illini berita Impotensi PBB, ICJ, dan ICC di Persimpangan Konflik Israel & Palestina

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Dewan Redaksi illinibasketballhistory.com

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara Berkembang (D-8) ke-11 di Kairo, Mesir, Kamis (19/12/2024), Presiden RI, Prabowo Subianto, menegaskan dengan tegas bahwa perselisihan antar umat Islam negara. mempengaruhi mereka secara kolektif untuk mendukung penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Pernyataan yang didasari pemahaman atas tangis, ketakutan, derita dan penderitaan rakyat Palestina di tanah airnya, sungguh mencerminkan urgensi membangun solidaritas global dalam menghadapi tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung.

Hingga saat ini, dunia telah menyaksikan serangan militer, blokade di Gaza, penggusuran dan perampasan tanah di Tepi Barat, serta serangan terhadap infrastruktur sipil Palestina oleh Israel yang jauh melampaui makna ungkapan “kemanusiaan yang dimanusiakan”.

Berdasarkan laporan Al Jazeera pada 22 Desember 2024, konflik ini memakan korban jiwa sebanyak 47.215 orang, termasuk 17.661 diantaranya adalah anak-anak. Dengan lebih dari 122.607 korban luka-luka dan 11.000 lainnya hilang.

Fakta bahwa banyak warga sipil Palestina yang tidak melakukan kesalahan apa pun juga menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia menjadi alasan kuat bahwa tindakan tersebut tidak lagi dapat ditoleransi.

Namun mekanisme hukum internasional yang diharapkan menjadi solusi untuk mengesankan masyarakat internasional ternyata jauh dari kata efektif, apalagi dianggap berperan. Institusi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Mahkamah Internasional (ICJ) dan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menghadapi hambatan struktural dan politik yang menjadikan keadilan bagi Palestina terkesan utopis.

Hak veto dan pengaruh AS di PBB Selain tindakan keji Israel yang dilandasi semangat Zionisme, trauma sejarah seperti tragedi Holocaust juga membuat negara-negara Barat memberikan dukungan besar untuk mencegah tuduhan antisemitisme atau kebencian terhadap Yahudi, termasuk terhadap Yahudi. Amerika Serikat (AS).

Pengaruh Amerika di Dewan Keamanan PBB (DK PBB) merupakan salah satu faktor utama yang menghambat penyelesaian konflik Israel-Palestina. Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, AS telah menggunakan hak vetonya sebanyak 49 kali untuk menghalangi resolusi terkait konflik ini.

Hak veto yang diatur dalam Pasal 27 Piagam PBB memperbolehkan anggota tetap Dewan Keamanan PBB untuk membatalkan keputusan, ketetapan atau rancangan resolusi, tidak hanya itu, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara yang selalu berperan dalam upaya Palestina untuk menjadi negara yang maju. anggota penuh PBB. Padahal, status keanggotaan penuh ini dapat memperkuat posisi Palestina dalam perundingan atau diplomasi internasional serta memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat dan efektif terhadap pelanggaran HAM dan upaya penjajahan di wilayahnya.

Dominasi Amerika ini menunjukkan adanya bias struktural dalam sistem PBB yang seharusnya mendukung kebebasan dan kesetaraan antar bangsa. Pengaruh Amerika yang signifikan membuat PBB tidak berdaya dan akibatnya terus mempertahankan kolonialisme di seluruh dunia.

Jika hal ini merupakan norma, Pasal 27 Piagam PBB yang memberikan hak veto kepada AS jelas menjauhkan komunitas internasional dari semangat menciptakan dunia yang lebih setara setelah Perang Dunia II.

Tidak mengherankan jika Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D., selaku Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia pernah mengatakan bahwa hukum internasional sejatinya adalah hukum hutan, artinya pihak yang lebih kuat adalah pihak yang bersangkutan. siapa yang akan menang

Lemahnya penegakan keputusan ICJ dan surat perintah penangkapan ICC ICJ kini telah memutuskan gugatan Afrika Selatan atas dugaan genosida Israel yang menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah dan operasi militer di wilayah Palestina adalah tindakan ilegal dan harus diakhiri no. setelah 6 (enam) bulan sejak putusan dibacakan.

Keputusan ICJ didasarkan pada pasal 94 ayat (1) Piagam PBB dan pasal 41 Statuta ICJ yang mengikat setiap negara anggota PBB yang terlibat dalam kasus tersebut.

Namun, penting untuk dicatat bahwa hukum internasional adalah moralitas positif atau hukum yang sanksinya tidak dapat ditegakkan oleh entitas mana pun. Oleh karena itu, pelaksanaan setiap keputusan ICJ tidak dapat dilaksanakan atau bergantung pada konsensus atau keinginan negara yang bersangkutan.

Hal di atas menjadi salah satu faktor Israel masih mempunyai opsi untuk terus melanggar substansi keputusan ICJ. Faktanya, setelah keputusan ICJ ditindaklanjuti dan diperkuat dengan terbitnya resolusi Majelis Umum PBB ES-10/2024, resolusi tersebut tidak serta merta berhasil menghentikan Israel dari segala tindakan ilegalnya di wilayah Palestina.

Jelas bahwa kelemahan utama keputusan ICJ ini adalah efektivitas penerapan dan penegakannya yang terlalu lemah, apalagi jika negara yang bersangkutan tidak mau bekerja sama.

Selain putusan ICJ, ICC juga mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu, Perdana Menteri Israel. Perlu diketahui, di Israel sendiri, peringatan akan ancaman resesi dan krisis ekonomi terus disuarakan oleh sejumlah pihak dan gejolak politik dalam negeri, seiring rezim Netanyahu yang terus mengusung kebijakan agresi militer.

