JAKARTA, ILLINI NEWS – Presiden Pravo Subianto berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 8% pada masa pemerintahannya. Hal ini menimbulkan pro dan kontra dari waktu ke waktu, meskipun Bank Dunia tetap optimis dalam laporannya.
Dalam berbagai kesempatan, Pravo menginginkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh sebesar 8%. Target-target tersebut ambisius, antara lain 5,7% pada tahun 2025, 6,4% pada tahun 2026, kemudian 7% pada tahun 2027, kemudian 7,5% pada tahun 2028 dan 8% pada tahun 2029.
Bahkan, informasi terkini menyebutkan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan Presiden Pravo Subianto meminta kabinetnya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada tahun 2027. Investasi dan Ekspor seperti yang dilakukan pada tahun 1995, atau pada masa pemerintahan Presiden Pravo Subianto. Presiden kedua Indonesia, Soeharto.
Airlangga mengatakan pada Rakornas 2024 di Jakarta, Rabu (12/11/2024) kita tahu Presiden telah menetapkan tingkat pertumbuhan sebesar 8% yang disuruh kita capai pada tahun 2027 atau 2028.
Dalam laporannya yang bertajuk Funding Vision 2045, Bank Dunia membahas target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8%. Bank Dunia menawarkan dua skenario pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.
Skenario pertama adalah menggabungkan stimulus sisi permintaan dengan reformasi struktural yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas (skenario GovPlanFRTFP). Skenario kedua adalah membandingkan stimulus permintaan saja (GovPlanFR).
Bank Dunia: Perekonomian Indonesia membutuhkan pertumbuhan 8%.
Berdasarkan skenario GovPlanFRTFP, pemerintah telah menetapkan target pertumbuhan utama untuk pertumbuhan permintaan selama lima tahun ke depan, untuk mencapai pertumbuhan sebesar 8%.
Strategi ini mencakup dukungan besar bagi investasi sektor swasta serta insentif keuangan. Investasi swasta direncanakan di bidang konstruksi, perumahan, pertanian, sumber daya alam dan manufaktur. Sebagian besar investasi ini diharapkan berasal dari penanaman modal asing (FDI).
Sekadar informasi, realisasi FDI semakin meningkat mulai tahun 2020 dan seterusnya. Pada tahun 2023 saja, realisasi investasi PMA tercatat sebesar Rp744 triliun atau lebih banyak dibandingkan tahun 2022 yang tercatat sebesar Rp654,4 triliun. Sementara dari sisi pertumbuhan, realisasi investasi PMA mengalami peningkatan sebesar 13,69% atau kalah dibandingkan periode 2021-2022 yang meningkat sebesar 44,14%.
Stimulus fiskal akan difokuskan pada 17 program prioritas pemerintah, termasuk program utama gizi dan program perlindungan sosial lainnya. Pemerintah berencana untuk meningkatkan pendapatan pajak hingga 16% dari PDB pada tahun 2030 untuk membiayai program-program ini dan mempertahankan aturan defisit fiskal.
Peningkatan permintaan agregat dapat menimbulkan dampak makroekonomi yang berbeda-beda, bergantung pada sejauh mana peningkatan tersebut dibarengi dengan reformasi struktural. Laporan Bank Dunia menyimulasikan dampak percepatan permintaan terhadap pertumbuhan dan mengkaji trade-off makroekonomi dalam dua opsi kebijakan reformasi struktural.
Skenario pertama (GovPlanFR) mengasumsikan pertumbuhan investasi akan berlipat ganda dalam lima tahun pertama dan secara bertahap kembali ke tingkat pertumbuhan dasar pada paruh kedua dekade ini. Sebagai hasil dari peningkatan investasi ini, total pembentukan modal pada tahun 2030 akan menjadi 20% lebih tinggi dibandingkan baseline (55% lebih tinggi pada tahun 2035).
Dalam konteks ini, diasumsikan juga bahwa program prioritas fiskal akan dibiayai secara berkala dari penerimaan pajak yang lebih tinggi, yang diperkirakan akan meningkat menjadi 16% PDB setelah tahun 2030. 80% belanja pemerintah yang baru diharapkan merupakan belanja rutin yang akan bermanfaat bagi rumah tangga, dan 20% diharapkan dalam bentuk belanja modal. Investasi publik akan meningkat hingga rata-rata 2,4% PDB, dibandingkan dengan 1,4% dalam satu dekade.
Defisit fiskal diperkirakan akan melebar menjadi sekitar 2,8% PDB. Namun defisit akan tetap berada di bawah norma yang disetujui, yaitu maksimal 3% PDB. Pandangan ini mengambil pendekatan business-as-usual dalam hal reformasi struktural.
Sebagai catatan, belanja negara Indonesia (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN) meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin besarnya kebutuhan masyarakat dan program pemerintah.
Pada tahun 2023, belanja negara diproyeksikan sebesar Rp3.121,9 triliun Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2022 yang sebesar Rp3.096,3 triliun
Sementara itu, skenario kedua (GovPlanFRTFP) mengasumsikan bahwa selain paket stimulus ekonomi, pemerintah Indonesia akan mempercepat reformasi struktural yang akan menggandakan pertumbuhan produktivitas faktor total (TFP) dan meningkatkan keuntungan modal dan tenaga kerja.
Reformasi yang meningkatkan TFP memberikan ruang bagi langkah-langkah di sisi permintaan untuk merangsang pertumbuhan tanpa menimbulkan tekanan inflasi karena reformasi tersebut mengatasi inefisiensi di sisi penawaran dan meningkatkan kapasitas produktif perekonomian.
Reformasi yang meningkatkan TFP memastikan bahwa stimulasi permintaan tidak menimbulkan tekanan inflasi dengan meningkatkan kemampuan perekonomian untuk memasok barang dan jasa. Reformasi ini meningkatkan kapasitas produksi, mengurangi hambatan struktural dan mendorong inovasi, sehingga memungkinkan sisi penawaran untuk merespons permintaan.
Dengan meningkatkan efisiensi pasar tenaga kerja, mendorong persaingan, dan mendukung investasi di bidang teknologi dan infrastruktur, mereka mengurangi biaya produksi dan memoderasi inflasi. Hasilnya, perekonomian dapat meningkatkan produksi sebagai respons terhadap peningkatan permintaan tanpa kenaikan harga yang signifikan, sehingga menjaga stabilitas harga sekaligus mendukung pertumbuhan.
Perekonomian RI akan overheat
Bank Dunia menyatakan jika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8% pada skenario satu dan dua, maka hal tersebut tidak akan bertahan lama karena perekonomian berisiko mengalami overheating.
Dalam skenario pertama, investasi swasta dan pemerintah akan menimbulkan tekanan inflasi yang signifikan. Inflasi bisa mencapai 9%
Sedangkan jika menggunakan dua skenario, kemungkinan inflasi juga akan meningkat namun tidak seagresif satu skenario atau maksimal 5,6%.
Perlu diketahui, inflasi dapat mengikis daya beli rumah tangga dan menurunkan permintaan konsumen. Inflasi juga dapat menurunkan daya saing ekspor ketika nilai tukar riil menguat. Selain itu, peningkatan tingkat investasi umumnya meningkatkan impor, meningkatkan saldo transaksi berjalan, dan memberikan tekanan pada cadangan devisa dan mata uang. nilai tukar terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Semua faktor ini dapat menghambat pertumbuhan dan mengembalikan perekonomian ke potensi produktivitasnya. Tekanan ini juga akan mengarah pada kebijakan moneter yang lebih ketat untuk mengelola inflasi dan mengurangi volatilitas nilai tukar. Hal ini pada gilirannya dapat mempengaruhi ekspansi kredit dan investasi dalam negeri.
Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan skenario kedua dimana suku bunga acuan Bank Indonesia (BE) kemungkinan besar akan meningkat namun tidak cukup signifikan untuk menekan inflasi dibandingkan dengan skenario pertama yang berpotensi meningkat terlalu besar. . tinggi
Riset ILLINI NEWS
[dilindungi email] (rev/rev)