illini news Pembiayaan Kreatif Skema Co-Investment dalam Pengembangan Panas Bumi

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat Dewan Redaksi illinibasketballhistory.com

Indonesia telah mengembangkan infrastruktur transisi menuju target emisi nol bersih (NZE) pada tahun 2060. Indonesia telah mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi dalam jumlah besar untuk mendukung percepatan infrastruktur transisi, khususnya di Pulau Jawa sebagai daerah dengan beban tinggi. kebutuhan energi (beban) tinggi.

Beban yang dimaksud dengan generator yang dapat menghasilkan energi (listrik) secara terus menerus, tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca sehingga dapat menghasilkan tenaga secara terus menerus dan biasanya dalam skala besar.

Potensi pembangkit listrik berbahan bakar fosil (PLTU), khususnya di Pulau Jawa, sangat besar. Pulau Jawa merupakan penyumbang utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu, Pulau Jawa membutuhkan produsen bahan pokok dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga dan industri.

Berdasarkan data BPS hingga tahun 2022, total kapasitas pembangkit terpasang di Pulau Jawa dan Bali mencapai sekitar 49 ribu MW atau sekitar 67% dari total kapasitas pembangkit. Sebagian besar pembangkit yang dipasang di Pulau Jawa merupakan pembangkit beban dasar, termasuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil (pembangkit listrik berbahan bakar batubara).

Oleh karena itu, apabila suatu pembangkit listrik tenaga batubara dapat mempunyai masa istirahat (pensiun) atau penghentian dini (early pensiun) pembangkit listrik terbarukan (EBT), maka beban pembangkit tersebut harus mampu menghasilkan listrik yang banyak. .

Ini akan terlalu berbahaya jika generator EBT muncul dari sumber yang terputus di kemudian hari. Di antara berbagai pilihan EBT, panas bumi merupakan pilihan nyata untuk dikembangkan. Selain itu, sebagian besar potensi panas bumi Indonesia berada di Pulau Jawa, hal ini terkait dengan penguatan kebijakan ketahanan energi melalui pembangunan infrastruktur transisi.

Seperti yang penulis tulis pada artikel sebelumnya berjudul “Kebijakan pengurangan risiko dan peran asuransi dalam pengembangan panas bumi” di ILLINI NEWS (26 Maret 2024), pemerintah telah menerapkan berbagai langkah, termasuk dukungan finansial, untuk mendorong pertumbuhan. Berinvestasi pada kegiatan energi panas bumi khususnya hulu (eksplorasi dan pengeboran).

Dukungan pemerintah ini sangat diperlukan mengingat tingginya aktivitas panas bumi yang terancam gagal. Jika risiko sepenuhnya ditanggung oleh operator, maka sulit mengharapkan peningkatan investasi dalam pengembangan panas bumi.

Salah satu bentuk dukungan finansial yang tepat untuk pengembangan kegiatan laut dalam adalah penjaminan kegiatan eksplorasi oleh pemerintah (melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)) yang dimiliki oleh perusahaan eksplorasi panas bumi PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia atau PT PII ( persero).

Melalui PT PII (Persero) penelitian risiko asuransi dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, dunia usaha tidak terbebani risiko usaha pada tingkat yang lebih tinggi, sehingga kepercayaan dunia usaha terhadap pengembangan usaha panas bumi adalah risiko yang lebih terukur pada risiko panas bumi pengganti yang dikontrak. Potensi panas bumi yang besar memerlukan investasi modal yang besar untuk meningkatkan pengembangannya.

Di sisi lain, untuk menarik investasi, perusahaan panas bumi (IPB) memerlukan jaminan harga listrik yang ekonomis. Tidak hanya bagi perusahaan yang tergabung dalam IPB, keekonomian harga listrik juga menentukan bankability proyek panas bumi.

Jika harga listrik tidak tepat, bank tidak akan mampu membiayai proyek tersebut. Dalam konteks ini, menjaga hubungan antara IPB dan PLN sebagai produsen tenaga listrik menjadi penting untuk menjamin keberhasilan pengembangan panas bumi di Indonesia.

