Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat Dewan Redaksi illinibasketballhistory.com.
Pada akhir tahun 2023, Laporan Perusahaan Pengisian SEC (Komisi Keamanan dan Bursa) tahun 2023 memberi peringkat pada perusahaan-perusahaan berikut: Aramco (Arab Saudi), Rosneft (Rusia), PetroChina (Tiongkok), Exxon (Amerika Serikat) dan Petrobras (Brasil), masing-masing. . -masing-masing berdasarkan urutan lima produsen minyak dan gas alam terbesar di dunia pada tahun 2023.
Jika kita perhatikan baik-baik lima perusahaan besar tersebut, ternyata ada tiga perusahaan yaitu: PetroChina, Rosneft dan Petrobras yang merupakan perusahaan “Pelat Merah” negara pendiri dan anggota BRICS (aliansi ekonomi yang didirikan oleh Brazil, Rusia dan Rusia). ). , India, Cina, dan Afrika Selatan). Dua negara lainnya, yaitu: Aramco dan Exxon, berada pada tingkat aliansi yang berbeda dengan BRICS.
Baru-baru ini, Abdul Kadir Jailani, mantan diplomat Kementerian Luar Negeri yang kini masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Asia, Pasifik, dan Afrika, dalam opini pribadinya di media berbahasa Inggris terbitan Indonesia, menulis bahwa Indonesia bergabung dengan BRICS ( seperti yang telah diumumkan oleh Menteri Luar Negeri baru Sugiono) bukanlah sebuah manuver “anti-Barat”.
Namun, ia menekankan bahwa hal tersebut sebenarnya adalah “dedikasi Indonesia untuk membangun jembatan daripada membangun pembatas” (Indonesia lebih mementingkan membangun jembatan daripada membangun tembok).
Berdasarkan pernyataan Abdul Kadir, tim ahli (Think Thank You) Kabinet Merah Putih era Prabowo diduga telah memikirkan matang-matang mengapa Indonesia akhirnya memutuskan bergabung dengan BRICS++.
Selain itu, permasalahan dan kekurangan bergabung dengan BRICS Indonesia telah dikaji, didiskusikan dan dibahas dalam berbagai pembahasan hubungan ekonomi dan kerjasama perdagangan antara Indonesia dan luar negeri, baik dalam forum yang diadakan di dalam maupun luar negeri, sesuai dengan posisi Indonesia yang dimaksud. . dalam dekade mendatang karena negara ini akan menjadi salah satu dari lima negara dengan ekonomi terkuat di dunia.
Seperti yang sudah diketahui publik, menurut prediksi Goldman Sachs Global Investment Research 2022, pada tahun 2050 urutan negara dengan lima perekonomian terbesar di dunia adalah China, Amerika, India, india, dan Jerman. Kemudian pada tahun 2070, Jerman berpindah dan kembali ke China, India, Amerika, Indonesia dan Nigeria.
Pada tahun-tahun tersebut, PDB per kapita Indonesia diperkirakan lebih dari US$30.000. PDM ini dihitung berdasarkan nilai barang dan jasa, termasuk pendapatan dan pengeluaran.
Dengan perkiraan seperti itu, hal yang sangat penting bagi negara dengan perekonomian terbesar di dunia adalah menyediakan energi yang tidak hanya tersedia tetapi juga terjangkau untuk menggerakkan perekonomian dan menghasilkan nilai tambah yang lebih baik, jika tidak, peluang emas ini akan hilang.
Di sisi lain, Indonesia telah menandatangani komitmen mengenai net zero emisi pada tahun 2060, yang menurut sebagian kalangan berarti energi hijau harus berperan dominan dalam memenuhi kebutuhan energi nasional dalam beberapa dekade mendatang.
Bahkan, Wood Mackenzie yang beberapa hari lalu mempublikasikan pandangannya tentang 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo, menyajikan diagram batang (infografis) yang menunjukkan bahwa Indonesia, setidaknya hingga tahun 2050, masih akan sangat bergantung pada penyediaan kebutuhan energinya. dalam fosil. energi .
Dengan kondisi seperti ini, pemerintah akan menghadapi tantangan dan dilema yang cukup berat karena untuk mencapai net zero emisi dengan mengandalkan pasokan energi dari energi terbarukan yang ramah lingkungan tentunya memerlukan investasi yang sangat besar dan waktu yang tidak singkat.
Oleh karena itu, kita harus melestarikan energi fosil dan bahkan meningkatkan ketersediaan dan penggunaannya. Upaya untuk mengendalikan emisi karbon adalah dengan mengaktifkan teknologi penangkapan melalui penyimpanan penangkapan karbon (CCS) dan penggunaan penyimpanan penangkapan karbon (CCUS).
Aramco, Rosneft, PetroChina, Exxon, Petrobras dan perusahaan migas lainnya telah memperjelas situasi yang akan terjadi pada tahun 2050-2070. Tentu saja mereka melihat negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia (dalam hal ini khususnya Indonesia) sebagai pasar bagi produksi minyak dan gasnya.
Di sisi lain, bagi Tiongkok, Amerika Serikat, India, Indonesia, Jerman, dan Nigeria, memastikan pasokan energi (atau dikenal dengan istilah ketahanan energi) merupakan kebutuhan mutlak. Secara kebetulan, dari analisis data yang dapat dipercaya, dapat dipastikan bahwa sumber energi terpenting di masa depan adalah energi fosil, terutama minyak dan gas alam.
Logikanya, masuknya Indonesia ke dalam BRICS akan memudahkan Indonesia untuk “berurusan” setidaknya dengan Rosneft, PetroChina dan Petrobras serta negara-negara anggota BRICS penghasil migas lainnya.
Hal ini dikarenakan Indonesia akan semakin banyak mengimpor minyak dan gas dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri sendiri, apalagi di saat Indonesia sedang mengalami bonus demografi dan masuk dalam lima besar negara ekonomi terbesar di dunia. .
Kemampuan diplomat Indonesia akan semakin diuji dalam memuluskan jembatan diplomasi guna menjaga keamanan energi. Kementerian Luar Negeri tentunya harus sudah mempersiapkan diri dengan baik.
Selain “kontrak” untuk menjamin pasokan energi migas, setidaknya ada dua fokus diplomasi lain yang harus dibantu oleh para diplomat kita, yaitu: pertama, diplomasi untuk mengundang investasi guna mendongkrak produksi migas dalam negeri dan diplomasi. meningkat secara signifikan. karbon mengatur penanaman modal melalui CCS/CCUS pada industri hulu minyak dan gas bumi dan/atau penanaman modal pada energi terbarukan yang terjangkau.
Karena dua hal terakhir ini, sayangnya saya tidak memiliki data mengenai antusiasme, keunggulan kompetitif dan hal-hal lain yang menjadi kelebihan dan daya tarik negara-negara anggota BRICS. Terus terang saya masih belum mengetahui komitmen, keseriusan dan keunggulan Rosneft, PetroChina, Petrobras dan perusahaan negara BRICS di bidang CCS/CCUS dan energi terbarukan.
Terakhir, sebagai seorang yang berprofesi di bidang hukum, saya masih mempunyai pertanyaan penting mengenai penyiapan aspek hukum yang akan kita gunakan sebagai wadah kerjasama ekonomi dengan perusahaan energi negara-negara BRICS. Mengingat saya pernah mendengar mereka sangat antusias untuk “de-dolarisasi” (transaksi non-dolar AS) dan tentu saja mereka juga tidak menggunakan LIBOR.
Lalu bagaimana dengan hukum yang berlaku saat ini (hukum yang digunakan) dalam perjanjian-perjanjian tersebut, misalnya Pertamina atau PLN dan Rosneft, dan PetroChina, dan Petrobras dan lain-lain? Untuk apa forum arbitrase penyelesaian sengketa?
Semua ini juga harus menjadi peluang untuk memajukan hukum dan arbitrase Indonesia di bidang energi di Indonesia agar menjadi hukum yang mengatur dan menjadi pilihan forum penyelesaian sengketa negara-negara BRICS, seperti kontrak bagi hasil sebagai warisan Indonesia yang diadopsi oleh masyarakat dunia. . (miq/miq)