illini berita Mengurai Anemia dalam Narasi Gizi, Kesehatan Jiwa, dan Sosial Bangsa

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan staf redaksi illinibasketballhistory.com

Anemia defisiensi besi (IDA) merupakan ancaman serius bagi kesehatan nasional. Ketika prevalensi ADB mempengaruhi masyarakat produktif, hal ini akan meluas ke bidang psikologis, sosial dan ekonomi, sehingga melemahkan fondasi keberlanjutan suatu negara. Kisah kekurangan zat besi ini mewakili aspek yang beragam, tidak hanya kurangnya asupan makanan sebagai sumber zat besi, namun juga pesan utama terkait risiko kehilangan sumber daya manusia demi masa depan negara.

Meskipun ADB merupakan salah satu bentuk malnutrisi yang paling umum terjadi di dunia, situasi yang lebih mendasar terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (2023), 30 persen penduduk dunia menderita anemia, dan kekurangan zat besi menjadi penyebab utamanya. Di Indonesia, Survei Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mencatat anemia terjadi pada 1 dari 3 anak usia 6-12 tahun.

Fakta yang sama juga terjadi pada remaja putri, dimana 32% menderita anemia defisiensi besi. Angka ini bahkan lebih tinggi pada perempuan hamil, yaitu 48 persen. Angka-angka ini menyoroti ironi sebuah negara yang kaya akan sumber daya namun kekurangan zat gizi mikro yang penting.

Secara biologis, zat besi merupakan salah satu unsur inti kehidupan manusia. Hemoglobin dalam sel darah merah merupakan pembawa oksigen dan memiliki struktur zat besi yang penting untuk sejumlah nutrisi penting bagi tubuh.

Tanpa zat besi, tubuh kehilangan kemampuannya untuk memproduksi hemoglobin dalam jumlah yang cukup dan otak kekurangan oksigen. Dampaknya tidak hanya gangguan fisik, tapi juga fungsi kognitif. Kurangnya oksigen ke otak dapat menyebabkan kesulitan konsentrasi, kecemasan, depresi bahkan depresi.

Dampak potensial

ADB, meski sering diabaikan, tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik tetapi juga mental. Meski mekanismenya tidak dijelaskan secara jelas. Kekurangan zat besi mempengaruhi metabolisme dopamin dan serotonin, dua neurotransmiter yang bertanggung jawab atas suasana hati dan motivasi.

Sebuah studi skala besar yang dilakukan oleh Beard (2005) menemukan bahwa wanita dengan anemia dua kali lebih mungkin mengalami depresi pasca melahirkan. Penelitian Anggraeni (2020) juga menemukan bahwa remaja putri dengan anemia memiliki kejadian depresi yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa anemia. Depresi ini dapat menyebabkan keputusasaan, rendahnya harga diri dan ketidakmampuan untuk bertindak proaktif.

Kejadian dan paparan pada kelompok anak-anak lebih mengkhawatirkan. Penelitian Lozoff (2019) menunjukkan bahwa anak-anak dengan anemia kronis memiliki IQ lebih rendah dan prestasi akademik lebih buruk dibandingkan anak-anak sehat.

Survei terbaru tahun 2024 yang dilakukan Nila Moeleok dkk dari Health Focus Indonesia (FKI) menunjukkan fakta yang lebih mengkhawatirkan. Hampir sepertiga anak usia sekolah dasar di Jakarta menderita anemia defisiensi besi, yang terbukti tiga kali lebih besar kemungkinannya mengalami gangguan daya ingat.

Nilai yang rendah ini menunjukkan ketidakmampuan untuk fokus dan berkonsentrasi di kelas, serta keengganan berinteraksi dengan guru dan teman sebaya. Semua ini merupakan indikator penting kesehatan mental yang baik dan mencegah anemia defisiensi besi. Fakta yang menyedihkan!

Dalam kehidupan kerja, banyak penelitian yang menegaskan hubungan kuat antara kesehatan fisik dan mental sebagai pilar utama produktivitas. Pekerja yang menderita anemia 2-3 kali lebih rendah produktivitasnya (Horton & Ross, 2003). Sebuah studi yang dilakukan oleh Sivakumar dan Rajagopal di India menemukan bahwa kekurangan zat besi di kalangan pekerja usia kerja menyebabkan kerugian ekonomi hingga 1,5% dari PDB nasional.

Tak terkecuali di Indonesia. Data studi epidemiologi yang dilakukan oleh Lestari (2020) menemukan bahwa pekerja tekstil perempuan yang menderita anemia defisiensi besi menghasilkan output 15% lebih sedikit per hari. Hal ini dapat memicu kelelahan kronis akibat kurangnya pasokan oksigen dari otak ke otot, berkurangnya daya tahan tubuh, dan lambatnya waktu pemulihan setelah berolahraga.

Jika kita melakukan simulasi kondisi yang sama di area kerja lain, maka dampak kerugiannya akan sangat besar. Bayangkan generasi muda yang seharusnya menjadi motor penggerak perekonomian suatu negara, namun justru terhambat oleh gangguan kognitif dan emosional akibat anemia.

Ketika otak tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sinkronisasi motorik-sensorik terganggu, sehingga pekerjaan dan produktivitas pun terhenti. Jika hal ini terjadi dalam skala besar, kekurangan zat besi tentu akan menjadi hambatan struktural bagi transformasi negara.

Penyebab sistemik

Pada tingkat paling mendasar, ADB berakar pada pola makan yang tidak seimbang. Tubuh membutuhkan zat besi sebagai unsur penting dalam kehidupan, namun asupan hariannya tidak mencukupi. Di Indonesia, pola makan masyarakat didasarkan pada karbohidrat seperti nasi yang rendah zat besi.

Pada masa pemberian susu formula, inilah awal mula permasalahan besar ADB di Indonesia, dan alasan-alasan tersebut sebenarnya lebih menantang. Enam bulan hingga satu tahun, kebutuhan zat besi enam kali lebih besar dibandingkan orang dewasa. Namun, di banyak rumah tangga di Indonesia yang memiliki keterbatasan finansial, daging merah, telur, hati ayam, atau sumber zat besi hewani lainnya dianggap sebagai “kemewahan” yang sulit didapat.

Sistem pangan yang berbasis kuantitas dan bukan kualitas memperburuk masalah ini. Inovasi pangan dengan mengintegrasikan pangan lokal belum dikembangkan secara optimal di pelosok tanah air.

Belum lagi maraknya penyakit menular seperti cacingan terutama di pedesaan Indonesia. Secara filosofis, epidemi ini mencerminkan ketidakadilan sosial dan tumbuh subur di lingkungan tanpa akses terhadap air bersih, sanitasi, dan pendidikan kesehatan.

ADB juga lahir dari struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil. Ketika kemiskinan membatasi akses masyarakat terhadap makanan bergizi, anemia menjadi salah satu gejala ketimpangan tersebut. Fakta yang bertentangan sebenarnya sederhana saja, misalnya wilayah pesisir yang seharusnya subur dengan sumber daya ikan yang melimpah justru mengalami malnutrisi dan kekurangan asupan protein hewani akibat ketimpangan sumber daya.

Di Indonesia, suplementasi zat besi melalui TTD seringkali terhambat oleh distribusi yang tidak merata, kurangnya pendidikan atau rendahnya kepatuhan. Hanya 40% remaja putri di Indonesia yang rutin mengonsumsi TTD sesuai anjuran (Riskesdas, 2018). Hal ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam mengedukasi dan memotivasi masyarakat untuk melindungi kesehatannya.

Apa yang harus saya lakukan?

Mengatasi anemia bukan hanya tentang mengisi kembali kekurangan zat besi, namun mereformasi sistem yang menyebabkan kekurangan tersebut. Harmonisasi sistem fisik, lingkungan dan sosial diperlukan untuk menghilangkan anemia dan membangun masyarakat yang lebih sehat, kuat dan produktif.

Pekerjaan promosi pendidikan dan kesehatan harus dioptimalkan. Kampanye massal tentang pentingnya asupan zat besi harus dimulai di sekolah-sekolah. Anak-anak harus diajari bahwa makanan tidak hanya untuk rasa, tetapi juga energi untuk pikiran dan jiwa. Program pemberian makan gratis menjadi motivasi yang tepat untuk memastikan bahwa pengetahuan gizi juga wajib ada dalam kurikulum pendidikan selain asupan gizi.

Inovasi pangan yang dilakukan para pelaku industri nutrisi tentunya menjadi solusi strategis dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ADB, khususnya di kalangan ibu, bayi, anak, dan remaja putri. Teknik fortifikasi telah menunjukkan hasil yang lebih menjanjikan di klinik dalam memenuhi kebutuhan zat besi dan zat gizi mikro penting lainnya secara efektif.

Contohnya adalah susu yang diperkaya dengan zat besi dan vitamin C, yang meningkatkan kemampuan tubuh dalam menyerap atau menyerap zat besi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi Gizi Indonesia (INA) pada tahun 2023, mengonsumsi susu yang diperkaya zat besi dan vitamin C dapat meningkatkan asupan zat besi sebesar 40%, mencegah IDA, bahkan mendukung tumbuh kembang anak, serta memudahkan pola pengasuhan. , yang mengarah pada kesehatan mental yang lebih baik.

Pada ibu hamil dan menyusui terbukti efektif melakukan fortifikasi produk makanan yang dikonsumsi rutin setiap hari. Komitmen pemerintah diperlukan untuk memperluas cakupan regulasi dan kepastian peraturan yang mengutamakan dampak terhadap kesehatan masyarakat. Masa depan bangsa terlalu penting untuk dipertaruhkan!

Skrining anemia pada perempuan muda, perempuan hamil dan pekerja harus menjadi kebijakan nasional. Intervensi berupa suplemen zat besi seperti TTD masih dapat dioptimalkan. Namun, fortifikasi juga perlu diperluas karena bukti ilmiah keberhasilannya sangat kuat.

Perspektif kesehatan mental juga harus disuntikkan untuk meningkatkan kesehatan secara umum, bukan hanya untuk mencegah anemia. Tujuannya adalah menjadi holistik dan membentuk kesehatan individu sekaligus menyasar kesehatan fisik dan mental. Pihak berwenang, sektor swasta, dan masyarakat lokal harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem yang mendukung gaya hidup sehat.

Pada prinsipnya, ADB merupakan wujud ketidakpastian dunia modern dimana teknologi semakin berkembang, namun kesehatan dasar masih terabaikan. Indonesia yang terkenal dengan semangat gotong royongnya, hendaknya memandang anemia tidak hanya sebagai masalah medis namun sebagai tantangan moral yang dapat diatasi bersama.

Sebagaimana besi adalah kerangka sebuah bangunan, besi adalah kerangka jiwa, raga, dan tenaga bagi pembangunan bangsa. Mengabaikan anemia berarti kehilangan kemampuan generasi mendatang untuk bermimpi, berpikir, dan berkreasi. Mengatasi anemia berarti memberi oksigen pada otak muda yang membangun masa depan.

 

(hura / hura)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *