Jakarta, ILLINI NEWS – Pakar kesehatan dan peneliti internasional telah lama berpendapat bahwa paparan bisphenol A (BPA) dalam jangka panjang dapat membahayakan kesehatan. Itu sebabnya mereka harus berhenti menjadikan bahaya BPA bagi kesehatan hanya sekedar masalah persaingan komersial.
“Tidak bisa kita pungkiri ini adalah persaingan bisnis atau tidak. Karena kekhawatiran kita baik Ikatan Dokter Indonesia (IDI), belum lagi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai lembaga publik, akademisi dan praktisi, adalah bahwa kita Kekhawatirannya adalah terkait bagaimana kita melindungi masyarakat. “Indonesia adalah yang utama karena alasan-alasan lainnya,” kata Sekjen Pengurus Besar Persatuan Dokter Indonesia (PB IDI) yang juga dokter spesialis obstetri dan ginekologi itu. Ulul Albab, SpOG dalam keterangan resminya, Selasa (11/5/2024).
Dr Ulul menolak keras beberapa pihak yang mengaitkan BPA dengan masalah persaingan dagang dan kemudian membandingkannya dengan ledakan kasus Covid di Indonesia.
Dulu, ketika ada Covid dan banyak orang yang meninggal, masalah Covid berubah menjadi berbagai masalah, ujarnya.
Pemahaman baru yang dianggap mengganggu stabilitas umumnya akan dibalas dengan upaya penyimpangan. Dr Ulul menegaskan, IDI adalah lembaga yang profesional dan apa yang dilakukan BPOM (serta mengatur label peringatan bahaya BPA pada galon dan kemasan polikarbonat) merupakan hal yang positif dan harus didukung.
“Kalau kita bilang BPA itu masalah, itu faktanya. Semua negara, tidak hanya Indonesia, bilang begitu,” ujarnya.
Menurutnya, posisi IDI sebagai lembaga profesi dokter adalah menyampaikan kebenaran. Diterima atau tidak itu hal yang kedua, tapi yang pasti kita harus berani menyadarkan beliau bahwa ada permasalahan yang terkait dengan apa yang sedang dialami masyarakat, dan kita harus mengungkapkannya.
Ia juga menambahkan, IDI sudah beberapa waktu lamanya membahas masalah BPA dan mendukung peraturan pelabelan yang dikeluarkan BPOM RI.
“Pada 11 Agustus 2022, saya mengeluarkan pernyataan bahwa kita mendukung pelabelan BPA pada semua kemasan makanan. Kita sering khawatir dengan apa yang kita makan. Tapi kita jarang khawatir tentang bagaimana makanan itu dikemas, dikemas atau dikandungnya. Jadi kita tidak hanya berbicara tentang air. masalah, tapi juga soal pangan,” ujarnya.
IDI bertujuan untuk memberikan edukasi masyarakat tentang BPA berdasarkan fakta ilmiah.
“Karena merupakan perusak hormonal, BPA bisa menyerang siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan laki-laki dan perempuan pun bisa mengalami infertilitas (steril atau mandul),” ujarnya.
Bahaya BPA sudah diatur oleh BPOM, kata dr Ulul. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan BPOM yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap kemasan berlabel peringatan kandungan BPA. Meski tidak melarang BPA, namun kebijakan terbaru BPOM ini setidaknya menjadi langkah awal yang baik, sebagaimana tertuang dalam Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Pelabelan. dari makanan olahan. .
“Pasti ada kelebihan dan kekurangannya, dan itu wajar. Kewajiban kita memberikan informasi yang benar. Kalau berbahaya, sampaikan, tanpa menyembunyikannya,” kata dr Ulul.
Sementara itu, Profesor Mochamad Chalid, SSi, MSc.Eng, pakar polimer Universitas Indonesia, mengatakan proses pendistribusian dan cara pengolahan kemasan polikarbonat sangat mempengaruhi proses kontaminasi senyawa BPA dari kemasan polikarbonat hingga produk air hingga minuman.
“Polimer itu ibarat benang pada kalung. Salah satu mata rantai pada kalung itu terbuat dari BPA. Bila digunakan, besar kemungkinan talinya akan kendor sehingga menimbulkan masalah,” jelas Profesor Chalid.
Profesor Chalid mengingatkan bahwa ada banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko BPA pada kemasan polikarbonat tercuci atau terurai dalam air minum. Misalnya paparan sinar matahari saat proses pendistribusian, suhu tinggi, dan buruknya proses pencucian terus menerus kemudian digunakan kembali.
Hal ini sejalan dengan hasil pemeriksaan BPOM terhadap fasilitas produksi air minum kemasan polikarbonat periode 2021-2022 yang menunjukkan kadar BPA yang bermigrasi ke air minum lebih dari 0,6 ppm (standar BPOM) berturut-turut meningkat hingga 4,58. %. Demikian pula hasil uji migrasi BPA berada pada ambang batas 0,05 hingga 0,6 ppm, meningkat berturut-turut menjadi 41,56 persen.
(hura/hura) Simak video di bawah ini: Video: Dianggap Berbahaya, BPOM Hapus Jajanan La Tiao dari Peredaran Artikel Selanjutnya Terungkap! Ini merek kosmetik impor yang berbahaya, banyak beredar di pasaran