Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Dewan Redaksi illinibasketballhistory.com
Kabar kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di PTN kembali memenuhi ruang pemberitaan di media. Peningkatan besaran UKT yang mencapai puluhan persen dibandingkan tahun sebelumnya menimbulkan pertanyaan mengapa peningkatan tersebut terjadi.
Disadari atau tidak, pertumbuhan drastis yang terjadi tak lepas dari keinginan sejumlah PTN untuk mengubah status kelembagaannya menjadi badan hukum. Menjadi badan hukum merupakan dambaan sebagian besar PTN, karena dengan status tersebut terdapat tambahan kewenangan otonom di bidang akademik dan non akademik. Kewenangan tersebut salah satunya adalah hak untuk menentukan besarnya penghasilan atau remunerasi Anda tanpa campur tangan pihak luar kampus.
Kontroversi kenaikan UKT pada akhirnya berujung pada dua pendapat, yaitu pendapat yang mewakili suara kampus dan pendapat yang mewakili kepentingan mahasiswa. Di sisi kampus, pendapat utama mengacu pada isu-isu terkait kesejahteraan tenaga pengajar.
Pertumbuhan UKT menjadi salah satu penyebab kualitas pendidikan tinggi di Tanah Air semakin baik. Di sisi lain, para mahasiswa juga berpendapat bahwa kenaikan biaya pendidikan justru menjadi beban tambahan bagi orang tua siswa.
Apapun pendapat yang lebih logis, harus dicari titik temu atas perbedaan pendapat yang muncul. Pertanyaannya adalah apakah dua suara yang berlawanan itu tidak bisa didamaikan? Jawabannya tentu saja ya.
Menjamin penghasilan yang baik bagi dosen, sekaligus membatasi kenaikan UKT, sangat mungkin dilakukan. Rekonsiliasi kedua pendapat tersebut dapat dilakukan melalui kajian mendalam terhadap dua topik, yakni permasalahan aset dan struktur belanja di PTN.
Aset adalah titik fokus pertama dalam kekacauan yang terjadi kemudian. Aset ibarat pedang bermata dua, bisa menjadi beban sekaligus berpotensi menjadi sumber pendapatan. Bagi sebagian besar PTN, banyaknya aset yang dikuasai, khususnya aset tanah, merupakan beban berat yang harus diterima.
Memegang amanah berupa aset tanah yang luas menjadi salah satu keunggulan PTN dibandingkan PTS. Bicara sekedar tanah sebagai faktor produksi, ternyata bagi PTS yang minim aset tanah justru menjadi berkah tersendiri.
PTS mampu mengoptimalkan lahan yang dimilikinya untuk menyelenggarakan pendidikan. Ciri khas perguruan tinggi swasta adalah letak gedung perkuliahan yang mengelompok, dengan struktur bangunan vertikal dan mempunyai fasilitas tambahan non-pendidikan yang terbatas.
Hanya sedikit perguruan tinggi swasta yang mengalokasikan lahan khusus untuk taman, kolam renang atau infrastruktur untuk tujuan estetika. Memang dari segi keindahan kurang menarik dipandang, namun dari segi efisiensi penyelenggaraan jasa PTS akan memiliki struktur harga yang lebih efisien.
Permukaan tanah di PTN berbeda dengan di PTS. Sebuah PTN bisa mengelola puluhan bahkan ratusan hektar lahan. Karena luas lahan yang luas, pola konstruksi bangunan di PTN cenderung berbeda dibandingkan PTS.
Salah satu alasan mendasarnya adalah sebagai fungsi pengamanan tanah yang dikuasai. Dengan menyebarnya bangunan pada lahan yang dikuasai akan mengurangi potensi perampasan lahan oleh pihak lain.
Sayangnya, ada beban tambahan yang pada akhirnya timbul dari model pembangunan ini. Biaya pengoperasian dan pemeliharaan juga meningkat. Contoh dari beban akhir adalah ketersediaan personel di setiap gedung untuk memeliharanya setiap saat. Jika sejumlah bangunan dikelompokkan dalam satu struktur vertikal, maka jumlah personel yang diperlukan untuk menjaga dapat diminimalkan karena hanya diperlukan penjaga di lantai dasar bangunan tersebut.
Keunggulan lain dari luasnya lahan yang dikelola adalah tersedianya berbagai fasilitas tambahan yang memberikan nilai tambah bagi PTN. Berbagai taman, kolam dan berbagai ornamen menarik dapat disisipkan di sela-sela gedung perkuliahan. Ingatlah bahwa berbagai fasilitas tersebut tidak gratis. Ada biaya tambahan untuk menjaga fasilitas tetap berjalan dengan baik.
Tersedianya berbagai fasilitas tambahan atau beban dalam memegang aset yang dikuasai menjadi alasan mengapa diperlukan pemberdayaan aset. Leverage aset bukan berarti aset yang dikuasai harus memberikan kontribusi yang menguntungkan bagi institusi, namun justru memperkecil beban yang ditanggung kampus untuk mempertahankan aset yang dikendalikan.
Sehingga adanya penambahan fasilitas tidak menjadi beban bagi mahasiswa melalui UKT, namun aset yang dikuasai mampu memberikan hasil sehingga biaya operasional dibiayai oleh pendapatan dari aset tersebut. Di sinilah manajemen kampus harus kreatif mencari mitra kerja sama dalam pengelolaan lahan dengan tujuan membebani mahasiswa untuk mendapatkan alternatif lain dalam pembiayaannya.
Permasalahan lainnya terkait struktur beban di PTN. Hingga saat ini, universitas membagi sekitar 40% pendapatan yang mereka terima untuk mendanai penghargaan tersebut. Sedangkan 60% dialokasikan untuk kebutuhan operasional dan pengembangan layanan.
Memang tidak ada ketentuan tertulis mengenai porsi remunerasi yang ideal, namun jika dibandingkan dengan praktik di bidang kesehatan, angka 40% sudah menjadi kesepakatan. Di bidang kesehatan, besaran pelayanan/pelayanan medis adalah 40% dari biaya yang dibayar pasien.
Proporsi inilah yang kemudian menjadi acuan dalam kaitannya dengan pembagian imbalan di PTN. Jika ada keinginan untuk memberikan penghasilan yang baik bagi para pendidik, ada beberapa alternatif yang bisa dipilih, yaitu:
1. 1. Meningkatkan jumlah pendapatan dari PTN, 2. 2. Menggunakan porsi biaya remunerasi lebih dari 40%, atau 3. 3. Mengurangi jumlah pegawai (khususnya pegawai non pengajar atau pendukung).
Alternatif pertama paling mudah dilakukan karena dengan meningkatkan UKT maka pendapatan juga akan meningkat. Peningkatan pendapatan akan meningkatkan distribusi yang digunakan untuk mendanai imbalan.
Selain meningkatkan UKT, pendekatan lain yang bisa dilakukan adalah dengan menambah kelas-kelas baru untuk mendorong pertumbuhan pendapatan. Kedua cara meningkatkan pendapatan ini bukannya tanpa tantangan. Pertumbuhan UKT pasti akan ditandai dengan adanya rasa ketidakpuasan dikalangan mahasiswa, sedangkan penambahan kelas-kelas baru akan bersifat linear dengan adanya tambahan sumber daya untuk mendukung terselenggaranya kelas-kelas tersebut.
Penambahan kelas baru pada akhirnya akan menjadi sebuah siklus dimana peningkatan pendapatan dari kelas tersebut akan memicu peningkatan jumlah karyawan baru, yang kemudian akan mengembalikan jumlah imbalan yang diterima ke angka semula, karena jumlah dividen meningkat. .
Alternatif kedua, yaitu menaikkan persentase pengeluaran lebih dari 40%, tampaknya mudah, namun konsekuensi pengurangan biaya operasional dan pelayanan akan segera terlihat oleh masyarakat. Mungkin sebagian dari kita pernah mengamati keadaan kampus yang catnya kusam atau fasilitas perkuliahan yang kurang terawat, fakta tersebut merupakan dampak dari berkurangnya biaya operasional sebuah kampus.
Sebenarnya pengurangan beban operasional bisa dilakukan dengan otomatisasi pelayanan di PTN. Dalam dunia kesehatan, SIMRS (Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit) sudah menjadi suatu keharusan, sedangkan di dunia pendidikan masih banyak perguruan tinggi yang belum memiliki SIM terintegrasi.
SIM terintegrasi pada perguruan tinggi akan menggabungkan seluruh aplikasi yang ada menjadi satu aplikasi layanan PTN. Konsep SIM yang ideal di perguruan tinggi harus mencakup mulai dari pelayanan kemahasiswaan, pemanfaatan sarana dan prasarana pendidikan, pengelolaan aset, hingga akuntansi pencapaian kinerja pegawai.
Pada praktiknya, SIM yang terintegrasi akan mengurangi biaya operasional, termasuk mengurangi beban pelaksanaan tugas-tugas administratif yang sebelumnya dilakukan secara manual dan berulang-ulang. Hasil efisiensi biaya operasional dapat dialihkan untuk peningkatan kesejahteraan guru.
Alternatif terakhir terkait dengan restrukturisasi pegawai, khususnya non pendidik atau tenaga pendukung. Pilihan ini adalah sesuatu yang mudah diucapkan secara teori tetapi sulit untuk diterapkan. Hal yang menyulitkan restrukturisasi pegawai adalah karena ada unsur “perasaan” yang akan mempengaruhi jiwa pengambil kebijakan. atau
Alternatif kedua dan ketiga merupakan alternatif yang berkaitan. Otomatisasi layanan akan berkaitan dengan jumlah karyawan yang dibutuhkan. Semakin banyak suatu pekerjaan dilakukan secara manual maka semakin banyak pula karyawan yang dibutuhkan, sebaliknya semakin otomatis suatu pekerjaan maka semakin banyak pula karyawan yang dibutuhkan dapat dikurangi.
Sebagai institusi akademis, PTN harus bisa mengedepankan pengembangan SIM terintegrasi untuk meningkatkan pelayanan dibandingkan tetap menjadi institusi yang “padat karya”.
Jadi sebaiknya manajemen PTN melakukan perbandingan dengan PTS mengenai struktur biaya yang menentukan besaran biaya pendidikan. Saat ini PTN masih menjadi favorit karena “branding” yang tertanam di benak masyarakat. Namun apakah merek ini akan menjadi daya tarik selamanya?
Banyak brand ternama di dunia yang akhirnya mengalami masa “kemerosotan” setelah sekian lama menjadi pemimpin pasar. Sebelum itu terjadi, mari kita analisa struktur pengeluaran di masing-masing PTN. Rangkaian pembelian mana yang penting dan mendesak, serta rangkaian pembelian mana yang dapat ditunda atau disederhanakan. Tujuannya tentu saja agar PTN menjadi lembaga yang mengayomi semua pihak, baik bagi mahasiswa, dan menyenangkan bagi tenaga pengajar. (teman/teman)