Situasi ini memberikan gambaran bahwa surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu sebenarnya tidak hanya penting bagi Palestina, namun juga bagi seluruh masyarakat Israel yang prihatin terhadap kemauan politik rezim Netanyahu dalam mengatasi konflik Israel-Palestina.

Surat perintah penangkapan ini merupakan bagian dari tahap penyidikan ICC setelah tahap Praperadilan I pada 5 Februari 2021 yang menentukan bahwa ICC mempunyai kewenangan dan dapat menilai situasi di Gaza dan Tepi Barat.

Jika Netanyahu ditangkap, pergantian kepemimpinan di pemerintahan Israel dipandang sebagai secercah harapan bagi terciptanya perdamaian di tanah Palestina. Sayangnya, ICC tidak memiliki lembaga penegak hukum independen yang mampu melaksanakan surat perintah penangkapan.

Oleh karena itu, pelaksanaan surat perintah penangkapan akan sangat bergantung pada bagaimana seluruh negara bereaksi terhadap dikeluarkannya surat tersebut. Namun, penting untuk dicatat bahwa hanya negara-negara anggota ICC atau negara-negara yang telah menandatangani Statuta Roma yang mempunyai kewajiban untuk menangkap orang-orang yang dituduh.

Meskipun ada negara-negara anggota ICC yang berkomitmen untuk mengeksekusinya, praktik internasional saat ini belum pernah terjadi sebelumnya di mana suatu negara menangkap pemimpin negara lain.

Terlebih lagi, pelaksanaan penangkapan terhadap seorang pemimpin suatu negara erat kaitannya dengan potensi konflik kepentingan antar negara maupun dalam lingkup internal negara yang bersangkutan itu sendiri.

Adanya risiko politik yang dapat merusak hubungan bilateral dan regional membuat negara-negara peserta Statuta Roma seringkali dihadapkan pada dilema besar. Dilemanya adalah mereka dihadapkan pada pilihan untuk memenuhi kewajiban internasionalnya atau menjaga stabilitas dalam negeri dan hubungan diplomatik yang mereka jalin dalam status quo.

Solusi Dua Negara: Harapan di Tengah Ketidakpastian Sekalipun ada beberapa kelemahan, melaksanakan putusan ICJ dan surat perintah penangkapan ICC tetap merupakan cara penting untuk membuka solusi dua negara terhadap konflik Israel-Palestina.

Solusi dua negara merupakan solusi konseptual yang menekankan pada pengakuan kemerdekaan Israel dan Palestina sebagai dua negara merdeka yang mampu hidup berdampingan secara damai.

Dalam hal ini, putusan ICJ yang memerintahkan diakhirinya agresi dan pendudukan ilegal Israel memberikan arah bagi upaya perdamaian yang terhambat oleh keengganan rezim Netanyahu untuk mengikuti perintah tersebut. Oleh karena itu, langkah ini harus dibarengi dengan pelaksanaan surat perintah penangkapan ICC terhadap Netanyahu untuk mengakhiri kekerasan dan agresi yang sedang berlangsung.

Dengan demikian, keadilan dan penghormatan terhadap perdamaian dunia dapat menjadi pintu masuk yang membuka jalan bagi terwujudnya solusi dua negara. Namun, menyadari kompleksitas sistem hukum internasional saat ini, Indonesia juga harus memulai langkah-langkah alternatif yang lebih strategis untuk mengatasi konflik Israel-Palestina: Pertama, penerapan sanksi politik dan ekonomi terhadap Israel. Indonesia harus memimpin dan menjadi yang pertama menciptakan situasi internasional yang dapat membuat Israel merasa kehilangan kepercayaan negara lain karena dikucilkan dari hubungan internasional.

Embargo perdagangan, sekalipun diperlukan, hingga pemutusan hubungan diplomatik, harus dilakukan untuk menciptakan isolasi internasional yang memaksa Israel berhenti melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Kedua, memperkuat pengaruh global melalui cara-cara non-koersif, seperti budaya, pendidikan, dan hubungan masyarakat. Teori diplomasi lunak menekankan ketertarikan dan persuasi, dibandingkan kekuatan militer atau ekonomi.

Indonesia dapat memanfaatkan ikatan sejarah dan solidaritasnya dengan Palestina melalui program kebudayaan, dialog antaragama, dan konferensi perdamaian yang melibatkan para pemimpin agama dan nasional. Pendekatan ini memperkuat posisi Indonesia sebagai pendukung resolusi damai dan pembela hak asasi manusia.

Dalam skala global, kedua langkah tersebut harus menjadi upaya bersama semua negara untuk menciptakan perubahan struktural dan sistemik yang mampu memberikan tekanan nyata kepada Israel dalam konflik di Palestina.

Namun penting untuk dicatat bahwa langkah tersebut juga harus menghormati norma perdagangan internasional dan menjaga hubungan bilateral strategis antar negara.

Penggalan pembuka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “…penyelenggaraan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” tetap menjadi pedoman moral bagi Indonesia dan dunia internasional.

Dalam konteks ini, perjuangan kemerdekaan Palestina merupakan wujud nyata dari nilai-nilai tersebut. Dengan memperkuat solidaritas internasional dan memaksimalkan peran globalnya, Indonesia dapat berkontribusi dalam terciptanya perdamaian yang berkeadilan di tanah Palestina.

Ingatlah bahwa Palestina sendiri bukan sekadar sebidang tanah yang disengketakan, melainkan simbol perjuangan tatanan dunia yang adil, di mana martabat manusia dijunjung tinggi di tengah reruntuhan penindasan. (miq/miq)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *