Jakarta, ILLINI NEWS – Indeks Harga Konsumen (IHK) akan kembali mengalami penurunan atau mengalami deflasi pada September 2024. Deflasi ini merupakan rekor terburuk sejak tahun 1999 atau 24 tahun terakhir.
Deflasi selama lima bulan berturut-turut sebenarnya terjadi menjelang berakhirnya masa jabatannya di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (1/10/2024) pada September 2024 mengalami deflasi sebesar 0,12% secara bulanan atau year-on-month (mtm). Laju deflasi tersebut lebih dalam dibandingkan kondisi Agustus 2024 sebesar 0,03%.
Keadaan deflasi ini terjadi sejak Mei 2024 sebesar 0,03%, kemudian berlanjut pada Juni 2024 sebesar 0,08% dan Juli 2024 sebesar 0,18%. Dengan demikian, deflasi telah terjadi selama lima bulan berturut-turut hingga berakhirnya pemerintahan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2024.
Sementara itu, IHK meningkat secara year-on-year (year-on-year) atau inflasi sebesar 1,84% atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang sebesar 2,12%.
Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggara Vidyasanti mengatakan deflasi berturut-turut dalam satu tahun kalender bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Ia mengatakan, kondisi tersebut muncul saat Indonesia mengalami krisis moneter (krismon) atau krisis keuangan Asia pada tahun 1998-1999.
Terakhir kali Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan (mtm) adalah pada tahun 1999. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatatkan deflasi selama delapan bulan berturut-turut, yaitu Maret (-0,18%), April (-0,68%) dan Mei (-0,28%), Juni (-0.34%), Juli (-1.05%), Agustus (-0.71%), September (-0.91%) dan Oktober (-0.09%).
Perlu diketahui, kondisi perekonomian Indonesia saat itu sedang kacau balau akibat krisis tahun 1997/1998.
Amalia juga mengatakan kelompok pengeluaran yang memberikan sumbangan deflasi terbesar adalah kelompok makanan jadi, minuman, dan tembakau dengan deflasi 0,59% dan menyumbang deflasi sebesar 0,17%.
Amalia mengatakan, deflasi pada kelompok ini merupakan yang terdalam sejak tahun 2020. Beberapa kelompok yang memberikan kontribusi tinggi adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging, dan tomat.
Deflasi masih terjadi pada kelompok non-volatile food yang terus mengalami penurunan bahkan sejak April 2024 atau awal deflasi bulanan.
Pada April hingga September 2024, deflasi volafile food nampaknya masih berlanjut, bahkan posisi deflasi pada September sebesar 1,34% dengan kontribusi deflasi sebesar 0,21%.
Komoditas dominan penyumbang deflasi komponen volatil adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging ayam ras, tomat, daun bawang, kentang, dan wortel.
Jika ditilik lebih detail, berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga cabai merah sepanjang September 2024 mengalami penurunan sekitar 19,3% dari awal hingga akhir September 2024, sedangkan harga cabai merah cabai rawit turun 7,65% pada periode yang sama.
Ke depan, Kementerian Pertanian memperkirakan harga dan stok cabai akan mencukupi hingga akhir tahun 2024. Namun dampak kekeringan menyebabkan beberapa gangguan produksi.
Hal ini sebagaimana diungkapkan Plt. Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Muhammad Taufik Ratule pada Forum Cabai Nasional di Jakarta, Selasa (9/3/2024).
Berdasarkan proyeksinya, pada Desember 2024 pasokan cabai dalam negeri sudah aman atau mencukupi kebutuhan manusia. Menurut Taufiq, permasalahannya adalah ketersediaan cabai yang cukup belum merata di seluruh wilayah Indonesia.
Total produksi cabai yang diharapkan aman adalah sekitar 3 juta ton per tahun, sedangkan konsumsi cabai per tahun sekitar 1,17 juta ton. Artinya terjadi surplus produksi cabai dalam negeri. Hal ini akan membuat harga cabai lebih stabil di masa depan.
Selain itu, kelompok makanan, minuman, dan tembakau juga tampak mulai mengalami deflasi pada bulan April hingga September 2024 (enam bulan terakhir).
Deflasi pada kelompok ini secara historis terjadi setiap bulan September (2020-2024) kecuali September 2023.
Deflasi hanya karena harga pangan?
Harga pangan yang cenderung turun memang menyebabkan deflasi bulanan dan memperlambat inflasi tahunan. Namun, ada kemungkinan melemahnya daya beli masyarakat juga bisa menjadi penyebab terjadinya deflasi selama lima bulan berturut-turut.
Secara historis, CPI Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor sisi penawaran. CPI akan naik atau mencatatkan inflasi yang tinggi jika pasokan bahan pangan seperti cabai dan beras terganggu. Jika pasokan kembali mencukupi, harga akan kembali normal dan inflasi akan terkendali.
Sebaliknya, inflasi yang didorong oleh permintaan cenderung hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu, seperti saat Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Bulan setelah lebaran biasanya mengalami deflasi karena permintaan turun tajam. Namun deflasi biasanya hanya berlangsung 1-2 bulan saat permintaan kembali normal.
Hal ini berbeda dengan tahun ini, ketika deflasi terus berlanjut dan pasokan berbagai macam barang mulai dari beras hingga telur melimpah. Buktinya, para peternak telur melakukan demonstrasi saat harga turun padahal permintaan terus turun.
Telisa Falianty, Guru Besar Universitas Indonesia, mengatakan tekanan terhadap struktur perekonomian Indonesia terjadi seiring dengan menyusutnya kelas menengah dan menurunnya daya beli.
Telis mengatakan tekanan pada permintaan, yang tercermin pada data deflasi, dan tekanan pada sektor pasokan, yang terlihat pada penurunan PMI manufaktur, akan membebani perekonomian Indonesia, sehingga membuat pertumbuhan semakin sulit. di atas 5%.
Fikri Perman, Ekonom KB Valbury Sekurita, mengatakan selain penurunan harga pangan, daya beli masyarakat juga menurun, apalagi pembelian semakin terfokus pada kebutuhan pokok.
Deflasi barang-barang tahan lama khususnya pakaian dan telekomunikasi menunjukkan bahwa pembelian barang-barang non-inti (sekunder dan tersier) mengalami penurunan yang juga dibuktikan dengan menurunnya pembelian barang-barang tahan lama (khususnya mobil) dan dari sisi penawaran menurun. Hal ini juga terkonfirmasi oleh PMI manufaktur yang masih berada pada zona menyusut, kata Fikri kepada ILLINI NEWS.
Data Mandiri Institute juga melaporkan bahwa pangsa nilai pembelian supermarket pada September 2024 terus meningkat secara konsisten sejak Mei 2024 dan saat ini berada di angka 24,2%. Belanja di supermarket hanya untuk kebutuhan sehari-hari, terutama makanan.
Pada saat yang sama, porsi pengeluaran untuk restoran, rumah tangga, dan fesyen cenderung menurun. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat lebih peduli terhadap masalah perut dan mengurangi belanja bagian lain.
Sementara itu, S&P Global kemarin (1/10/2024) merilis data PMI Manufaktur yang kembali turun menjadi 49,2 atau tiga bulan berturut-turut.
PMI yang tercatat sebesar 49,2 pada September 2024, tidak serendah Agustus 2024. Namun kondisi tersebut mengabaikan fakta bahwa kondisi produksi Indonesia kini sangat memprihatinkan.
Bhima Yudhisthira, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios) juga mengatakan deflasi yang terjadi saat ini patut dipahami sebagai indikasi melemahnya sisi permintaan secara bertahap.
“Ini bukan keberhasilan dalam mengendalikan inflasi, melainkan pertanda bahwa masyarakat menahan belanja. Faktanya, masyarakat tidak lagi menahan belanja, namun proporsi uang yang bersedia dibelanjakan telah menurun. Kelompok menengah yang rentan kelas Sementara itu, kelas menengah atas menahan belanja karena khawatir situasi ekonomi akan memburuk, jelas Bhima.
Jika deflasi terus berlanjut, para pelaku usaha, khususnya industri makanan dan minuman, perusahaan pakaian jadi, alas kaki, dan real estate akan merevisi rencana bisnisnya.
“Saat ini PMI manufaktur masih di bawah 50 atau mengurangi pembelian bahan baku. Guncangan ini bisa memicu resesi ekonomi,” tutup Bhima.
Ekonom Ciptadana Sekuritas Asia Renno Prawira mengatakan penurunan harga BBM nonsubsidi yang dilakukan Pertamina menjadi penyebab deflasi, menurut Bhima. Di sisi lain, daya beli konsumen masih terlihat lemah di bulan September.