Persoalannya, PLN sebagai off-site (pembeli) setidaknya menghadapi tiga jenis risiko. Pertama, kurangnya data dan informasi lengkap mengenai eksploitasi panas bumi, dapat membuat PLN menanggung risiko berupa harga listrik.

WKP dilelang oleh pemerintah. Sementara itu, PLN diminta mencantumkan hasil harga lelang. Sikap PLN yang menerima hasil lelang dan harga lelang dapat menjadi kendala dalam penetapan harga listrik. Di sisi lain, PLN memiliki standar acuan harga produksi (BPP) produksi yang digunakan untuk menentukan harga listrik yang dibeli oleh PLN.

Kedua, pembelian listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) mengikuti kesepakatan penerimaan atau pembayaran. Artinya PLN harus membeli tenaga listrik yang dihasilkan oleh PLTP dengan harga yang ditentukan melalui perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) atau Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PPA).

Seperti kebanyakan perusahaan listrik, harga listrik PLN menggunakan mata uang dolar. Di sisi lain, PLN menjual listrik ke konsumen berdasarkan harga rupiah. Situasi ini dapat menimbulkan risiko ketidakpatuhan terhadap PLN.

Ketiga, risiko biaya transmisi dan jaringan yang tinggi. Peraturan tersebut menunjukkan bahwa pembelian transmisi dan jaringan tunduk pada PLN. Di sisi lain, pembangkit listrik tenaga panas bumi seringkali berlokasi di daerah pegunungan dan jauh dari jaringan listrik. Pada akhirnya, situasi ini dapat meningkatkan biaya infrastruktur transmisi dan jaringan PLN.

Saat ini, contoh kontrak komersial pemanfaatan energi panas bumi sebagai sumber energi listrik mengacu pada dua rencana. Pertama, sistem Steam Trading Agreement (SSC). Dalam skema ini, induk perusahaan IPB merupakan perusahaan terpisah dari perusahaan penyedia tenaga listrik berijin (PLTP).

Oleh karena itu, posisi induk perusahaan IPB harus menjadi kontraktor atau pengembang suatu usaha besar yang produksi akhirnya adalah produksi uap panas bumi yang dijual kepada perusahaan PLTP.

Melalui strategi ini, PLN bisa memberikan nilai tambah dibandingkan holding company IPB. PLN sebagai perusahaan pengelola PLTP membeli energi primer berupa uap panas bumi, tidak membeli listrik dari induk perusahaan IPB. Risiko perdagangan maksimum ditanggung oleh perusahaan dagang induk IPB. Model bisnis ini hampir sama dengan model bisnis operasional PLTU.

Kedua, sistem perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA). Dalam skema ini, perusahaan pemilik IPB adalah Perusahaan Perizinan Tenaga Listrik (PLTP) atau Independent Power Producer (IPP).

Oleh karena itu, induk usaha IPB ini menjalankan usaha panas bumi secara terintegrasi, mulai dari eksplorasi, ekstraksi, pemanfaatan panas bumi hingga pengoperasian PLTP. Artinya, induk usaha IPB ini selain menyediakan uap dari lapangan panas bumi, juga menyediakan listrik dari pengelola panas bumi dan pembeli listrik PLN.

Melalui skema ini, badan usaha pemegang IPB dan juga memiliki izin usaha PLTP mendapat nilai tambah lebih dibandingkan PLN. Sebab, seluruh lini properti panas bumi dimiliki oleh perusahaan dagang induk IPB/PLTP. PLN membeli listrik dari perusahaan yang mempunyai IPB/PLTP. Risiko terkait pembelian tenaga listrik dan penjualan tenaga listrik ditanggung sepenuhnya oleh PLN.

Semua sistem perdagangan panas bumi mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. PLN lebih memilih sistem SSC sebagai outlier. Pasalnya, sistem SSC mirip dengan cara kerja PLN, dimana PLN sebagai pemilik pembangkit hanya membeli energinya terlebih dahulu. Sementara itu, perusahaan yang memiliki IPB lebih memilih sistem PPA atau menjalankan usaha panas bumi yang menyeimbangkan kepentingan kedua belah pihak, yakni antara perusahaan induk IPB dan PLN sebagai pembangkit tenaga listrik.

