JAKARTA, ILLINI NEWS – Hari Anti Korupsi Internasional yang diperingati setiap tanggal 9 Desember merupakan momen untuk merefleksikan persoalan korupsi yang sudah mengakar dalam dinamika sosial dan politik Indonesia.
Hari ini awalnya ditetapkan pada tahun 2003 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bertepatan dengan penandatanganan Konvensi Anti-Korupsi PBB di Meksiko untuk meningkatkan kesadaran akan korupsi dan menyoroti peran perubahan serta cara mengatasinya.
Dalam konteks Indonesia, peringatan ini bukan sekedar seremoni, namun juga merupakan kesempatan untuk mengkaji secara mendalam korupsi yang telah mengakar dan berdampak pada hampir seluruh aspek kehidupan.
Fenomena yang menarik perhatian dari waktu ke waktu adalah peran istri koruptor dalam siklus korupsi semakin hari semakin kompleks dan sistematis.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada tahun 2024, indeks perilaku antikorupsi (IPAK) Indonesia telah turun tajam menjadi 3,85 pada skala 0 hingga 5, berada di bawah target jangka menengah negara. Rencana Pembangunan (RPJMN).
IPAK merupakan indeks yang mengukur perilaku antikorupsi di masyarakat dengan skala 0 sampai 5. Semakin rendah angkanya, maka semakin rendah pula budaya antikorupsi di masyarakat.
Dalam survei ini, kami mengukur dua indikator: persepsi dan pengalaman. Persepsi menggambarkan sikap dan perasaan masyarakat terhadap perilaku mengganggu di lingkungannya. Pemahaman ini diukur ketika individu berada dalam lingkungan keluarga, komunitas, dan pelayanan publik.
Angka tersebut bukan sekedar tampilan statistik, namun juga merupakan indikasi melemahnya kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi.
Namun, penurunan ini mencerminkan kenyataan sosial bahwa korupsi masih ditoleransi bahkan di dalam keluarga.
Salah satu variabel yang perlu diperhatikan adalah partisipasi istri para koruptor, yang tidak lagi hanya menjadi korban, namun telah menjadi aktor yang berkontribusi terhadap pelestarian dan perlindungan keuntungan finansial yang diperoleh dari kejahatan.
Kajian terhadap beberapa selebriti menunjukkan bahwa peran istri koruptor bisa menjadi elemen strategis dalam membangun jaringan koruptor yang sulit dilacak. Misalnya saja kasus Rita Vidyasari yang mengungkap istri mantan Bupati Kutai Kartanegara terlibat dalam proses penarikan dan penyembunyian uang hasil korupsi.
Rita dan suaminya Khairuddin menerima biaya proyek, biaya perizinan, dan biaya pengadaan barang dan jasa melalui tender APBD selama menjabat sebagai pengurus. Keduanya diduga menyembunyikan dana abadi senilai $436 miliar.
Keduanya dikabarkan sepakat menggunakan uang hasil kepuasan tersebut untuk membeli berbagai kendaraan atas nama asing. Kemudian digunakan untuk membeli tanah dan menabung atas nama orang lain.
Sementara pada kasus mantan Menteri Pertanian Siahrul Yasin Limpo, keterlibatan istri dalam menjamin transaksi keuangan keluarga menunjukkan bagaimana korupsi bisa tumbuh menjadi upaya kolektif yang melibatkan struktur keluarga.
Bahkan dalam situasi bisnis dan politik, tokoh seperti Liliana Tanosoedibjo disebut-sebut kerap memanfaatkan koneksi dan pengaruhnya untuk mendukung tindakan yang diduga melanggengkan korupsi di bidang tertentu.
Keterlibatan istri koruptor tidak lepas dari banyaknya permasalahan psikologis dan sosial yang melatarbelakanginya.
Survei BPS terhadap 11.000 rumah tangga di berbagai wilayah di Indonesia menemukan bahwa masyarakat semakin toleran terhadap sumber pendapatan yang tidak jelas dan bahkan korupsi kecil-kecilan.
Hal ini menunjukkan bahwa budaya korupsi tidak hanya dipelihara oleh sebagian individu saja, namun secara tidak langsung didukung oleh masyarakat yang berkehendak. Situasi ini menunjukkan betapa gagalnya kesadaran kolektif akan bahaya korupsi.
Keterlibatan istri koruptor dalam jaringan korup mempunyai dampak sistemik. Mereka menggunakan status sosial, koneksi keluarga, dan akses terhadap kekuasaan untuk mempertahankan dan memperluas korupsi.
Akibatnya, jaringan ini dirancang tidak terlihat secara hukum, sehingga upaya pemberantasan korupsi semakin sulit dilakukan.
Peristiwa ini menunjukkan bagaimana korupsi telah berubah menjadi sistem yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan komprehensif untuk memberantasnya.
Memperingati Hari Anti Korupsi tahun ini, penting untuk memperkuat kesadaran antikorupsi dan mengutamakan keluarga.
Pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan harus bekerja sama menciptakan sistem pencegahan korupsi dari tingkat terkecil.
Pendidikan antikorupsi harus ditekankan sejak usia dini, sementara penerapan undang-undang yang transparan dan konsisten merupakan langkah penting untuk memutus rantai korupsi yang mengakar.
Survei ILLINI NEWS
(tsn/tsn)