Jakarta, ILLINI NEWS – Kejaksaan Agung menetapkan mantan Menteri Perdagangan Tomas Lembong sebagai tersangka kasus impor gula, membuka kembali pembicaraan mengenai industri gula dalam negeri. Indonesia kini menjadi importir gula terbesar di dunia.
Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat, Indonesia mengimpor gula sebanyak 5,55 juta ton hingga Mei 2024. Fakta ini jelas mengkhawatirkan, padahal pada masa penjajahan Indonesia merupakan eksportir gula terbesar kedua di dunia. Hanya kalah dari Kuba.
Pada saat itu, perusahaan gula Indonesia merupakan salah satu perusahaan gula terbesar di dunia dan mendominasi pasar global. Secara historis, setidaknya ada dua perusahaan gula Indonesia yang mendominasi pasar gula dunia.
Keduanya berhasil memanfaatkan kebijakan budidaya tebu pemerintah kolonial. Apa pun? 1. Organisasi Kepedulian Wong Chung Huo (OTHC)
Perusahaan ini didirikan pada tahun 1893 oleh Oei Tiong Ham, seorang pengusaha asal Semarang. Oei mendirikan OTHC dengan pinjaman sebesar N300.000 dari pensiunan diplomat. Uang itu digunakan untuk membeli lima pabrik gula.
Sejarawan Kunio Yoshihara menjelaskan dalam “Huang Zhong Xianguan: Kerajaan Komersial Pertama di Asia Tenggara” (1989) bahwa pabrik gula yang dioperasikan oleh Huang Zhong menganut prinsip modernisasi. Dia memperoleh banyak alat produksi modern.
Dia juga menentang nepotisme. Dia tidak mau melibatkan keluarga yang tidak kompeten dalam manajemen, lebih memilih ahli dari Eropa dan Tiongkok. Singkatnya, prinsip inilah yang membuat OTHC sukses.
Sejarawan Ong Hock Ham (1992) dari Oei Tiong Ham Group menyatakan bahwa selama 1911-1912, OTHC berhasil mengekspor 200.000 ton gula, mengalahkan perusahaan-perusahaan Barat. Bahkan, OTHC juga berhasil menguasai 60% pasar gula Indonesia.
Secara global, OTHC juga meluncurkan produknya di berbagai belahan dunia. Misalnya India, Singapura, Malaya, China, Hong Kong, dan London. OTHC juga secara perlahan membuat terobosan di bidang perbankan, pergudangan, dan transportasi. Saat ini, Oei Tiong Ham dikenal sebagai Raja Gula Semarang di dunia.
Namun kesuksesan OTHC berakhir setelah kematian pemiliknya, Oei Tiong Ham, pada tahun 1942.
Puncaknya terjadi pada 10 Juli 1961. Perusahaan tersebut dinyatakan bangkrut dan pemerintah kemudian mengambil alih seluruh aset OTHC.
Hasil penyitaan OTHC selanjutnya digunakan sebagai modal mendirikan perusahaan tebu milik negara PT Rajavali Nusantara Indonesia (RNI) pada tahun 1964.
Tokoh sentral di balik KHT adalah Kwik Djoen Eng, seorang pengusaha Tionghoa yang tinggal di Seoul. Bersama saudara-saudaranya, ia mendirikan KHT pada 17 Juli 1884. Awalnya ia berdagang teh, beras, minyak kelapa, batu bara, dan gula.
Namun, ini merupakan komoditas terakhir yang berhasil diraih KHT. Leo Suriadinata dalam “Orang Asal Tionghoa di Asia Tenggara” (2012) menyatakan bahwa modal awal KHT berasal dari kepiawaian Kwik Djoen Eng meminjam ke bank.
Khususnya, ia berhasil menarik Bank of Taiwan, Bank of Japan dan Standard Chartered Bank Inggris sebagai investor. Ratusan ribu gulden ditarik dari brankas bank.
Melalui pinjaman ini, Quaker mendirikan industri gula dari hulu hingga hilir. Hasilnya, KHT berhasil menjadi perusahaan gula terkemuka dunia menyaingi OTHC milik Oei Tiong Ham.
Faktanya, pada tahun 1920, KHT termasuk dalam 5 perusahaan teratas dunia. Total keuntungan sebesar N14 juta. Usaha tersebut awalnya berlokasi di Solo dan perlahan mulai merambah ke Tiongkok dan Jepang. Kwik juga melakukan diversifikasi, mulai dari pelayaran hingga perbankan.
Namun menurut Alexander Klaver dalam Perdagangan Belanda dan Pedagang Cina di Jawa (2014), keberhasilan KHT relatif berumur pendek. Sebab pada tahun 1935, perusahaan tersebut dinyatakan bangkrut karena tidak mampu melunasi utang-utangnya.
Quick diketahui mengikuti sistem menggali lubang dan menutupinya untuk melunasi seluruh utangnya. Situasi ini membuat perusahaan mempunyai uang tunai yang semakin sedikit. Selanjutnya pada tahun 1930an, industri gula dunia sedang mengalami kemerosotan.
Situasi ini pada akhirnya mengakhiri 40 tahun kehadiran KHT dan Kwik di Indonesia. Seluruh aset KHT dan Kwik disita oleh Bank Jawa (sekarang Bank Indonesia).
Sejauh ini, belum ada perusahaan gula Indonesia seperti Oei Tiong Ham Concern dan Kvik Hoo Tong Handelmaatschappij yang berhasil mendominasi pasar Indonesia dan global. Keduanya hanyalah kenangan dan bukti bahwa kebutuhan gula dalam negeri pada masa lalu cukup melimpah. Tidak diperlukan impor. (mfa/sef) Tonton video di bawah ini: Video: Teks tentang produk perawatan rambut lokal Prospek bisnis mendunia