Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan staf redaksi illinibasketballhistory.com
Meski alokasi belanja Kementerian Pertahanan bidang alutsista tahun 2020-2024 yang berasal dari Kredit Luar Negeri (PLN) sebesar USD 25 miliar, namun belum diketahui nilai realisasinya. Hingga saat ini, proses pengadaan alutsista masih berlangsung di Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan, dimana kontrak yang telah ditandatangani tidak dapat serta merta berlaku tanpa adanya perjanjian pinjaman.
Tahap pembahasan perjanjian pinjaman di Kementerian Keuangan memakan waktu dan durasinya berbeda-beda untuk setiap program pengadaan. Setelah prosesnya selesai, aktivasi kontrak akan bergantung pada ketersediaan dana Rupiah Murni Pendamping dari Kementerian Pertahanan pada tahun anggaran berjalan.
Saat ini, Kementerian Pertahanan juga menunggu kepastian perpanjangan sejumlah skema sumber pendanaan (PSP) oleh Menteri Keuangan. Permohonan perpanjangan PSP diajukan karena pada saat masa berlaku PSP habis, proses negosiasi kontrak di Kementerian Pertahanan dan/atau proses negosiasi pinjaman di Kementerian Keuangan belum selesai.
Diharapkan dapat diperpanjang sebelum pemerintahan saat ini berhenti menjabat pada 20 Oktober 2024. Opsi lainnya adalah pemerintahan baru akan memperpanjang PSP guna meningkatkan daya serap zloty hingga akhir tahun ini.
Tidak dapat dipungkiri, pengadaan alutsista untuk PLN mengalami peningkatan pesat pada MEF tahun 2020-2024. Namun kegiatan pengadaan berbagai alutsista masih jauh dari kebutuhan minimum pertahanan, mengingat sebagian kegiatan tersebut ditujukan untuk menggantikan alutsista yang lama dibandingkan menambah jumlah alutsista secara keseluruhan.
Misalnya, pembelian 42 Rafale tidak akan menghasilkan pembentukan skuadron tempur baru, karena pesawat tempur Prancis akan ditempatkan di dua skuadron yang saat ini mengoperasikan BAE Hawk 100/200. Program pembangunan pertahanan jangka panjang pada tahun 2010–2024 ditujukan untuk menggantikan sistem persenjataan yang sudah ketinggalan zaman, bukan meningkatkan kualitas atau kuantitas sistem persenjataan.
Kementerian Pertahanan dan TNI masih bergelut dengan permasalahan penuaan alutsista, serta permasalahan kekurangan suku cadang. Persoalan penuaan alutsista tidak akan dijelaskan lebih detail karena sudah menjadi rahasia umum.
Permasalahan kelangkaan suku cadang ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti terhentinya produksi komponen alutsista dan suku cadangnya. Misalnya saja ketersediaan prosesor radar AN/APG-68(V)9 yang umum, suku cadangnya tidak lagi diproduksi oleh Northrop Grumman sebagai penerus Westinghouse Electronic Systems.
Permasalahan kelangkaan suku cadang juga disebabkan oleh tidak lancarnya produksi suku cadang di supplier karena berbagai sebab. Tidak mengherankan jika terdapat sistem senjata yang masih diproduksi oleh produsen peralatan asli (OEM), namun suku cadangnya sudah ketinggalan zaman.
Misalnya suku cadang dengan nomor bagian tertentu untuk pesawat yang diimpor Indonesia dari negara berkembang lainnya. Mungkin terasa aneh jika sistem persenjataan dalam produksi mengalami kekurangan suku cadang.
Kedua permasalahan tersebut akan terus diperjuangkan bersama Kementerian Pertahanan dan TNI dalam beberapa tahun ke depan. Padahal, TNI harus menjaga kesiapan operasional di lingkungan strategis yang sulit.
Menjaga kesiapan operasional TNI Angkatan Laut dan TNI AU masih menjadi tantangan karena sistem persenjataan yang mereka operasikan tidaklah murah dari segi biaya siklus hidup. Secara umum kesiapan operasional ditentukan antara lain oleh: besarnya anggaran pemeliharaan, anggaran pelatihan, dan anggaran operasional yang disisihkan dalam anggaran pertahanan.
Dari sisi teknis menjaga kesiapan operasional pada kisaran 40-50 persen. merupakan tantangan besar karena melibatkan rantai pasokan suku cadang yang efisien dan kesiapan industri di ruang pemeliharaan.
Seperti diketahui, sistem persenjataan seperti pesawat terbang dan kapal perang terdiri dari berbagai subsistem seperti badan pesawat/platform, elektronik, sistem propulsi, dan persenjataan. Setiap subsistem mempunyai siklus pemeliharaan yang berbeda-beda sehingga berdampak langsung pada kesiapan operasional.
Meskipun suku cadang tersedia untuk setiap subsistem, namun jika satu atau lebih nomor suku cadang harus dihilangkan untuk pemeliharaan atau penggantian, maka terjadilah fase pemeliharaan yang berarti pesawat dan kapal perang tidak dapat beroperasi sama sekali.
Meski Kementerian Pertahanan telah menandatangani sejumlah kontrak pembelian alutsista sejak tahun 2021 hingga saat ini, namun selalu terdapat kesenjangan antara pengaktifan kontrak dan pengiriman alutsista tersebut.
Hal ini wajar karena produksi alutsista dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ketersediaan bahan di pasar, pasokan suku cadang atau komponen dari pemasok, kemampuan produksi OEM, backlog pesanan, dan lain sebagainya. Interval yang dimaksud adalah waktu tunggu pembeli sistem persenjataan dan hal ini masuk dalam klausul kontrak.
Misalnya, jadwal pengiriman 42 Rafale mencakup tahun 2026–2030. Jadwal tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap kebutuhan operasional TNI AU karena armada F-16 yang ada saat ini masih mampu memenuhi kebutuhan operasional baru.
F-16 tetap menjadi tulang punggung operasional TNI AU, meski beberapa kemampuan, seperti di luar jangkauan visual, hanya tersedia pada varian A/B. Begitu pula dengan kesiapan armada Sukhoi Su-27/30 yang kurang optimal, mungkin masih tertutupi oleh armada pesawat tempur buatan AS.
Yang perlu diperhatikan adalah kesiapan operasional armada kapal selam, dimana kapal selam Scorpene Evolved akan dikirimkan dalam waktu 96 bulan sejak berlakunya kontrak.
Meskipun kapal selam DSME 209/1400 baru beroperasi kurang dari 10 tahun, namun kesiapan operasional telah menjadi perhatian khusus para pemangku kepentingan selama beberapa tahun. Ada ambisi untuk memodernisasi tiga kapal selam selama beberapa tahun, namun usulan pendanaan dalam program PLN belum disetujui oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan.
Dengan kondisi tersebut, alternatif yang paling realistis adalah Kementerian Pertahanan mengajukan usulan modernisasi kapal selam DSME 209/1400 kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas untuk dimasukkan ke dalam buku biru tahun 2025-2029.
Opsi modernisasi lebih mudah dibandingkan harus mencari kapal selam bekas (sementara) di pasar internasional ketika kondisi pasar kapal selam bekas tidak menjanjikan karena tidak ada negara yang bersedia menjual kapal selamnya. Beberapa produsen kapal selam non-Korea Selatan, seperti Naval Group, tampaknya telah menunjukkan minat untuk meningkatkan kapal selam DSME 209/1400 jika dimasukkan dalam Blue Book di masa depan. (mikrofon/mikrofon)