Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan redaksi illinibasketballhistory.com.
Ki Hajar Dewantara, tokoh nasional dan bapak pendidikan Indonesia, selalu menekankan bahwa pendidikan dan pengajaran adalah proses memanusiakan manusia, menjadikan manusia sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Sang Pencipta.
Tentu saja proses ini tidak dapat terjadi jika semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, seperti guru dan siswa sebagai aktor primer, serta pemerintah dan orang tua sebagai aktor sekunder, tidak bersatu untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kurangnya keselarasan antar pemangku kepentingan dapat menimbulkan disparitas hasil pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia. Sering terdengar bahwa semakin jauh dari kota besar, kesenjangannya semakin besar.
Mengapa ini terjadi? Kecukupan ilmu (fathonah) tidak tercapai karena guru kurang memahami materi ajar atau siswa tidak mempunyai keinginan untuk menggali ilmu lebih dalam. Guru dan penerima pendidikan harus bersatu dalam pendidikan yang holistik, pola pengajaran dan pola penerimaan bahan ajar harus selalu didasarkan pada sisi pedagogi (metode pengajaran yang baik) dan sisi sosiologis (pemahaman terhadap kondisi semua pihak).
Apakah ada solusi untuk ini? Penyediaan sumber belajar merupakan kunci bagi pendidik dan peserta didik dalam mengakses sumber ilmu pengetahuan. Di era sistem yang bebas dan terbuka saat ini, kita tidak perlu memproduksi seluruh bahan ajar; Bahan ajar dapat disiapkan oleh profesor dari universitas terdekat.
Tentunya segala pembelajaran harus didukung oleh tenaga pendidik pada masing-masing lembaga pendidikan; Sistem belajar mandiri tidak akan berhasil tanpa peran pendidik.
Ketersediaan bahan ajar dan tenaga pengajar tentu saja hanya tahap awal dalam menjamin tersedianya pendidikan nasional bagi semua orang. Kendala lain di era teknologi terbuka adalah kemungkinan adanya kondisi di mana masyarakat ingin mencapainya dengan mudah. Kemungkinan terjadinya hal tersebut bisa jadi disebabkan oleh kurangnya karakter (kejujuran) pada masyarakat Indonesia yang terpelajar.
Ketiadaan karakter (berkata jujur, jujur, dan tidak berbohong) dapat terjadi pada semua aktor di bidang pendidikan. Kurikulum yang tidak selaras secara regional juga menyebabkan standar pengujian mengabaikan nilai sidik jari.
Ketidaksesuaian kurikulum tanpa pemahaman kognitif masyarakat berperan penting dalam proses pengikisan nilai. Karakter langsung orang terpelajar, karakter tanpa sidik jari, bisa jadi menjadi awal keruntuhan pendidikan nasional. Kurangnya penerapan landasan etika dan moral dalam pendidikan yang menekankan pentingnya kejujuran dan integritas.
Nilai-nilai seperti kejujuran dan usaha sangat penting ditegaskan, karena merupakan landasan etika dan komitmen yang diperlukan untuk mencapai hasil yang bermutu dan harus diutamakan dalam Pendidikan Nasional kita untuk Indonesia Emas.
Penilaian formatif dan sumatif yang dilandasi kejujuran dan kerja keras selama proses pembelajaran atau bekerja dapat membantu menciptakan generasi emas Indonesia yang siap bekerja secara lebih terstruktur dan terencana.
Tak ayal, semua pihak berharap agar kegagalan dalam dunia pendidikan tidak terjadi. Kesalahpahaman mengenai dasar-dasar pendidikan dapat terjadi pada tingkat kelas atau pada tingkat kebijakan. Ketidakpekaan terhadap akibat atau dampak kebodohan sebagai seorang pendidik menyebabkan apa yang diajarkan tidak sesuai dengan hakikat ilmu pengetahuan.
Keinginan untuk mencapai transfer ilmu pengetahuan tidak akan terwujud jika pendidik hanya menghitung sesuai keinginannya tanpa mengetahui apakah ilmunya memadai.
Kepekaan pendidik harus senantiasa menjaga karakter fathonah, melestarikan ilmu pengetahuan sesuai dengan kaidah umum yang berlaku dan tentunya tidak melupakan karakter sidik jari. Kejujuran dalam berinteraksi dengan seluruh pemangku kepentingan sangatlah penting.
Dengan memperbaiki ekosistem pendidikan, termasuk menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan lokal, serta memperbaiki metode pengajaran, kita dapat mengatasi fenomena kegagalan pendidikan dan mencapai tujuan pendidikan nasional untuk semua yang diinginkan, sejalan dengan visi Ki Hajar Dewantara. (miq/miq)