Covid-19 setiap harinya semakin meningkat. Anda merasa tidak enak!
567 pemain dari 18 klub menjadi korban langsung dari penangguhan liga musim 2020/2021. Liga tidak aktif, klub tidak punya pemasukan, dan gaji pemain ditangguhkan.
Klub akan merugi karena uang terbesar adalah saat kompetisi berlangsung. Klub menerima pendapatan dari penjualan tiket, hak siar, biaya dari penyelenggara liga, dan penjualan merchandise resmi saat liga dimulai.
Sekalipun tidak ada pendapatan, biaya tenaga kerja tetap ada. Biaya yang paling besar adalah biaya gaji pemain, meski saat itu Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) memaklumi tim-tim yang tidak membayar gaji penuh karena pandemi masih berlangsung.
Klub masih merugi karena pendapatan hampir nol. Saat itu, klub ingin liga tetap berjalan meski tanpa penonton, karena masih ada potensi pendapatan yang mengalir dari hak siar TV. Pendapatan tersebut bisa membantu operasional klub.
Perlu diketahui, sumber pendapatan klub-klub sepak bola di Indonesia sudah mandiri sejak tahun 2011. Artinya, tidak ada lagi dukungan dana dari Pendapatan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dibandingkan sebelumnya. Jadi sumber pendapatan klub berasal dari sponsor, penjualan tiket, hak siar, biaya penyelenggara liga, dan penjualan resmi.
Selain itu, tim-tim juga dirugikan karena posisi pemain yang rentan di carry karena ketika Liga Indonesia berakhir banyak pemain sepak bola yang tetap berlatih dengan batasan. Bagi tim-tim yang mendatangkan nama-nama besar dengan gaji tetap agar bisa bersaing menjadi raja Liga Indonesia, mereka harus gigit jari karena akhirnya “tidak terpakai”.
Misalnya saja Persija Jakarta yang saat itu menggandeng pemain kenamaan asal Italia, Marco Motta. Menurut Transfermarkt, nilai pasar Marco Motta saat itu sebesar Rp 10,43 miliar dan menjadi pemain termahal di tim Persija Jakarta.
Sebagai catatan, Marco Motta merupakan pemain asal Italia yang bermain di klub papan atas Eropa. Udinese, Bologna, AS Roma, bahkan Juventus menggunakan jasa pemain berposisi full back ini.
Saat itu Persija dijuluki Los Galacticos karena turut mendatangkan nama-nama besar seperti Evan Dimas, Osvaldo Haay, Otavio Dutra, dan Marc Klok. Tentu saja harganya tidak murah. Sayangnya saya tidak bisa menerimanya pada akhirnya.
Berdasarkan perhitungan kerugian klub, Persija Jakarta melaporkan omzet lebih dari Rp 50 miliar untuk musim kompetisi penuh 2019/2020 atau musim kompetisi penuh terakhir. Biaya operasional ini digunakan untuk gaji pemain, pelatih, dan staf. Kemudian menyewakan stadion untuk pertandingan kandang serta akomodasi dan transportasi untuk pertandingan tandang.
Saat itu, Macan Kemayoran memilih Stadion Gelora Bung Karno sebagai markas utama mereka. Biaya stadion pun mencapai Rp 540 juta per pertandingan dengan deposit Rp 1,5 miliar. Artinya, untuk 17 laga kandang, Persija harus mengeluarkan dana sebesar Rp9,2 miliar untuk sewa stadion atau 20% dari total biaya semusim.
Sedangkan biaya sponsorship Persija Jakarta senilai Rp 35 miliar. Persija juga berpeluang mendapat pemasukan besar dari penjualan tiket penonton. Dengan asumsi rata-rata penonton Persija Jakarta di SUGBK adalah 35.000 penonton, dengan tiket termurah Rp 75.000, maka maksimal Rp 2,63 miliar per pertandingan atau Rp 44,63 miliar sepanjang musim.
Artinya, jika liga tidak berjalan, potensi pendapatan Persija mencapai Rp 44,63 miliar dengan kerugian karena juga harus mengeluarkan biaya operasional di luar sewa stadion dan akomodasi yang diyakini 50%-60% dari total biaya. tercapai atau Rp 25 miliar Rp 30 miliar.
Situasi yang sama tentunya terjadi pada kelompok lain, meski dengan nilai bagi hasil kinerja dan pendapatan yang berbeda.
Citra sepak bola juga terpuruk saat itu. Masalahnya tim sepak bola di negara lain juga bermain dengan aturan yang ketat. Tidak perlu ke Eropa tempat kompetisi dilanjutkan, kompetisi di negara Asia Tenggara seperti Liga Thailand hanya aktif saja.
Keadaan ini merugikan karena dapat menurunkan nilai Liga Indonesia dibandingkan negara lain di Asia dan kehilangan jatah bermain di Liga Champions Asia dan Liga AFC saat itu serta menurunkan jatahnya di tahun depan. Dampaknya juga terasa pada timnas sepak bola Indonesia yang pemainnya menjadi tidak efektif sehingga bisa merusak kualitas tim Garuda.
Belum lagi kerugian yang menimpa industri pendukung sepak bola seperti yang dialami para penjual pakaian.
Misalnya saja DJ Sport yang memasok produk Persis Solo dan Tira Persikabo Club yang mengalami penurunan pesanan cukup signifikan.
Sebelum pandemi Covid-19, penjualan gaun wanita Persis Solo mampu terjual 1.000 potong dalam seminggu dengan gaun terlaris seharga Rp 298.000. Namun di masa pandemi, seharinya hanya bisa terjual dua unit. Itu juga mencakup berbagai upaya seperti diskon hingga 20% dan hadiah untuk pembeli.
Badai yang menerpa sepak bola Indonesia sepertinya belum ada habisnya saat ini, sehingga membuat banyak pihak meragukan musim baru akan segera dimulai sementara pandemi belum usai. Kelompok-kelompok yang berbeda ini termasuk sponsor. Tapi tidak dengan BRI!
BRI resmi menjadi sponsor Liga 1 musim 2021-2022. CEO BRI Sunarso membeberkan sejumlah alasan mengapa perusahaan akhirnya menjadi sponsor utama ajang olahraga tersebut. Menurutnya, hal ini menjadi peluang BRI untuk memajukan industri sepak bola Tanah Air, khususnya di tengah pandemi Covid-19.
“Sebagai BUMN, kami akan terus menciptakan nilai, baik nilai ekonomi maupun nilai sosial bagi seluruh wilayah. Dengan menjadi sponsor utama kami untuk mewujudkan komitmen tersebut, BRI akan memberikan makna bagi masyarakat Indonesia,” jelasnya dalam konferensi pers yang virtual, Kamis (12/8/2021).
Pertama, perubahan digital yang dilakukan sejak tahun 2016 untuk menjangkau wilayah yang lebih luas sejalan dengan karakter sepak bola sebagai multisport.
Kedua, memperkuat brand image BRI. Sunarso mengatakan melalui BRI Liga 1 juga menjadi cara yang efektif dan efisien dalam mengkomunikasikan layanan dan produk BRI, khususnya Brimo yang merupakan aplikasi perbankan digital milik perseroan.
Ketiga, BRI melanjutkan dampak positif pemulihan perekonomian nasional dengan terus keikutsertaan BRI dalam menggalakkan Liga 1, guna meningkatkan perekonomian nasional, termasuk UMKM seperti toko kaos sepak bola, penjual souvenir dan kerupuk, serta perusahaan sepatu bola. itu akan lancar kembali.
Keempat, beroperasinya BRI Liga 1 akan memudahkan PSSI dalam menyeleksi pemain timnas dan mengangkat karir sepak bola Indonesia di kancah internasional.
Dukungan BRI sebagai sponsor Liga Indonesia akan terus berlanjut ke tiga arah ke depan, yakni pada musim 2022/2023, 2023/2024, dan saat ini 2024/2025.
Peran sponsor dalam kemajuan kompetisi sepak bola sangat penting untuk menunjang kegiatan dan menjaga ekosistem olahraga terpopuler di tanah air tersebut.
Liga Indonesia yang berjalan kembali bisa membangkitkan kembali tim dan pemainnya. Liga menjadi angin segar bagi klub dan pemain.
Selain itu, dengan diselenggarakannya turnamen tersebut dapat mempertahankan image Indonesia yang terkenal sebagai “Sepak Bola Gila” karena kemeriahan suporter di semua pertandingan. Selain itu, ada dukungan bagi timnas untuk terus terbang mencapai tujuan yang lebih tinggi. Tangkap Piala Dunia!
Sepak bola bagi Indonesia tidak hanya sekedar euforia sepak bola, namun juga sebagai wadah persatuan bangsa Indonesia.
Survei ILLINI NEWS (Perlombaan/Perlombaan)