Artinya, rencana model bisnis yang dapat mengurangi atau menghilangkan beberapa kelemahan pada setiap model bisnis yang ada saat ini. Dalam hal ini, penulis mengusulkan model pembiayaan kreatif melalui proyek Co-Invest.

Strategi Co-Investment ini melibatkan kedua belah pihak yaitu perusahaan induk IPB dan PLN sebagai pemasok listrik dalam kegiatan investasi panas bumi.

Oleh karena itu, baik IPB maupun PLN mempunyai investasi dan peran dalam bisnis panas bumi. Struktur komunikasinya telah disesuaikan dengan capture utama kedua belah pihak (kelompok inti) (lihat Gambar: gambar skema joint venture antara IPB dan holding PLN).

Terlihat pada gambar di atas, perusahaan pengembang panas bumi akan memiliki saham pada dua perusahaan yang diproyeksikan dengan struktur kepemilikan mayoritas pada First Energy Project Company (Geothermal) dan sebagai pemegang saham minoritas pada Proyek tersebut. Grup IPP (PLTP).

Begitu pula dengan PLN yang biasanya diwakili oleh bagian operasional perusahaan produksi, akan mempunyai saham di dua perusahaan dengan struktur yaitu sebagai pemilik mayoritas pada Perusahaan Proyek IPP (PLTP) dan sebagai pemilik minoritas. pemegang saham di Energi Primer. (Panas Bumi) Perusahaan Proyek.

Pertimbangan pertama dalam menentukan mayoritas dan minoritas adalah asal usul individu. Tentu saja takaran masing-masing bagian ditentukan berdasarkan kesepakatan.

Penerapan Co-Investment pada pembangkit listrik tenaga panas bumi memberikan manfaat positif bagi kedua belah pihak. Pertama, PLN akan meningkatkan keterlibatannya di sektor usaha lawan (pertambangan) dengan pengembangan entitas panas bumi sektor perbankan.

Kekuatan modal bersama antara pengusahaan pengembangan panas bumi dan PLN akan semakin besar, sehingga kepercayaan bank dalam mendukung pengembangan proyek panas bumi akan semakin tinggi.

Begitu pula dengan keikutsertaan holding group IPB (Pertamina, Geodipa atau perusahaan swasta lainnya misalnya) dalam memiliki saham PLTP akan meningkatkan kepercayaan kreditur untuk melakukan pengadaan jasa eksternal.

Kehadiran Pertamina, Geodipa atau perusahaan swasta lainnya akan meningkatkan ketahanan energi dasar (security supply) PLTP untuk lebih menjaga ketahanan PLTP.

Kedua, keterlibatan PLN dalam bisnis hulu panas bumi akan meningkatkan kepercayaan perusahaan penjaminan kredit (yaitu PT PII Persero) terhadap proyek pengembangan panas bumi.

Kelayakan kredit diperkuat untuk memudahkan perolehan pembiayaan eksternal untuk kegiatan pengembangan usaha panas bumi kelas atas. Selain itu, partisipasi PLN dalam proses pengembangan panas bumi yang merugikan akan meningkatkan tingkat pengembalian internal melalui ekuitas.

Ketiga, akan adanya komunikasi dan konsultasi risiko antara lembaga panas bumi dengan PLN, baik di bidang pengembangan panas bumi maupun PLTP.

Keempat, akan lebih mudah dalam menentukan harga listrik yang diikuti oleh kedua belah pihak pada setiap level usaha. Oleh karena itu, permasalahan keterbatasan informasi direduksi menjadi PLN.

Penetapan harga listrik akan tetap memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, untuk menghindari perbedaan pendapat dalam penetapan harga listrik yang sering terjadi.

Harga keekonomian listrik menjadi lebih terjamin karena hadirnya PLN sebagai perusahaan produksi. Ketentuan ini tentunya menjamin pendapatan dan keuntungan tertentu bagi kemitraan dengan IPB. (miq/miq)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *