Jakarta, ILLINI NEWS – Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berakhir pada Minggu (20/10/2024) ini. Indonesia akan dipimpin oleh Prabowo Subianto selama lima tahun ke depan.
Jokowi memimpin Indonesia selama 10 tahun dengan dua periode, periode pertama 2014-2019 dan periode kedua 2019-2024.
Sepanjang satu dekade menjabat presiden, tentu saja berbagai kendala dan permasalahan dihadapi Jokowi, salah satunya terkait pasar saham.
Indeks Harga Saham Agregat (IHSG) juga mengalami naik turun selama 10 tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi, meski secara keseluruhan IHSG meningkat sebesar 53,95% selama satu dekade terakhir.
Kenaikan JHISG pada era Jokowi masih tergolong rendah dibandingkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang melonjak hingga 498,12%. Begitu pula pada masa pemerintahan Megawati Sukarnoputri, dimana JHIS berhasil meningkat hingga 82,42%.
Bahkan kebangkitan JHISG pada masa pemerintahan Jokowi patut diacungi jempol, mengingat di akhir masa kepemimpinannya, JHISG mampu mencapai mental hampir 8.000, tepatnya 7.900, meski hanya sementara.
Lantas bagaimana kondisi IHSG di bawah Presiden Jokowi? Di bawah ini rincian lengkapnya.
1. IHSG Presiden Jokowi periode pertama
Pada awal masa jabatan pertama Presiden Jokowi, IHSG bergerak positif. Namun selang setahun, IHSG harus terjun jauh.
Pada periode Oktober 2014 – Maret 2015, JHSG berhasil mencapai rekor tertinggi sepanjang masa yaitu 5.400. Namun setelah Maret hingga September 2015, CPI langsung turun ke kisaran 4.100. Penurunan tersebut disebabkan oleh rencana bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (Fed), yang akan melakukan normalisasi kebijakan suku bunga dengan menaikkannya.
Meski rencana tersebut akhirnya terealisasi pada akhir tahun 2015, namun ketidakpastian yang muncul sepanjang tahun cukup membuat pelaku pasar melakukan lindung nilai dengan menjual kepemilikannya.
Pasalnya, jika The Fed benar-benar menaikkan suku bunga, ada potensi capital outflow ke Negeri Paman Sam.
Seperti pada tahun 2015, tahun 2018 yang dianggap sebagai tahun emas bagi perekonomian Indonesia ternyata tidak berjalan sesuai ekspektasi pasar. Sekadar informasi, pada tahun 2018 pemerintah dengan percaya diri mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%, meningkat signifikan dari pencapaian tahun 2017 yang hanya sebesar 5,07%.
Dengan pulihnya daya beli masyarakat, terutama dukungan tahun politik dan penyelenggaraan Asian Games, pemerintah menatap tahun 2018 dengan penuh keyakinan. Kepercayaan pemerintah juga mendukung reli JHSG pada akhir tahun 2017 hingga pertengahan Februari 2018.
Namun, sekali lagi kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Hal tersebut membuktikan daya beli masyarakat Indonesia masih lemah di Tahun Anjing Bumi. Hal ini terlihat dari survei penjualan eceran dan indikator kepercayaan konsumen yang kurang baik.
Lemahnya kinerja keuangan kuartal I-2018 dari sektor perbankan dan eksportir barang konsumsi yang menjadi proksi aktivitas perekonomian secara keseluruhan membuat angka pertumbuhan ekonomi tahun 2018 sepertinya tidak akan membawa kabar baik bagi IHSG saat ini.
Secara eksternal, The Fed sekali lagi menjadi penghambat pasar saham domestik. Kenaikan suku bunga acuan pada tahun 2018 yang semula direncanakan sebanyak tiga kali, kemudian menjadi ancaman bagi pelaku pasar karena pasar khawatir The Fed akan mengubah pendekatannya untuk menaikkannya sebanyak empat kali.
Jika perekonomian AS ‘panas’, tentu suku bunga acuan bisa naik empat kali lipat. Masalahnya, pelaku pasar melihat kenaikan yang terlalu agresif justru bisa ‘mematikan’ perekonomian Chacha. Hal ini tentu bukan kabar baik bagi bursa saham dunia.
Tak sampai disitu saja, di penghujung masa jabatan pertama Presiden Jokowi, kendala kembali muncul dengan Amerika Serikat menyatakan perang dagang terhadap Tiongkok pada 22 Maret 2018.
Kemudian Presiden AS Donald Trump mengumumkan pada tanggal 22 Maret 2018 bahwa ia mengenakan tarif terhadap impor senilai $50 miliar berdasarkan Pasal 1974 Undang-Undang Perdagangan AS, karena “praktik perdagangan yang tidak adil dan pencurian kekayaan intelektual” mengacu pada
Sebagai pembalasan, pemerintah Tiongkok juga mengenakan bea masuk terhadap 128 produk AS, khususnya kedelai, yang merupakan ekspor utama AS ke Tiongkok.
Kemudian pada tanggal 6 Juli 2018, Trump kembali mengenakan tarif terhadap barang-barang Tiongkok senilai $34 miliar, setelah itu Tiongkok membalas dengan tarif serupa terhadap produk-produk AS.
Trump mengatakan lapangan kerja diperlukan untuk melindungi keamanan nasional dan kekayaan intelektual, serta membantu mengurangi defisit perdagangan AS dengan Tiongkok.
Ketika berita perang dagang AS-China merebak, IHSG pun ikut terimbas sentimen tersebut. CPI yang saat itu sempat mencapai angka 6.689,29, langsung berbalik arah di akhir Juni 2018 hingga mencapai level 5.690.
Namun dengan berakhirnya masa kepemimpinan pertama Jokowi, JHSG akhirnya bisa pulih meski saat itu tidak mampu lagi mencapai puncaknya di angka 6.680.
2. IHSG periode kedua Presiden Jokowi
Memasuki masa jabatan kedua Jokowi sebagai pemimpin, hal ini merupakan awal yang baik, meskipun dibayangi oleh sentimen mengenai perang dagang AS-Tiongkok. Namun, setelah pemerintahan AS digantikan oleh Joe Biden, perang dagang pun dimulai.
Namun, beberapa bulan sejak awal masa jabatan kedua Jokowi, ancaman besar kembali menghantui IHSG dan pasar global. Lima bulan setelah pembukaan, Indonesia dilanda wabah Covid-19 yang menghancurkan pasar keuangan Indonesia.
Sebenarnya wabah Covid-19 mulai menyebar ke seluruh dunia sejak Januari 2020, namun di Indonesia baru menjadi heboh pada Maret 2020.
Pada Maret 2020, kondisi IHSG lebih buruk dibandingkan rencana The Fed menaikkan suku bunga pada 2015 dan perang dagang AS-Tiongkok pada 2018. Gegernya wabah Covid-19 pada Maret 2020 memaksa IHSG mencatatkan rekor terburuk sepanjang masa.
Sejak Januari 2020, saat IHSG berada di angka 6.000, terpaksa turun tajam hingga ke angka 3.900 pada Maret 2020. Bahkan, IHSG menghadapi enam kali gangguan bisnis hanya dalam waktu satu bulan.
Koreksi CPI sulit terjadi pada Maret 2020 karena pasar khawatir terhadap dampak pandemi Covid-19, terutama akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saat itu. Kebijakan ini nyaris melumpuhkan aktivitas masyarakat karena pemerintah memaksa masyarakat beraktivitas di rumah.
Pada bulan April 2020, JHSG mulai pulih setelah wabah Covid-19 mulai sedikit mereda. Setahun kemudian, JHSG kembali mendekati level 6.000. Dua tahun kemudian, JHSG mampu naik ke level 7.000. Namun kendala belum surut.
Pada bulan Februari 2022, konflik Rusia-Ukraina meletus dan beberapa bulan kemudian menyebabkan harga komoditas meningkat tajam, sehingga Indonesia mengalami “kejutan” akibat kenaikan harga komoditas. Namun pada periode tersebut, IHSG tertahan meski diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas internasional. Pada awal tahun 2023, CPI juga akan kembali ke angka 6.000.
Setelah stabil di kisaran 6.000 di awal tahun 2023, CPI mulai naik lagi menjadi 7.000 di akhir tahun 2023. Namun, Timur Tengah kembali memanas pasca serangan Hamas Palestina pada 7 Oktober 2023.
Sejak akhir tahun 2023, JHISG bersifat positif dan berkesinambungan. Pada Agustus 2024 atau dua bulan sebelum pemerintahan Jokowi resmi berakhir, JHSG masih akan mencatatkan rekor tertinggi. Perdagangan pada 19 September 2024 menjadi yang terbaik bagi IHSG karena mampu menembus level psikologis 7.900 untuk pertama kalinya sepanjang sejarah pasar keuangan Indonesia.
Riset ILLINI NEWS
[email dilindungi] (chd/chd) Tonton video di bawah ini: Prabowo: Penyebaran mutlak ke bawah, tidak bisa dinegosiasikan!