illini berita Pergerakan Rupiah Sepanjang 2024, Bak Roller Coaster

Jakarta, ILLINI NEWS – Sepanjang tahun 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan mengalami fluktuasi yang cukup signifikan bak roller coaster. Dalam waktu singkat rupiah menguat, namun dalam sekejap rupiah bisa melemah.

Laporan Refinitiv, pada 27 Desember 2024, rupiah ditutup pada Rp 16.230/US$. Posisi tersebut merupakan yang terlemah sejak 19 Desember 2024.

Secara year-to-date/mtd, rupee melemah 2,46% dan secara year-to-date/ytd, rupee terpuruk 5,42%.

Dalam perjalanannya, rupiah sempat berada pada posisi terkuat pada 25 September 2024 di Rp 15.095/US$. Sementara itu, rupiah juga terpuruk ke level terburuk tahun ini pada 21 Juni 2024 di Rp 16.445/US$.

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 adalah Rp 15.000/US$. Jika dilihat selama ini, posisi rupee sudah menyimpang sekitar Rp 1.230/US$ atau melemah 8,2% terhadap target APBN sendiri.

Hal ini terjadi di tengah perasaan campur aduk di seluruh negeri, terutama dari Amerika Serikat.

Kaleidoskop Perjalanan Rupiah Tahun 2024

Pada awal Januari 2024, rupiah terkoreksi karena faktor eksternal dan internal. Secara eksternal, faktor terkuatnya adalah masih kuatnya data ekonomi AS, mulai dari inflasi hingga lapangan kerja, yang berada di atas ekspektasi pasar.

Misalnya, Amerika Serikat melaporkan bahwa perekonomiannya tumbuh sebesar 3,3% (year-on-year) pada kuartal keempat tahun 2023. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan ekspektasi para ekonom yang disurvei oleh Dow Jones sebesar 2%. kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).

Selain itu, data Flash Manufacturing PMI AS naik lebih tinggi dari konsensus pada periode satu bulan sebelumnya, dari 47,9 menjadi 50,3.

Sementara itu, Flash PMI Komposit AS Januari 2024 menunjukkan peningkatan PMI dari 50.9 menjadi 52.3 dan lebih tinggi dari perkiraan yang diperkirakan turun menjadi 50.3.

PMI manufaktur yang berada di atas 50 menunjukkan bahwa kondisi manufaktur AS berada dalam fase ekspansif.

Data PMI penting karena semakin tinggi PMI maka aktivitas manufaktur AS akan berjalan cukup panas dan berpotensi membuat inflasi semakin sulit dikendalikan.

Posisi rupiah akan terpuruk pada April 2024 saat mencapai level Rp 16.200/US$. Bahkan pada 16 April 2024 atau hari pertama perdagangan/pembukaan pasar setelah libur lebaran, rupee terlihat sudah ambruk lebih dari 2%.

Berdasarkan riset ILLINI NEWS Research terhadap pergerakan rupiah selama lima tahun terakhir, depresiasi lebih dari 2% hanya terjadi empat kali, yakni 28 Februari 2020, 19 Maret 2020, 23 Maret 2020, dan 16 April 2024 .

Atau dengan kata lain, hingga saat ini pelemahan rupiah lebih dari 2% telah terjadi tiga kali pada tahun 2020 dan satu kali pada tahun 2024.

Saat itu, rupiah kembali tak berdaya terhadap dolar karena inflasi AS secara tak terduga naik menjadi 3,5% (y-o-y/yo-yo) pada Maret 2024 dari 3,2% pada Februari 2024. Selain itu, data pasar tenaga kerja AS juga menunjukkan adanya tambahan pekerja hingga 303.000 di non-farm payrolls. Angka ini jauh di atas ekspektasi pasar yang sebesar 200.000.

Kenaikan inflasi AS dan masih hangatnya data ketenagakerjaan AS telah menimbulkan kekhawatiran bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunganya lebih lama.

Kekhawatiran pelaku pasar terhadap meluasnya perang di Timur Tengah juga muncul akibat serangan Iran terhadap Israel.

