Jakarta, ILLINI NEWS – Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri satu per satu melakukan perampingan, bahkan menutup sebagian atau seluruh pabriknya, menyebabkan puluhan ribu pekerja menjadi korban PHK atau berkurangnya pendapatan akibat PHK atau upah harian.
PT Asia Pacific Fibers Tbk (Asia Pacific) baru-baru ini mengumumkan akan menutup sementara pabriknya di Karawang, Jawa Barat mulai Jumat (1/11/2024). Asia Pasifik adalah produsen benang dan benang.
Sebelumnya, Pabrik Tekstil Margaasih di Provinsi Bandung merumahkan 301 pekerja yang tersisa di pabrik tersebut, menurut Ketua KSPN Ristadi, perusahaan secara bertahap mulai merumahkan pekerjanya dan kini bersiap menutup pabrik sepenuhnya.
Lalu ada raksasa tekstil ternama Indonesia Sritex yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang Niaga pada Oktober 2024. Puluhan ribu pekerja dikhawatirkan terancam kehilangan pekerjaan jika keputusan pailit tersebut akhirnya sah. Perusahaan saat ini sedang mengajukan banding atas perintah kebangkrutan tersebut.
Lalu apa penyebab runtuhnya industri TPT di Indonesia?
Benarkah Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 Tahun 2024 (Permendag) Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan No.
Menurut Fitra Faisal Hastiadi, Ekonom dan Dosen Universitas Indonesia, industri TPT nasional sedang booming dalam satu atau 10 dekade terakhir. Dan, tambahnya, Peraturan Menteri Perdagangan No. 8/2024 bukan alasannya.
Bahkan, sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan No. 8/2024 berkali-kali ditentang oleh pengusaha dan serikat pekerja, termasuk pemerintah, kali ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
“Apakah ini (Mendag 8/2024) berbahaya (bagi industri TPT), ini harus dikaji ulang, kalau Mendag dijadikan ‘kambing hitam’, harusnya dicek dulu; memang benar mereka mendapat tekanan karena undang-undang ini,” kata Fitra dikutip Selasa (5/11/2025).
Menurut dia, pengujian Permendag 8/2024 tidak bisa dilakukan sampai satu atau dua tahun setelah diterbitkan. Selain itu, industri tekstil mengalami tekanan selama 10 tahun terakhir.
“Tapi kalau uji coba pabriknya tidak akan bertahan satu atau dua tahun, itu butuh waktu bertahun-tahun. Lalu pabriknya bermasalah (karena) jatuh begitu saja, bukan karena itu, tapi akibat bertahun-tahun,” katanya.
Fitra mengatakan, banyak hal yang menyebabkan industri TPT tertekan, bahkan hal itu sudah terjadi selama lebih dari sepuluh tahun.
“Industri TPT sendiri sudah mengalami tekanan selama 10 tahun bahkan lebih dari satu dekade terakhir. Karena banyak hal yang menghambat efisiensi industri TPT,” kata Fitra.
Ia mencontohkan, salah satu penyebab industri TPT tertekan adalah biaya produksi yang sangat mahal. Menurutnya, mahalnya biaya produksi membuat industri lokal sulit bersaing dengan produk lain. Selain itu, biaya produksi yang tinggi tidak diimbangi dengan produksi yang memadai.
Pertama, soal biaya produksi. Biaya produksi ini berasal dari dua hal. Yang pertama adalah tenaga kerja dari segi produksi di negara lain yang masih tertinggal. Pertumbuhan produktivitas, jadi upah, pertumbuhannya lebih tinggi dari produksi.
Ia juga mengatakan investasi di bidang manufaktur juga memberikan tekanan pada industri tekstil. Ia mengatakan saat ini banyak pengusaha yang kesulitan mencari bahan baku.
Oleh karena itu, jika industri TPT ingin mendapatkan bahan produksinya tidak semuanya berasal dari dalam negeri, juga penuh dengan pembatasan. Banyak undang-undang yang melarang pembelian barang dari negara lain sehingga menyulitkan industri TPT. industri untuk mencari bahan baku yang murah.” – dia menjelaskan.
Menurut dia, sulitnya bahan baku yang murah membuat harga produksi sulit bersaing dengan produk lain. Oleh karena itu harga yang disajikan tidak kompetitif.
“Dua hal ini yang kemudian membuat harga (harga produk) menjadi tidak kompetitif. Karena biaya produksi yang mahal dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja dan penggunaan cara produksi. Makanya kalau mau memberi nilai, ini juga jadi masalah” Kalau kita Lihatlah dari perspektif global,” katanya.
Belum lagi faktor pandemi COVID-19 dan peperangan di beberapa negara juga menjadi salah satu penyebab tekanan terhadap industri TPT dalam negeri.
“(Perang) itu penurunan permintaan global. Apalagi COVID-19 menurunkan daya beli. Saat shutdown jadi beban tambahan, karena kita harus menggaji pekerja dan bekerja,” ujarnya.
Dalam kasus Sritex, dia mengaku tidak bisa menyalahkan Permendag 8/2024 sebagai tindak pidana. Oleh karena itu, tambahnya, kebangkrutan Sritex harus dilihat secara keseluruhan, salah satunya akibat operasional perusahaan.
“Sritex yang membangun industri TPT hanya di satu atau dua sektor membuat kemampuannya membayar (utangnya) dipertanyakan. Jadi saya melihat Permendag 8/2024 malah tidak menjadi alasan Sritex tidak efektif karena salah urus,” kata Fitra.
Karena itulah dia menyarankan agar industri TPT berkembang dengan baik, pembangunan yang kompleks harus dilakukan.
“Kalau industri TPT, harus ada pembangunan industri besar-besaran dalam konteks ekosistemnya,” pungkas Fitra.(dce/dce) Simak video di bawah ini: Video: Prabowo “ngotot” selamatkan Pabrik TPT Sritex Artikel selanjutnya Ternyata Ini Alasan Pabrik Tekstil 4 Tutup. lebih dari 2.000 orang diberhentikan