Jakarta, ILLINI NEWS – Situasi perekonomian masyarakat Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan. Konsep menabung pangan (mantab) masih diterapkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Data Bank Indonesia (BI) yang menerbitkan laporan survei konsumen menunjukkan bahwa porsi tabungan terus menurun.
Pada Oktober 2024, porsi tabungan menjadi 15%. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni September dan Agustus 2024 yang masing-masing sebesar 15,3% dan 15,7%.
Faktanya, pangsa pada bulan Oktober 2024 merupakan yang terendah sejak Desember 2021 yang sebesar 14,1%, atau sekitar 1,5 tahun setelah pandemi Covid-19 terdeteksi di Indonesia, sehingga masuk akal jika masyarakat ingin menginvestasikan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saat ini karena rendahnya pendapatan akibat banyak perusahaan yang melakukan efisiensi (PHK/ PHK) agar tetap mampu bertahan dalam situasi sulit.
Sementara itu, pangsa konsumsi meningkat dari 74,1% pada September 2024 menjadi 74,5% pada Oktober 2024. Ini juga merupakan posisi tertinggi sejak Januari 2024 atau awal tahun ini.
Selain itu, dibandingkan awal tahun, pada Oktober 2024, dibandingkan awal tahun, porsi pinjaman angsuran meningkat, yakni dari 9,3% (Januari 2024) menjadi 10,5% (Oktober 2024).
Kenaikan kedua item tersebut semakin menegaskan bahwa masyarakat semakin mengurangi jumlah tabungannya untuk pinjaman konsumsi dan cicilan.
Jika dilihat lebih dekat, masyarakat dengan pendapatan 4,1-5 juta rupiah per bulan berada dalam tekanan paling besar, karena porsi tabungan mereka menurun secara signifikan, dari 15,4% (September 2024) menjadi 14,3% (Oktober 2024).
Sementara itu, pada Januari 2024 juga terlihat turun signifikan, yakni dari 17,5%.
Di tengah penurunan tingkat tabungan, kelompok ini menerapkan konsep penggunaan tabungan untuk pinjaman konsumsi dan angsuran.
Daya beli masyarakat melemah
Keadaan “steady state” kali ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Kondisi yang tadinya “stabil” dibarengi dengan harga pangan yang sangat tinggi sehingga daya beli masyarakat tidak mampu membeli pangan, namun kini harga pangan cenderung turun, bahkan terjadi deflasi selama lima bulan berturut-turut setiap bulannya (Mei September 2024). . ).
Namun, meski harga pangan sedang turun, masyarakat tetap menghabiskan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan lambung.
Hal ini juga terlihat dari total jumlah tabungan antara 0-100 juta rupiah pada bulan September 2024 sebesar 1058,31 triliun rupiah. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan Agustus 2024 yang sebesar 1.061,42 triliun rupiah.
Jika tidak ada solusi terhadap situasi tersebut, tindakan “mantab” menjadi lebih penting dan dapat berdampak pada semua sektor masyarakat.
Kepala Bagian Perekonomian Bank Permata Josua Pardede beberapa waktu lalu mengatakan, fenomena menggerogoti tabungan terjadi ketika pengeluaran tumbuh lebih cepat dibandingkan pendapatan seseorang. Solusinya, kata dia, adalah dengan membatasi konsumsi atau meningkatkan pendapatan masyarakat.
Pemerintah dapat menurunkan tingkat konsumsi sehingga dapat mengendalikan inflasi harga, khususnya bahan pangan. Pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, kata dia, juga harus diberikan kepada masyarakat.
Sambil menjaga harga, Josua meminta pemerintah memperbanyak lapangan kerja di sektor formal, “karena jika pekerja paruh waktu di sektor informal terlalu banyak maka gajinya tidak akan lebih tinggi dibandingkan di sektor formal,” ujarnya.
Generasi Z kesulitan mendapatkan pekerjaan
Pekerja generasi Z dikatakan sangat bergantung pada dukungan orang tua selama mencari pekerjaan. Belakangan ini banyak lulusan baru (newgraduate) dari generasi Z yang mengeluh kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Survei yang dilakukan oleh ResumeTemplates menemukan bahwa 70% pekerja Gen Z mengaku meminta bantuan orang tua dalam mencari pekerjaan. Sementara 25% lainnya bahkan membawa orang tuanya untuk wawancara.
Banyak pula yang meminta orang tua mereka mengirimkan lamaran pekerjaan dan menulis resume untuk mereka.
Salah satu penyebab suramnya pasar kerja adalah karena memburuknya situasi perekonomian global. Namun selain itu, beberapa perusahaan kini mulai menolak mempekerjakan Generasi Z.
Beberapa alasan keputusan ini antara lain kurangnya motivasi karyawan, kurangnya profesionalisme, dan buruknya kemampuan komunikasi.
“Banyak lulusan perguruan tinggi baru-baru ini merasa kesulitan untuk mulai bekerja untuk pertama kalinya karena hal itu bisa sangat berbeda dari apa yang biasa mereka lakukan ketika masih kuliah. Mereka seringkali tidak siap menghadapi lingkungan yang kurang terstruktur, dinamika budaya tempat kerja, dan ekspektasi kerja mandiri,” kata Huy Nguyen, kepala konsultan pendidikan dan pengembangan karier Intelligent, seperti dilansir Euronews, Minggu (10/11/2024).
Manajer perekrutan yang diwawancarai juga mengatakan bahwa beberapa pekerja Gen Z kesulitan dengan beban kerja, sering terlambat, dan tidak berpakaian atau berbicara dengan pantas.
RISET ILLINI NEWS
[dilindungi email] (rev/rev)