Iran meluncurkan lebih dari 300 drone dan rudal ke sasaran militer di Israel pada hari Sabtu dalam serangan yang digambarkan oleh Presiden AS Joe Biden sebagai serangan yang “belum pernah terjadi sebelumnya”.

Amerika melakukan intervensi untuk membantu Israel menembak jatuh hampir semua amunisi yang masuk, kata Biden dalam sebuah pernyataan.

Ekonom senior Bank Central Asia (BCA) Barra Kukuh Mamia mengatakan, pelemahan rupee secara umum disebabkan oleh faktor global, terdiri dari konflik di Timur Tengah (Middle East) dan data AS yang berada di atas ekspektasi pasar.

Kemudian pada Juli hingga September 2024, rupiah terlihat sangat menguat dengan kenaikan yang sangat signifikan yakni dari Rp 16.445/US$ menjadi Rp 15.095/US$ hanya dalam waktu tiga bulan.

Kuatnya posisi rupiah tersebut muncul dari potensi resesi Amerika Serikat yang terjadi pada akhir pekan lalu. Hal ini berdampak pada anjloknya Indeks Dolar AS (DXY) dan menjadi angin segar bagi rupiah untuk kembali menguat di bawah level psikologis Rp 16.000/US$.

Kemungkinan terjadinya resesi di AS meningkat setelah indikator Sahm naik.

Pada Juli 2024, Indikator Resesi Sahm tercatat menunjukkan 0,53 poin persentase yang berarti ada kemungkinan Amerika Serikat akan mengalami resesi. Alhasil, DXY mengalami penurunan yang sangat tajam dan membuat rupiah semakin menguat.

Selain itu, The Fed juga berencana menurunkan suku bunganya cukup agresif sebesar 50 basis poin (bps). Hal ini akhirnya membuat DXY semakin terpuruk bahkan mencapai level 102,67 pada 5 Agustus 2024 yang merupakan titik terendah sejak 15 Januari 2024 atau sekitar tujuh bulan terakhir.

Hal ini semakin diperburuk dengan carry trade yen yang berdampak signifikan.

Kepala Riset Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan di tengah terbatasnya aliran dana asing ke saham dan obligasi, hal ini dinilai sebagai reaksi terhadap penguatan ekstrim yen yang menguat 10% di bulan setelah Bank of Japan menaikkan suku bunga. Hal ini memperkuat rupee.

Ia juga mengatakan yen Jepang menyumbang 12% terhadap kurva nilai tukar efektif nominal (NEER) rupiah, nomor dua setelah yuan Tiongkok. Dengan kata lain, yen Jepang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Bahkan lebih mahal dari euro, dolar AS, atau dolar Singapura, mengingat besarnya perdagangan Indonesia dengan Jepang.

Namun penguatan rupiah nampaknya tidak berkelanjutan. Sejak Oktober hingga akhir Desember, rupee tampak terdepresiasi dipicu oleh sentimen AS.

Kemenangan Presiden Terpilih AS Donald Trump melawan Kamala Harris mendorong DXY semakin tinggi karena pasar percaya bahwa dengan kemenangan Trump maka akan semakin sulit untuk menekan inflasi, terutama karena barang-barang impor ke AS dikenakan tarif yang lebih tinggi, sehingga membuat harga barang secara keseluruhan menjadi lebih tinggi. di AS lebih mahal.

Jika inflasi tidak bisa didorong ke level yang lebih rendah dan target The Fed sebesar 2% terpenuhi, maka sepertinya The Fed akan membiarkan suku bunga di level yang cukup tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, atau dengan kata lain, penurunan suku bunga akan menjadi hal yang buruk. namun lebih besar. sulit terjadi.

Rilis laporan Ringkasan Proyeksi Ekonomi (SEP) The Fed bulan Desember 2024 juga menunjukkan bahwa tahun depan The Fed hanya diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 50 bps dari perkiraan sebelumnya sebesar 100 bps.

Hal ini membuat DXY semakin menguat dan membuat Rupiah terus tertekan dari hari ke hari.

RISET ILLINI NEWS

[dilindungi email] (karang)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *