Jakarta, ILLINI NEWS – Warga negara asing asal China, YH, dipastikan melakukan penambangan emas ilegal di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Kementerian ESDM menyebutkan YH berhasil menemukan 774 Kg emas dan 937 Kg perak. Pemerintah dilaporkan merugi Rp 1,02 triliun.
Perjalanan warga Tionghoa di pertambangan Kalimantan bukan hanya kali ini saja. Ceritanya mereka menambang emas Kalimantan selama 300 tahun.
Kedatangan mereka pertama kali pada tahun 1740. Mereka datang atas perintah Sultan Mempawah dan jumlah mereka hanya 20 orang.
Alasan Sultan Mempawah mengundang warga Tionghoa tersebut tak lepas dari keahlian yang mereka miliki. Mereka telah memiliki keterampilan pertambangan yang terampil dan dipadukan dengan praktik kerja yang baik.
Hal ini berbeda dengan masyarakat ras lain atau bahkan penduduk lokal. Keterampilan kemudian ditunjukkan selama latihan. Mereka melakukan penambangan emas dengan baik. Sultan Mempawah tidak kecewa karena mendapat banyak keuntungan.
Menurut Bondan Winarno dalam Bre-x: Sepotong Emas di Kaki Pelangi (1997), keberhasilan tersebut menarik minat besar kelompok kesultanan lain untuk mengundang warga Tionghoa. Dengan demikian, terjadi gelombang besar warga Tiongkok yang masuk ke Kalimantan.
Keinginan tersebut dibarengi dengan keinginannya untuk mengubah nasibnya, dari miskin menjadi kaya. Warga Tionghoa tidak berjalan sendiri, mereka mengadakan perjanjian pembagian hasil produksi dengan Sultan.
Sedangkan di Kalimantan, warga Tionghoa mempunyai tempat khusus. Denys Lombard dalam Lintas Budaya Nusa Java (1999) menyatakan bahwa mereka diberikan rumah, serta jaminan perlindungan dan peradilan.
Tak hanya itu, mereka juga diberikan peralatan khusus untuk menambang emas. Semua hak membuat mereka nyaman.
Pada akhirnya, tangan dingin masyarakat Tionghoa membuat perekonomian daerah sekitarnya tumbuh. Penggunaan emas membuat Kalimantan semakin populer, banyak pedagang Eropa dan Arab menjalin hubungan bisnis dengan penguasa setempat. Tindakan melampaui batas
Seiring berjalannya waktu, warga Tiongkok bekerja di luar perbatasan dengan mendirikan organisasi yang berkaitan dengan pertambangan emas. Jika mengacu pada penelitian Rahmayani dalam Montrado 1818-1858: Dinamika Kota Tambang Emas (2015), dikabarkan ada 14 organisasi yang didirikan oleh mereka.
Semua organisasi disebut “Republik”. Cium gerakannya seperti sebuah negara.
Menurut data Any, organisasi tersebut mencakup banyak kota dan organisasi lainnya. Hal ini juga dapat menentukan kebijakan organisasi, memutuskan kasus, memungut pajak, dan mencetak koin, yang semuanya berdampak pada wilayah di mana organisasi tersebut berada.
Sejak awal gerakan tersebut, warga Tionghoa memberontak terhadap Sultan yang pada awalnya sangat ramah terhadap mereka. Setelah mereka tidak patuh, mereka mengambil alih tambang tersebut. Dari sini banyak timbul konflik antara pihak Kesultanan, penduduk setempat dan masyarakat Tionghoa sendiri.
Misalnya saja pada tahun 1842, salah satu kelompok, Thaikong, terlibat konflik dengan penduduk Dayak. Awalnya, hal ini terjadi karena Tiongkok menjajah tambang emas Dayak.
Menerima hal tersebut, sekelompok orang Dayak dibantu Kesultanan Sambas menyerang Thaikong. Insiden serupa, yang banyak terjadi dan seringkali terjadi di perbatasan, menyebabkan pemerintah kolonial Belanda melarang semua perusahaan dan aktivitas pertambangan Tiongkok.
Dari sini, para warga Tionghoa yang kaya raya harus menjalani hidup baru dari nol di Kalimantan. Kemudian mereka menjadi pedagang dan rumah judi bahkan rumah pelacuran. (mfa/mfa) Simak videonya di bawah ini: Video: Artikel tentang peluang bisnis produk perawatan rambut lokal Go Global Artikel Berikutnya Bongkar Rumah, Kuli Desa Raih Emas Rp 5 Miliar