Jakarta, ILLINI NEWS – Anak perusahaan Adaro Energy Indonesia (ADRO) yang bergerak di sektor batubara, PT Adaro Andalan Indonesia Tbk. (AADI) akan segera mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui penawaran umum perdana (IPO).
Adaro Andalan akan menerbitkan sebanyak 778.689.200 saham atau 10% dari modal dan akan ditawarkan pada harga Rp 4.590 hingga Rp 5.900 per saham. AAI selanjutnya akan mendapat dana sekitar Rp3,57 hingga 4,59 triliun dengan kapitalisasi pasar Rp35,74 hingga 45,94 triliun.
Lalu bagaimana sejarah panjang Adaro dalam industri pertambangan batubara baru di Indonesia?
Jejak Spanyol
Menurut situs resmi perusahaan, kisah Adaro bermula ketika Indonesia mengalami booming minyak pada tahun 1970an. Tingginya permintaan global terhadap minyak bumi, batu bara, dan minyak bumi membuat banyak perusahaan ingin menambang properti tersebut di tanah Indonesia.
Salah satu perusahaan tersebut adalah Enadimsa, perusahaan milik negara asal Spanyol. Perusahaan ingin menghancurkan tanah Kalimantan karena dianggap ada batu bara di dalamnya. Sehingga perusahaan mengirimkan penyelidikan dan menggunakan 8 blok tersebut kepada pemerintahan Soeharto.
Permohonan telah disetujui. Tepatnya pada tanggal 2 November 1982. Enadimsa mulai beroperasi hanya dengan mendirikan anak perusahaan bernama PT Adaro Indonesia. Nama Adaro berasal dari keluarga Adaro, yang memainkan peran penting dalam pertambangan Spanyol.
Sayangnya karir pertambangan Enadimsa di Indonesia tidak bertahan lama. Hanya dari tahun 1983-1989, yakni. 6 tahun.
“[…] Konsorsium perusahaan Australia dan Indonesia akan membeli 80% saham Adaro Indonesia dari Enadimsa,” demikian bunyi situs resminya.
Kemudian perusahaan Australia yang dimaksud adalah New Hope Corporation yang memiliki 40,8% saham. Sedangkan sisanya dimiliki oleh PT Asminco Bara Utama (40%) dan MEC Indocoal (8,2%). Singkatnya, penambangan batu bara sudah berjalan dengan baik. Jutaan ton batu bara per tahun dapat diangkut dari Kalimantan.
Akhirnya, di tengah kesuksesannya, berita besar mengenai saham Adaro datang pada tahun 1997.
Pertarungan kacau untuk mendapatkan saham
Mengutip Detik Financial Archives (22 September 2005), ceritanya bermula ketika PT Asminco Bara Utama menjaminkan 40% kepemilikannya sebagai jaminan atas pinjaman US$100 juta dari Deutsche Bank cabang Singapura pada Juli 1997.
Di tengah perjalanan, pada bulan Agustus 1998, Asminco tidak mampu membayar utangnya. Deutsche Bank pun bergegas menjual saham Asminco Adaro. Namun keputusan ini baru berlaku pada tahun 2001.
Pada tanggal 6 Desember 2011 Deutsche Bank mengajukan permohonan penegakan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lima hari kemudian, pengadilan di Jakarta Selatan mengizinkan Deutsche Bank melakukan penjualan pribadi kepada pihak ketiga yang ingin membeli saham tersebut.
Singkat kata, Deutsche Bank menuruti perintah pengadilan dengan menjual 40% jaminan PT Asminco seharga US$46 juta kepada PT Dianlia Setiamukti.
“PT Dianlia merupakan perusahaan nasional yang dikendalikan oleh PT Sukses Indonesia, PT Persada Kapital dan PT Saratoga Investama. Beberapa nama di balik perusahaan tersebut adalah Edwin Soeryajaya, Teddy P. Rahmat, Benny Subianto, dan Garibaldi “Boy” Tohir, “kata . Reporter Keuangan Detik.
Pada titik ini kontroversi muncul.
Meski eksekusi dilakukan sesuai petunjuk pengadilan, transaksi ini dipermasalahkan oleh pemilik tidak langsung PT Swabara Mining and Energy Asminco, yaitu Beckkett Pte. Ltd di Singapura. Menurut Beckett, transaksi tersebut ilegal karena dilakukan secara pribadi, tanpa lelang.
Beckket yang dimiliki secara tidak langsung oleh Sukanto Tanoto dan Hashim Djojohadikusumo mengajukan gugatan pada Maret 2005.
Mereka meminta pengadilan membatalkan kesepakatan dan membekukan sahamnya. Kasus ini berlanjut di Singapura, mulai dari pengadilan tingkat rendah hingga Mahkamah Agung.
Di tengah gugatan yang mulai berbau kegagalan ini, kembali terjadi pergantian saham Adaro.
Dalam laporan terpisah Detik Finance (4 Mei 2005), kali ini dilakukan oleh Benny Subianto dan Garibaldi “Boy” Tohir dari PT Alam Tri Abadi. Pasangan ini membeli 40,8% saham Adaro yang dimiliki oleh New Hope Corporation dan 8,2% saham yang dimiliki oleh MEC Indocoal seharga AS$378 juta.
Artinya, setelah kedatangan Benny dan Garibaldi, Adaro yang didominasi perusahaan asing (Spanyol dan Australia) menjadi pemilik bisnis Indonesia. Toh kepemilikannya memang sah ketika Pengadilan Singapura menolak tuntutan Beckett.
“Pengadilan Singapura telah memutuskan bahwa PT Dianlia Setyamukti adalah pemilik PT Adaro Indonesia, perusahaan batubara terbesar di Indonesia, setelah menolak kasus Beckkett Pte. Ltd (Singapura),” tulis Detik Financial.
Sejak saat itu, PT Adaro Indonesia dimiliki oleh orang Indonesia. Secara bertahap terjadi pergantian manajemen Adaro. Adaro juga berhasil melakukan IPO pada tahun 2008. Menariknya, upaya Becket terhadap saham Adaro tidak berhasil. Beberapa minggu setelah IPO, Beckett kembali mengajukan gugatan untuk membatalkan IPO. Namun, kasus tersebut kembali dibatalkan oleh hakim. (fsd/fsd) Tonton video di bawah ini: Harga Emas ‘yakin’ di USD 3,000 / Oz di 2025, penambang tingkatkan produksi Artikel selanjutnya Bos Adaro Energy (ADRO) buka-bukaan soal penjualan anak perusahaan