Jakarta, ILLINI NEWS – Tahun 2024 tercatat sebagai salah satu tahun paling menyedihkan dalam sejarah bencana alam. Mulai dari badai dahsyat hingga gelombang panas ekstrem, negara ini seakan berteriak-teriak di tengah perubahan iklim yang semakin nyata.
Para ilmuwan terus memperingatkan bahwa kenaikan suhu global meningkatkan dampak bencana, menjadikannya lebih sering terjadi, lebih mematikan, dan lebih merusak. Setiap angka kematian bukan sekadar statistik, namun merupakan cerminan kisah orang-orang yang kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan.
Kerugian akibat bencana tidak hanya diukur dari jumlah nyawa yang hilang, namun juga dari dampak ekonomi yang menghancurkan.
Di Amerika Serikat saja, hingga 1 November 2024, telah terjadi 24 kejadian cuaca ekstrem dengan kerugian melebihi $1 miliar, menurut Pusat Informasi Lingkungan Nasional. Ironisnya, meskipun Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) pada bulan November menyetujui penggandaan pendanaan untuk perlindungan negara-negara berkembang, Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB Simon Steele memperingatkan bahwa dunia masih memiliki “segunung urusan yang belum selesai”.
Gelombang bencana tahun ini menunjukkan betapa seriusnya situasi ini. Badai tropis, banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan gelombang panas telah melanda banyak belahan dunia, meninggalkan jejak kehancuran yang luar biasa. Dari Filipina hingga Arab Saudi, dari Papua Nugini hingga Jepang, bencana alam tahun ini telah memberi kita pelajaran berharga tentang perlunya solidaritas global untuk memerangi ancaman-ancaman ini.
Di Filipina, Topan Tropis Trami, atau Christine, menewaskan 141 orang pada akhir Oktober, memicu banjir dan tanah longsor yang setara dengan hujan selama dua bulan dalam 24 jam. Di belahan dunia lain, gelombang panas saat ibadah haji di Arab Saudi menewaskan lebih dari 1.300 orang akibat sengatan panas, menjadikannya tragedi paling mematikan yang menimpa ibadah haji tahunan. Suhu di Mekah juga mencapai lebih dari 51 derajat Celcius, menunjukkan betapa rentannya masyarakat terhadap perubahan iklim.
Bencana lain datang dari Papua Nugini, di mana tanah longsor pada bulan Mei menewaskan lebih dari 670 orang dan menguburkan ribuan orang. Gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter menewaskan sedikitnya 213 orang dan menghancurkan hampir 2.000 rumah di Jepang pada awal tahun baru. Hujan deras di Nepal pada akhir September menyebabkan banjir dan tanah longsor yang menewaskan 192 orang, sebagian besar di Lembah Kathmandu.
Di Amerika Serikat, Badai Helen mencatat kerusakan terparah sejak Badai Katrina pada tahun 2005. Badai Kategori 4 melanda wilayah Tenggara, menyebabkan sedikitnya 225 kematian dan kerugian ekonomi hampir $60 miliar di North Carolina saja. Di sisi lain, kebakaran hutan di Chile pada bulan Februari adalah yang terburuk dalam sejarah negara tersebut, menewaskan 136 orang dan melanda sebagian besar wilayah Valparaiso.
Bencana alam ini juga merupakan seruan untuk bertindak. Dunia tidak bisa menundanya lebih lama lagi. Dari Filipina hingga Arab Saudi, dari Jepang hingga Papua Nugini, kisah-kisah ini menyampaikan pesan yang sama bahwa jika kita tidak berubah, bencana serupa akan terjadi, dan kerugian yang ditimbulkan akan terus berlanjut.
Riset ILLINI NEWS
(menyematkan/menyematkan)