Jakarta, ILLINI NEWS – Presiden ke-8 RI, Prabowo Subianto, berkunjung ke Amerika Serikat (AS) dan mendarat pada Minggu sekitar pukul 16.00 waktu setempat. Ia juga akan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dan Presiden Terpilih Amerika Serikat, Donald Trump.
Pertemuan antara Prabowo dan Biden akan membahas 75 tahun hubungan IR-AS. Keduanya juga akan memberikan penghormatan kepada mereka yang terkena dampak bencana tsunami pada Boxing Day 2004.
Kedua pemimpin juga akan membahas upaya memperkuat kerja sama AS-Indonesia sebagai bagian dari Kemitraan Strategis Komprehensif kedua negara, tulis keterangan resmi yang diterima ILLINI NEWS, Senin (11/11/2024).
Mereka akan mengoordinasikan pendekatan berkelanjutan yang berkaitan dengan ketahanan pangan, transisi energi ramah lingkungan, demokrasi dan pluralisme, perdamaian dan stabilitas regional, dan hubungan antar masyarakat, serta mendorong kerja sama antara kedua negara dalam bantuan kemanusiaan dan tanggap bencana.
Sebagai informasi, hubungan Indonesia dan Amerika Serikat sangat erat kaitannya. Misalnya saja dari segi mitra dagang, Amerika Serikat merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia selain Tiongkok.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total ekspor Indonesia sepanjang tahun 2023 sebesar US$258.774,4 juta. Sebanyak 8,98% atau sekitar US$23.246,8 juta ekspor Indonesia disalurkan ke Amerika Serikat.
Data terkini September 2024, ekspor nonmigas Indonesia ke Amerika Serikat tercatat sebesar $2,22 miliar atau 10,6% dari total ekspor nonmigas Indonesia. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni US$1,83 miliar.
Selain itu, ekspor nonmigas ke Amerika pada periode Januari-September 2024 juga lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni sebesar 19,17 miliar dolar berbanding 17,4 miliar juta dolar.
Amerika Serikat juga menjadi sumber keuntungan bagi Indonesia karena merupakan negara penyumbang surplus perdagangan terbesar dibandingkan negara lain. Pada September 2024, surplus neraca perdagangan AS tercatat sebesar $1,38 miliar.
Jika dicermati lebih detail, penyumbang surplus terbesar antara lain mesin dan peralatan listrik beserta bagiannya (HS 85) berjumlah US$277,8 juta, sandang dan aksesoris (rajut) (HS 61) berjumlah US$214,3 juta. dan alas kaki (HS 64) sebesar US$ 213,2 juta.
Tidak hanya Indonesia yang mengekspor ke AS, negara-negara ASEAN juga mengekspor ke AS dalam jumlah yang cukup besar.
Melaporkan sensus.gov, impor AS pada September 2024 berjumlah US$286,2 miliar dan dari total impor tersebut, AS mengimpor cukup banyak dari negara-negara ASEAN, seperti Vietnam di peringkat keempat ($14 miliar), Thailand di peringkat 11 ($6 miliar) dan Malaysia di peringkat ke-14 ($5,1 miliar).
Peran ASEAN dalam perdagangan AS cukup besar, mengingat ASEAN yang terdiri dari 10 negara merupakan mitra dagang terbesar keempat AS, dan perdagangan bilateral diperkirakan mencapai 500 miliar dolar pada tahun 2023. Kawasan ini masih mempertahankan surplus perdagangan. dari 200 dolar. miliar dengan Amerika Serikat, terutama dari barang-barang elektronik dan manufaktur berteknologi tinggi.
Asia Society melaporkan bahwa kepentingan ekonomi Asia Tenggara bagi Amerika Serikat sangat besar dan terus berkembang. Pada awal tahun 2024, AS menyalip Tiongkok sebagai pasar ekspor terbesar ASEAN, dengan 15% ekspor ASEAN ditujukan ke AS, meningkat hampir 4% dari tahun 2018. AS juga merupakan sumber penanaman modal asing (FDI) terbesar di ASEAN. , dengan total investasi mencapai hampir US$480 miliar pada tahun 2023 atau hampir dua kali lipat investasi AS di Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Kebijakan tarif Trump berdampak pada negara-negara Asia
Selama ini Amerika sangat bergantung pada ASEAN dan sebaliknya terutama dalam hal perdagangan. Namun, hal ini akan terganggu secara signifikan setelah kemenangan Trump menimbulkan kekhawatiran mengenai tarif yang lebih tinggi ketika memasuki AS.
Dalam laporan ILLINI NEWS International, Goldman Sachs mengatakan bahwa Tiongkok bukan satu-satunya negara yang akan terkena dampak negatif dari tingginya tarif yang akan dikenakan Amerika Serikat, namun negara-negara Asia lainnya juga akan terkena dampak negatifnya.
“Karena Trump dan beberapa pejabat yang ditunjuk kemungkinan besar fokus pada pengurangan defisit bilateral, ada bahaya semacam ‘pukulan keras’ bahwa defisit bilateral yang meningkat dapat memicu tarif Amerika Serikat terhadap negara lain. , perekonomian Asia.” kata kepala ekonom Goldman Sachs Asia-Pasifik Andrew Tilton.
Tilton juga mengatakan bahwa Korea, Taiwan, India, Jepang dan Vietnam kemungkinan akan mencoba mengurangi surplus perdagangan dengan Amerika Serikat dengan “mengalihkan perhatian” melalui berbagai cara, seperti mengalihkan impor ke Amerika Serikat, jika memungkinkan.
Sebagai informasi, Presiden terpilih Amerika Serikat, Trump, mengumumkan niatnya untuk menerapkan tarif umum mulai dari 10% hingga 20% untuk seluruh impor, serta tambahan tarif sebesar 60% hingga 100% untuk produk yang diimpor dari Tiongkok. Goldman Sachs memperkirakan AS akan mengenakan tarif tambahan rata-rata 20% pada barang-barang Tiongkok pada paruh pertama tahun 2025.
Bagaimana posisi Indonesia setelah Trump?
Hingga saat ini, Amerika Serikat telah memberikan negaranya fasilitas-fasilitas yang menarik dan menguntungkan. Fasilitas tersebut adalah Generalized System of Preferences atau kebijakan GSP.
GSP sendiri merupakan kebijakan perdagangan suatu negara yang memberikan pengurangan bea masuk terhadap produk ekspor negara penerima. Ini merupakan kebijakan perdagangan unilateral yang umumnya dimiliki negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang, namun tidak mengikat negara pemberi atau penerima.
Namun, dengan kondisi perekonomian Indonesia yang terus tumbuh dari tahun ke tahun, kemudahan politik GSP ini mungkin akan berakhir bagi Indonesia.
Sebagai informasi, saat ini Indonesia sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah. Akibatnya, ada kemungkinan fasilitas GSP Indonesia akan dicabut.
Bank Dunia meningkatkan status Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah atas dari sebelumnya negara berpendapatan menengah bawah, berdasarkan klasifikasi negara tersebut oleh Bank Dunia.
Klasifikasi ini, yang diperbarui setiap tahun pada tanggal 1 Juli, dibagi menjadi empat kategori berdasarkan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita.
Kategori-kategori ini adalah pendapatan rendah ($1,035), pendapatan menengah bawah ($1,036 – 4,045), pendapatan menengah atas ($4,046 – 12,535), dan pendapatan tinggi (>$12,535).
Bank Dunia menggunakan peringkat ini sebagai faktor dalam menentukan apakah suatu negara dapat menggunakan fasilitas perbankan seperti pinjaman dengan harga tertentu.
Sebagai catatan, PNB per kapita Indonesia meningkat menjadi $4.050 pada tahun 2019 dari posisi sebelumnya sebesar $3.840 pada tahun 2018.
Sementara itu, Bank Dunia kembali merevisi standar klasifikasi pendapatan menengah atas yang sebelumnya memiliki batas bawah $4.046 (2019) menjadi $4.466 (periode 1 Juli 2023 hingga setahun penuh 2024).
Indonesia berhasil kembali ke kategori negara berpendapatan menengah atas (PRMA) pada tahun 2023, dengan GNI per kapita mencapai US$4.580 (batas bawah PRUM sebesar US$4.466).
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan perundingan secara menyeluruh agar Indonesia tetap mendapatkan fasilitas politik GSP setidaknya untuk beberapa waktu, karena tanpa GSP ada fasilitas GSP yang akan mempengaruhi produk ekspor Indonesia ke Amerika.
Produk Indonesia akan diperlakukan sama dengan produk sejenis dari negara maju. Dari segi harga, produk Indonesia akan kesulitan bersaing jika ada produk sejenis yang bisa lebih efisien dalam proses produksinya. Risiko berkurangnya transaksi komersial kedua negara merupakan hal yang tidak dapat dihindari.
SURVEI ILLINI NEWS
[dilindungi email] (rev/rev)