Jakarta, ILLINI NEWS – Kebanyakan orang asing yang tinggal di masa kolonial Indonesia bernasib buruk. Mereka menjadi kaya dari perdagangan yang menjadikan penduduk asli menjadi budak dan penindasan.
Hanya sedikit orang asing kaya yang baik hati. Salah satunya adalah pemilik perkebunan dan pabrik teh super besar di Bandung yang dijuluki “Raja Teh”, Karel Albert Rudolf Bosscha.
Sepanjang hidupnya ia tidak seperti orang asing lainnya dan justru bersimpati terhadap perkembangan penduduk asli dengan membangun jalan, sekolah, dan lembaga penelitian. Bagaimana kisah peralihan ke Java?
Bosscha lahir dan besar di Belanda. Pada tanggal 15 Mei 1865, ia berlayar sendirian ke Jawa untuk mengadu nasib. Mereka percaya bahwa bekerja di Jawa bisa membuat Anda kaya. Ngomong-ngomong, dia punya banyak kerabat yang tinggal di Jawa dan membuktikan keyakinannya.
Sesampainya di Jawa, ia tinggal di rumah pamannya Eduard Julius Kerkhoven, pemilik perkebunan di Sukabumi. Setelah itu Bosscha berangkat ke Kalimantan untuk mencari emas. Alih-alih memenangkan medali emas, ia malah terjangkit malaria, yang hampir membunuhnya dan membuatnya bangkrut.
Alhasil, ia kembali ke Jawa pada tahun 1892 dan memutuskan menerima tawaran pamannya untuk mengelola kebun di Priangan. Saat itu, tulis Suganda Her dalam Kisah Para Penanam Preanger (2014), tidak mudah bagi Bosscha dalam mengurus kebun karena kondisi perkebunan yang sulit didapat dan ia tidak memiliki pengalaman pribadi.
Namun, waktu menunjukkan bahwa ia berhasil mematahkan itu semua. Bermodal bibit teh dari India, tenaga kerja terampil, dan inovasi teknologi terbarukan, ia menyulap lahan di Priangan menjadi perkebunan teh lengkap dengan pabriknya.
Seluruh teh yang dihasilkan berhasil terjual dan menembus pasar Eropa dan China. Keuntungan tersebut kemudian dijadikan modal untuk membuka perkebunan baru di Bandung, Garut, dan Sukabumi.
Bosscha menjadi orang kaya dan berpengaruh dalam waktu singkat. Sejarawan Rudolf Mrázek dalam bukunya Engineers of the Happy Land (2006) menyebut Bosscha sebagai raja teh dan orang Belanda terkaya di Indonesia. Faktanya, ia sangat dihormati oleh para pejabat tinggi dari banyak negara di dunia.
Belum diketahui secara pasti berapa jumlah harta yang dimilikinya. Namun jika melihat kebaikannya terhadap penduduk pribumi, bisa dipastikan gelar raja teh dan orang Belanda terkaya ini tidaklah berlebihan.
Kaukasia yang baik
Pria kelahiran 1865 ini mewakili nilai-nilai humanisme sejak awal usahanya dan sangat dekat dengan pekerja pribumi. Bosscha menjunjung tinggi mereka dan menganggap mereka lebih dari rekan-rekan mereka. Kebetulan kelanjutan bisnis tersebut terjadi ketika pemerintah Hindia Belanda memberlakukan kebijakan etika pada tahun 1901.
Menurut penelitian Fakhriansyah, “Akses Pendidikan Pribumi pada Masa Etika (1901-1930)” (2019), Kebijakan Etika merupakan kebijakan pembalasan Belanda terhadap bangsa Indonesia setelah sekian lama menjajah mereka. . Timbal balik ini berlaku di tiga sektor: pendidikan, migrasi dan irigasi.
Di antara ketiga sektor tersebut, semangat kebijakan etika sangat tercermin dalam sektor pendidikan. Pemerintah kolonial ingin mencapai cita-cita kemanusiaan bersama penduduk pribumi, meski dalam praktiknya kaum pribumi juga akan mengalami kesulitan.
Antusiasme tersebut kemudian mendorong Bosscha, sebagai orang kaya, melakukan hal serupa. Bosscha memahami kebijakan kolonial masih sangat cacat karena seluruh praktik pembangunan masih terfokus pada perkotaan. Maka ia membangun banyak layanan untuk penduduk asli di desa-desa sekitar perkebunan.
Suganda mencatat bahwa ia mendirikan sekolah vervoolg di perkebunan untuk anak-anak petani. Ia kemudian menyumbangkan Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB).
Mereka melakukan hal yang sama di dunia kesehatan. Ia diketahui memberikan tanah seluas 25.000 m kepada Balai Penelitian Kanker Bandung. Selain itu, ia menyumbangkan ribuan gulden untuk pembangunan rumah sakit dan institusi bagi penyandang tunanetra dan tuli.
Selain pendidikan dan kesehatan, Bosscha juga mendukung pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Pada tahun 1920-an, Bosscha mendirikan observatorium di Gunung Tangkuban-Perahu. Ia rela mengeluarkan uangnya sendiri untuk membawa teleskop dari Eropa ke Bandung dan memanfaatkan koneksi bisnisnya untuk meminta bantuan keuangan.
Dalam bukunya Empire of Reason: Exact Sciences in Indonesia, 1840-1940 (1989), Lewis Pyenson menyatakan, ketika dibuka pada 1 Januari 1923, observatorium ini merupakan yang terbaik di belahan bumi selatan.
Kebaikannya sebagai orang asing di tengah masyarakat pribumi membuatnya menjadi sosok yang langka. Saat Bosch meninggal mendadak akibat serangan jantung pada 26 November 1928, tak sedikit warga yang berduka atas kematiannya dan membawa jenazahnya ke liang kubur.
(mfa/sef) Tonton video di bawah ini: Video: Teks prospek perawatan rambut lokal Prospek bisnis global Artikel selanjutnya Tentara menjadi orang terkaya di Jawa, memerintah negara di pinggiran Jakarta