“Indeks PMI manufaktur berada di wilayah menyusut dengan nilai 49,2 (di bawah ambang batas 50). Namun indikator ini menunjukkan perbaikan dibandingkan Agustus yang tercatat di 48,9,” tutup Renno.
“Salah satu komponen PMI manufaktur yang paling membebani adalah pesanan baru. Jadi kalau PMI manufaktur turun, bisa jadi menandakan daya beli juga turun,” tutup Renno.
Hal serupa juga diungkapkan Ekonom Senior Samuel Sekurita Indonesia Fithra Faisal. PMI manufaktur terus menurun, menunjukkan bahwa output dan asupan pesanan terus menurun.
Kondisi ini menunjukkan masih adanya permasalahan pada permintaan domestik. Produsen bereaksi secara hati-hati, dengan mengurangi aktivitas pembelian dan menarik kembali persediaan yang ada, yang mencerminkan langkah-langkah strategis untuk mengelola biaya dalam lingkungan pasar yang tidak menentu.
“Kami melihat perlambatan inflasi terutama disebabkan oleh perlambatan konsumsi. Hal ini, ditambah dengan PMI yang berada di bawah 50, berpotensi menghambat target pertumbuhan ekonomi pemerintah di atas 5% pada FY2024,” kata Fithra.
Ekonom senior Bank of Central Asia (BCA) Barra Kukuh Mamia mengatakan dalam laporan bertajuk Kebijakan BI dan Fed: Dua Nol untuk Pasar bahwa kesenjangan besar antara kapasitas manufaktur Tiongkok (yang mendominasi hampir semua sektor) dan lemahnya permintaan (setelah pemulihan tahun lalu ) ) menyebabkan penurunan margin keuntungan manufaktur dan tekanan deflasi di seluruh dunia.
“Ketidakseimbangan yang terjadi di Tiongkok juga berdampak negatif terhadap Indonesia, dengan menurunnya ekspor komoditas dan hilangnya lapangan kerja di sektor manufaktur padat karya. Mengingat bahwa pekerjaan di pabrik mungkin merupakan pekerjaan formal terbesar dan dengan bayaran terbaik bagi sebagian besar pekerja berpendidikan rendah di Indonesia ( bukan lulusan universitas), kehilangan pekerjaan ini berdampak buruk pada daya beli,” demikian bunyi laporan BCA.
Data historis Bank Indonesia yakni Indeks Keyakinan Konsumen (CII) sejak tahun 2019 menunjukkan bahwa bulan September selalu cenderung lebih rendah dibandingkan bulan Agustus, kecuali pada tahun 2021.
Sebagai informasi, IKK Indonesia pada Agustus 2024 cukup tinggi yaitu sebesar 124,4 atau lebih tinggi dibandingkan bulan lalu sebesar 123,4 atau tertinggi sejak Mei 2024. Namun bukan berarti IKK akan kembali naik pada September. dibandingkan Agustus 2024.
Kepala Komunikasi Bank Indonesia Erwin Harjono mengatakan, peningkatan kepercayaan konsumen pada Agustus 2024 didorong oleh Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang tetap positif dan Indeks Ekspektasi Konsumen (ICE) yang menguat.
Selain itu, Indeks Penjualan Riil (IPR) yang diterbitkan BI seiring Indonesia mengalami deflasi sejak Mei 2024 tercatat semakin memburuk.
Angka HKI, yang lebih rendah dibandingkan bulan April 2024 untuk sebagian besar kelompok (bebas makanan, minuman dan tembakau, bahan bakar kendaraan bermotor, peralatan informasi dan komunikasi, peralatan rumah tangga lainnya, barang dan pakaian lainnya), menunjukkan bahwa penjualan dimungkinkan. menjadi miskin.
Sekadar informasi, kekayaan intelektual ini didapat dari survei yang bertujuan menilai peningkatan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia. Jika komponen lainnya diasumsikan konstan, maka peningkatan tingkat konsumsi penduduk akan diikuti dengan peningkatan PDB (produk domestik bruto). Hal ini juga menunjukkan bahwa perekonomian negara tersebut semakin berkembang.
Meningkatnya hak kekayaan intelektual menunjukkan bahwa tingkat konsumsi manusia juga meningkat dan sebaliknya.
STUDI ILLINI NEWS
[email protected] (rev/rev) Tonton video di bawah ini: Prabowo: Unduhan mutlak, tidak bisa ditawar!