Jakarta, ILLINI NEWS – Memasuki era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, 100 hari pertama menjadi momen penting yang patut diwaspadai dalam memberikan nasihat untuk mengatasi berbagai permasalahan.
Dan ternyata dalam sejarah, tradisi 100 hari kerja sudah ada sejak era Franklin D. Roosevelt di Amerika Serikat (AS) hampir satu abad lalu. Bagaimana kisah 100 hari pertama kerja?
Sejak pemerintahan Franklin D. Roosevelt (FDR) pada 24 Juli 1933, program 100 hari pertama masa kepresidenan Amerika Serikat menjadi tolak ukur pertama efektivitas presiden baru.
Pada awal masa jabatan FDR, Amerika Serikat terancam devaluasi yang signifikan, sehingga ia memutuskan untuk melancarkan gelombang besar kebijakan dan tindakan eksekutif untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda saat itu dengan meloloskan 15 RUU dari Kongres.
Selama tahun pertamanya menjabat, tingkat pengangguran di Amerika mencapai puncaknya sekitar 25%, yang berarti lebih dari 12 juta orang Amerika kehilangan pekerjaan.
Jadi pemerintahannya mendorong 15 rancangan undang-undang melalui Kongres yang bertujuan untuk meningkatkan lapangan kerja, membantu pedesaan Amerika, dan melaksanakan reformasi ekonomi.
Setelah satu tahun, pengangguran mulai berkurang dan PDB Amerika Serikat juga mulai meningkat, sehingga FDR memberikan bantuan kepada jutaan orang Amerika.
Tindakan cepat ini menjadikan 100 hari pertama bekerja sebagai tonggak sejarah politik Amerika. Sejak itu, setiap presiden baru AS yang menjabat menghadapi ekspektasi tinggi terhadap hasil dalam 100 hari pertama dari 100 hari masa jabatan pemerintah AS selama krisis keuangan tahun 2008–2009.
Presiden Barack Obama, seperti halnya FDR, juga mewarisi krisis besar saat menjabat pada tahun 2009, yaitu Resesi Hebat.
Dalam 100 hari pertamanya, Obama berhasil meloloskan beberapa kebijakan penting, seperti Lilly Ledbetter Fair Pay Act, yang menjamin hak gaji yang adil bagi perempuan, dan American Recovery and Reinvestment Act, langkah stimulus ekonomi senilai ratusan miliar dolar. untuk menghidupkan kembali perekonomian. .
Selain itu juga dimulainya landasan reformasi pelayanan kesehatan yang kemudian melahirkan Undang-Undang Perawatan Terjangkau (Obamacare).
Namun penting untuk diingat bahwa John F. Kennedy pernah mengatakan bahwa 100 hari hanyalah permulaan.
Dia menekankan bahwa presiden harus dinilai berdasarkan pekerjaannya dalam jangka waktu yang lebih lama, misalnya 1.000 hari atau lebih, karena perubahan yang mereka lakukan memiliki dampak jangka panjang.
Hal ini tampaknya benar dalam banyak kasus, termasuk pemerintahan Obama, yang baru melihat hasil dari kebijakan-kebijakan penting setahun kemudian.
Presiden Joe Biden, yang mulai menjabat pada Januari 2021, juga menghadapi ekspektasi tinggi untuk 100 masa jabatan pertamanya.
Dengan adanya pandemi global, tekanan untuk mengambil tindakan tegas guna menangani krisis kesehatan dan ekonomi sangatlah besar.
Media seperti Time, US News, Fidelity, dan NPR telah berspekulasi dan menganalisis agenda 100 hari Biden, terutama untuk pemulihan pandemi, reformasi ekonomi, dan upaya pengamanan untuk 100 Hari Awal Baru Amerika.
Meski 100 hari pertama selalu dievaluasi secara cermat oleh publik dan media, banyak yang berpendapat bahwa pentingnya 100 hari tersebut seringkali dilebih-lebihkan.
Seperti yang dikatakan Kennedy, masa jabatan seorang presiden dinilai berdasarkan hasil keseluruhan dari kepemimpinan terlama mereka.
100 hari dapat menentukan arah dan memberikan wawasan awal, namun kebijakan dan keputusan yang diambil selama periode tersebut sering kali tidak membuahkan hasil nyata hingga beberapa tahun kemudian.
Di tengah perkembangan politik dan perubahan dinamika global, ekspektasi terhadap hasil nyata dalam waktu 100 hari kemungkinan besar akan tetap menjadi standar, meskipun setiap presiden memiliki tantangan uniknya masing-masing.
Tentu saja sejarah menunjukkan bahwa momentum awal memang penting, namun keberhasilan kepemimpinan seorang presiden bergantung pada kemampuannya menjaga konsistensi jangka panjang.
SURVEI ILLINI NEWS
(tsn/tsn)