illini news Ini Sosok Penjaga Laut RI, Bikin Bangsa Asing Tak Lagi Bisa Asal Masuk

Jakarta, ILLINI NEWS Indonesia – Setelah merdeka, Indonesia menjadi korban invasi negara asing. Bukan karena tentaranya lemah, tapi karena hukum dipatuhi. Peraturan peninggalan kolonial Indonesia yaitu Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnatie 1939 (TZMKO 1939).

Dalam aturan ini, pulau-pulau di Indonesia dipisahkan dari laut di sekitarnya dan setiap pulau memiliki luas laut sekitar 3 mil dari bibir pantai. Misalnya laut berjarak 3 mil dari pantai Pulau Jawa. Setelah jarak tersebut laut lepas disebut laut internasional.

Oleh karena itu, wilayah laut antar pulau-pulau di Indonesia tidak terintegrasi. Laut internasional antar pulau-pulau besar jelas menunjukkan Indonesia akan bahaya intrusi negara asing. Keadaan inilah yang mendorong para diplomat Indonesia untuk mempertahankan konsep kesatuan wilayah maritim. 

Singkat cerita, konsep inilah yang melahirkan Manifesto Juanda pada tahun 1957. Melalui Proklamasi Djuanda, pemerintah Indonesia menyatakan batas terluar wilayah Indonesia adalah 3 mil, 12 mil atau 6 mil laut dan 6 mil zona penangkapan ikan. Pernyataan tersebut dirumuskan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960.

Namun peraturan dan deklarasi tersebut salah karena hanya Indonesia sendiri yang menerimanya. Awaloedin Djamin dari Ir. Djuanda: Negarawan, Administrator dan Teknokrat Utama (2001) mengatakan dunia internasional sedang ramai mengkritisi pernyataan Djuanda. Kedaulatan Indonesia kembali terganggu.

Akhirnya semua permasalahan tersebut terselesaikan setelah dua dekade, berkat tangan dingin Hasjim Jalal.  Citra Integrasi Maritim Indonesia

Bagi Hasjim Jalal, laut tidak boleh dianggap sebagai sarana perpecahan dan perpecahan persatuan bangsa. Laut harus seragam. 

“Laut tidak boleh dijadikan sebagai pemisah, antara daratan, laut, udara dan segala kekayaannya, termasuk kekayaan alam, melainkan sebagai penghubung, bukan menjadi pemisah yang membawa kita berpikir tentang suatu bangsa,” kata Hasjim. . Dalam karya berjudul “Deklarasi Juanda dalam Perspektif Sejarah” (2010).

Konsep yang dikenal juga dengan Wavasan Nusantara ini kemudian menjadi perjuangan Hasyim dalam politik internasional. Hasjim telah aktif terlibat di sektor maritim sejak tahun 1961.

Sepulangnya dari Amerika, Juanda menjadi Komisi Hukum Maritim Indonesia pada Dewan Maritim Nasional yang dibentuk oleh Perdana Menteri. Di sana ia berupaya merumuskan pemahaman tentang nusantara, yang akan diperluas di tanah air, setelah Keppres 103 Tahun 1963, perairan Indonesia sebagai satu lingkaran maritim yang tunduk pada hukum Indonesia.

Namun puncak perjuangan Hasyim terjadi pada tahun 1973. Saat itu, setelah banyaknya kejadian maritim, kebutuhan akan pengaturan wilayah laut semakin meningkat. Misalnya saja dari sudut pandang geopolitik, eskalasi Perang Dingin (1945-1991) menyebabkan banyak kapal militer asing yang sesuka hati memasuki perairan internasional, khususnya di wilayah Indonesia. 

Oleh karena itu, ia memperjuangkan pandangan nusantara dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan dalam berbagai perjanjian diplomatik dengan negara tetangga. Kebetulan Hasjim menjabat Direktur Hukum dan Perjanjian Internasional di Departemen Luar Negeri. Ke depannya, ia juga akan menjadi Duta Besar Indonesia untuk PBB. 

Hasjim mengakui perundingan PBB mengenai perairan Indonesia sangat sulit. Saat itu, ia disponsori dan didukung oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja (1979-1988).

Dalam “Jalur Laut Kepulauan Indonesia” (2009), Hasjim menyampaikan bahwa salah satu permasalahan yang muncul bukan hanya pengakuan akan kebutuhan negara kepulauan untuk menjaga kesatuan perairan dan menjalankan kedaulatan, tetapi juga atas kapal asing. Artinya peraturan negara kepulauan juga harus mengakomodasi angkutan luar negeri. 

Untungnya, dalam pertarungan di meja perundingan kali ini, Hasyim mendapat banyak dukungan dari Sekutu setelah terlebih dahulu mengumpulkan dukungan mereka. Pria kelahiran 1934 ini mengaku tak seperti pertarungan “soft power” di masa lalu. Kali ini sangat sulit. Hingga saat ini, banyak negara kepulauan yang mendukung langkah Indonesia. Jika konsep Wawasan Nusantara diterima PBB, nasib mereka juga akan lebih baik. 

Singkat cerita, upaya memasyarakatkan Wawasan Nusantara ini berakhir positif. Berkat upaya Hasjim Djalal dan rekannya Mochtar, PBB mengakui pandangan para diplomat sebelumnya dalam Tinjauan Kepulauan UNCLOS tahun 1982 dan Deklarasi Djuanda tahun 1957.

“Melalui UNCLOS 1982, kedaulatan Indonesia atas perairan pulau-pulau, wilayah udara di atasnya, serta dasar laut dan tanah di bawahnya, beserta seluruh sumber daya yang dimilikinya, dijamin oleh hukum internasional,” kenang Hasjim. 

Sejak saat itu, Indonesia diakui sebagai negara kepulauan. UNCLOS 1982 kemudian diratifikasi melalui UU 17 Tahun 1985. Seluruh lautan Indonesia digabungkan. Tentu saja kapal asing yang masuk ke wilayah Indonesia tidak akan sembarangan masuk ke laut. Perairan Indonesia juga semakin meluas seiring hukum maritim yang menghitung ulang jarak teritorial dan zona ekonomi eksklusif. 

Pelayanannya di Hasyim berakhir pada tahun 1994. Dia pensiun ke Pejamba. Karirnya diteruskan oleh putranya Dino Patti Djalal. Meski sudah pensiun, Hasjim tetap terlibat dalam penjelasan konsep Wawasan Nusantara dan isu-isu diplomasi lainnya. Sayangnya, cerita itu sudah tidak terdengar lagi.

Hasjim Djalal kini telah meninggal. Hashim meninggal dunia pada 12 Januari 2025 karena sakit. 

Selamat tinggal pahlawan laut Indonesia! (mfa/mfa) Saksikan video di bawah ini: Video: Surat Produk Perawatan Rambut Lokal Peluang Bisnis Mendunia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *