JAKARTA, ILLINI NEWS – Gembong hacker bernama Jesse Kefu melakukan tindakan gila dengan memalsukan akta kematian dan berpura-pura mati.
Hal itu diketahui saat seorang hacker alias Free Radical mengunggah akta kematian ke forum peretasan pada awal tahun 2023 atas nama Jesse Kip. Sayangnya, sang hacker melakukan kesalahan yang sangat berbahaya.
Dia lupa mengedit stempel pemerintah negara bagian di akhir tangkapan layar. Unggahan tersebut kemudian dikonfirmasi oleh Austin Larson, analis ancaman senior di perusahaan keamanan siber Google, Mandat.
Bersama timnya, ia menemukan bahwa peretas radikal bebas meretas pemerintah Hawaii berdasarkan unggahan sertifikat kematian.
Tuan Larson kemudian melaporkan masalah tersebut kepada otoritas penerbangan. Akhirnya, penyelidikan federal dilakukan terhadap rekening dokter yang menunjukkan sertifikat kematian Jesse Keefe.
Jaksa menuduh Kipfu memalsukan kematian untuk menghindari pembayaran US$116.000 (Rp1,7 miliar) kepada putri dan mantan istrinya.
Investigasi juga mengungkapkan bahwa serangan Kepf dilakukan melalui Internet di rumahnya di Somerset, Kentucky. Dari sana, dia mempunyai akses langsung ke sistem kematian udara.
Informasi tersebut mengarahkan penyidik langsung ke rumahnya. Tech Crunch menulis bahwa Kipfu mungkin tidak menggunakan VPN untuk mengakses sistem registrasi Hawaii, yang akhirnya mengungkapkan alamat rumahnya.
Topik ini juga ditanyakan dalam wawancara. “Aku hanya sedang malas… aku sungguh tidak peduli,” jawabnya dalam kutipan, Kamis (3/10/2024).
Selain itu, Agen Khusus FBI Andre Saturnino menugaskan Capps sebagai media akses awal. Di sana dia berencana membobol sistem dan menjual akses ke peretas lain.
Larson menjelaskan KIPF memiliki beberapa identitas, antara lain FreeRadical dan GhostMarket09. Dia juga dikaitkan dengan kelompok peretas UNC3944, atau Scattered Spider, yang diduga meretas MGM Resorts. (dem/dem) Simak video di bawah ini: Inovasi Teknologi Keamanan Data ‘Perang’ Serangan Siber yang Canggih Artikel Sebelumnya Akankah Perang RI terhadap Judi Online Berujung pada Serangan terhadap Pusat Data Nasional?