Jakarta, ILLINI NEWS – Upah minimum di Indonesia lebih rendah dibandingkan beberapa negara Asia Tenggara. Namun ironisnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan lebih tinggi di Asia Tenggara.
Meski Indonesia memiliki perekonomian terbesar di Asia Tenggara, namun upah di negara tersebut masih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Dibandingkan negara tetangga, upah minimum di Indonesia memang bukan yang terendah. Kita bicara Satudata Kementerian Ketenagakerjaan yang mencatat rata-rata upah minimum provinsi (UMP) pada tahun 2024 sebesar Rp3.113.359,85.
Namun di beberapa daerah di Indonesia, rata-rata harga UMP masih berkisar Rp 2 hingga 3 juta.
Sedangkan di Vietnam upah minimumnya Rp2,19-3,12 juta.
Namun dari segi produktivitas, pekerja di Indonesia tertinggal dibandingkan Vietnam. Menurut Menteri Tenaga Kerja Yasserli, produktivitas tenaga kerja di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan di Vietnam. Faktanya, Vietnam berhasil mengalahkan Tiongkok.
Pada tahun 2015-2021, pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Vietnam sebesar 6,8%, di Tiongkok – 5,5%, dan di Indonesia – hanya 2,6%.
Singapura, sebaliknya, menetapkan upah minimum yang tidak diatur langsung oleh pemerintah. Namun, upah kualifikasi lokal (LQS) atau upah minimum penduduk setempat adalah USD 1.600 atau sekitar Rp 16 juta.
Berbagai faktor, termasuk produktivitas tenaga kerja, investasi pada pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan iklim usaha, mendorong tingginya variasi tingkat UMP di negara-negara ASEAN.
Menteri Ketenagakerjaan Yasserli menyatakan: “Indonesia menghadapi tantangan rendahnya tingkat pendidikan angkatan kerja, dimana 53,42% hanya memiliki pendidikan menengah atau lebih rendah.” Hal ini berdampak pada produktivitas yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Apalagi, struktur perekonomian didominasi oleh sektor informal yang menyerap 57,95% pekerja sehingga membuat daya tawar pekerja terhadap upah relatif rendah.
Faktanya, negara-negara seperti Vietnam telah berhasil mengintegrasikan pendidikan kejuruan dengan kebutuhan industri, sehingga menjadikan pekerja lebih produktif dan kompetitif.
Fenomena ini menyoroti ketimpangan distribusi kekayaan di Indonesia yang semakin memperdalam permasalahan kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Banyak pekerja Indonesia, khususnya di sektor informal, masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya meskipun negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif.
Sayangnya, Indonesia justru akan menjadi negara dengan PPN tertinggi di Asia Tenggara. Pada awal Januari 2025, tarif PPN akan dinaikkan menjadi 12% dari saat ini 11%.
Namun tidak semua produk akan terkena dampak kenaikan tarif tersebut. Pemerintah juga memberikan sejumlah insentif kebijakan ekonomi untuk merangsang daya beli. Tarif PPN 12% yang berlaku mulai 1 Januari 2025 akan menjadikan tarif PPN Indonesia tertinggi di dunia, sama seperti Filipina.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan produk kebutuhan pokok, termasuk beras, tetap bebas PPN atau dikenakan tarif 0%. Seperti pendidikan dan kesehatan.
Rincian jenis barang kebutuhan pokok dan barang penting (bapokting) diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2020 (Perubahan Atas Perpres Nomor 71 Tahun 2015) tentang Identifikasi dan Penyimpanan Barang Penting dan Barang Penting.
Sebagian besar jenis barang Bapokting berhak mendapatkan keringanan PPN, sehingga perlu diperluas manfaatnya kepada yang masih terutang PPN.
Barang yang patuh harus membayar PPN sebesar 12%, namun karena memang dibutuhkan oleh masyarakat, maka beban kenaikan PPN sebesar 1% akan ditanggung pemerintah.
Dengan demikian, harga barang dan jasa yang dibayarkan penduduk tidak akan berubah. Produk-produk ini meliputi tepung terigu, gula industri, dan minyak kami.
Sri Mulyani menjelaskan, selama ini barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat banyak dibebaskan PPN (0%), antara lain barang kebutuhan pokok (beras, daging, ikan, telur, sayur mayur, susu segar), jasa pendidikan, jasa kesehatan, transportasi. utilitas, rumah sederhana, air minum yang diperkirakan PLN 265,6 ribu. Rp (2025).
Meskipun rencana kebijakan PPN 12% bertujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan pembangunan keuangan, banyak pihak yang mengkhawatirkan dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.
Meningkatnya tarif PPN dapat menambah beban konsumen yang sudah terbebani oleh tingginya inflasi dan ketidakpastian perekonomian global.
RISET ILLINI NEWS di Indonesia
[dilindungi email] (chd/chd)