Jakarta, ILLINI NEWS – Pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) meminta pemerintah segera menunda rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Januari 2025 menjadi 12%.
Suryani Sidik Motik, Ketua Dewan Pembina HIPPI, mengatakan hal ini terjadi karena di tengah tertekannya daya beli masyarakat, kenaikan PPN dapat berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi dan aktivitas dunia usaha.
Selain itu, saat ini terdapat kecenderungan ultra-sustainable living atau hidup hemat yang membuat masyarakat enggan melakukan aktivitas konsumsi di luar kebutuhan pokok. Hal ini tercermin dari tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang berada di bawah 5% pada tahun ini.
Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya sebesar 4,91% pada triwulan I 2024, triwulan II 4,93%, dan triwulan III 4,91%. Akibatnya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,95% year-on-year pada Q3-2024, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan sebesar 5,05% pada Q3-2023.
“Nah, dalam situasi seperti ini, kita harus belanja semaksimal mungkin agar perekonomian kembali memanas, dunia usaha kembali tumbuh, baru kita bisa menaikkan pajak, jangan sekarang,” kata Suryani dalam Closing Bell ILLINI NEWS, Senin. /11/2024).
Suryani meyakini jika pajak penjualan dinaikkan menjadi 12% pada Januari 2025, sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP), maka harga barang dan jasa yang tersedia bagi konsumen akan naik hingga 10%. Karena mulai dari proses produksi hingga produk jadi dan distribusinya dikenakan PPN.
“Jadi bayangkan misalnya suatu produk dibuat dari bahan mentah sampai dijual, akhirnya 12%, ditambah bahan baku, ditambah minyak, ditambah lain-lain, maka bisa dibayangkan berapa persentasenya. pada akhirnya mungkin kenaikannya hanya 1%, tapi produk akhirnya bisa sangat besar, sampai 10%, “ujarnya.
Jika masyarakat sudah tidak bisa menerima kenaikan harga barang dan jasa, Suryani mengingatkan bisnis pasti akan terpuruk karena barang tidak bisa dibeli. Akibat akhirnya adalah pemutusan hubungan kerja demi efisiensi perusahaan bahkan berakhirnya usaha atau kebangkrutan.
“Hidup seram itu bukan gaya hidup, itu karena masyarakat tidak punya pilihan, karena itu survival, dan kalau itu terjadi berarti tidak ada belanja di masyarakat, jadi pasar sepi, kalau pasar sepi, orang-orang melakukannya” tidak menghasilkan”, tegasnya.
“Kalau perusahaan tidak berproduksi berarti tenaga kerjanya juga berkurang. Kalau tenaga kerja berkurang maka menimbulkan multiplier effect. Hidup hemat ini jangan dianggap enteng, pengangguran akan semakin tinggi,” kata Suryani. .
Ia juga tak segan-segan menegaskan target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto tidak akan tercapai jika tarif PPN naik menjadi 12 persen karena melemahnya daya beli masyarakat.
“Bagaimana mungkin bisa mencapai 8% kalau masyarakatnya hidup hemat. Hidup hemat itu bukan gaya, gaya hidup, cara hidup, tapi memang tidak ada pilihan,” ujarnya.
Daripada menaikkan tarif PPN menjadi 12% seiring menurunnya aktivitas ekonomi, Suryani menyarankan pemerintah lebih baik mencari penerimaan negara dari perusahaan pertambangan yang menghindari pajak sebesar Rp 300 triliun.
Maka akan lebih tepat jika meminta putusan pengadilan atas utang pajak sebesar Rp 100 triliun untuk merumuskan kembali insentif perpajakan bagi perusahaan pertambangan yang telah dibebaskan pajak selama 30-40 tahun tanpa menciptakan lapangan kerja yang luas.
“Nah itu perlu diperbaiki, dan pemerintah akan lebih untung kalau menambah 1% konsumen dari ujung ke ujung, dari hulu, bahan baku, hilir, hingga produk jadi, mungkin barangnya naik sampai 10%., kalau barang naik 10%, masyarakat jadi malas belanja, hidup hemat,” kata Suryani. (arj/mij) Simak video di bawah ini: Video: Kidung Naik PPN 12%, Protes Massa, Ingin Tunda hingga Artikel Selanjutnya Pemerintahan Jokowi Simulasikan Kenaikan PPN 12%, Apakah Berlaku di 2025?