illini berita Analisis Dampak MK Larang Peserta Pemilu Gunakan Foto AI Saat Kampanye

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan direksi illinibasketballhistory.com.

Kecerdasan buatan (AI) kini menjadi teknologi yang tersebar luas di berbagai bidang, termasuk politik. Kecerdasan buatan memungkinkan pembuatan konten secara cepat, penerapannya, dan dapat disesuaikan dengan hasil tertentu, terutama penggunaannya dalam politik.

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil keputusan untuk melarang penggunaan kecerdasan buatan dalam pembuatan kampanye iklan. Keputusan ini menimbulkan perdebatan publik.

Meski kehadiran teknologi ini memang menjadi tantangan, namun pelarangan kecerdasan buatan dalam politik dapat menghambat kebebasan berekspresi sesuai konstitusi. Sebaliknya, yang harus menjadi fokus adalah pengaturan transparansi penggunaan AI, sehingga periklanan yang jujur ​​dan adil dapat terus berlanjut.

Pada Kamis (1 Februari 2025), Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang melarang penggunaan kecerdasan buatan dalam penciptaan isu politik. Putusan ini tertuang dalam Permohonan Peninjauan Kembali Nomor 21/PUU-XI/2023 yang menyatakan penggunaan kecerdasan buatan khususnya dalam bidang politik dapat melanggar prinsip demokrasi yang adil dan transparan.

Keputusan ini menimbulkan reaksi positif dan negatif di kalangan masyarakat karena sebagian pihak menilai keputusan tersebut merupakan penghambat kebebasan berekspresi yang dijamin UUD 1945.

Intelijen khusus dalam sistem politik benar-benar berfungsi sebagai alat komunikasi yang dapat mengirimkan pesan, baik gambar maupun video, dengan cara yang menarik dan mudah dipahami oleh semua kalangan. Misalnya pada Pilpres 2024, model berbasis AI memberikan model “gemoy” kepada kandidat seperti Prabowo Subianto yang membuktikan bahwa teknologi ini mampu menarik perhatian dan dukungan masyarakat, terutama di kalangan anak muda.

Namun, meski memiliki kemampuan memanipulasi emosi, konten AI tidak viral dan mudah digunakan, bergantung pada bagaimana pesan disampaikan oleh jaringan. Oleh karena itu, alih-alih melarang, yang seharusnya dibatasi adalah penyalahgunaan kecerdasan buatan yang dapat berujung pada hal tersebut, seperti penggunaan gambar atau video yang dapat merusak integritas sistem pemungutan suara.

Insiden ini menunjukkan bagaimana kecerdasan buatan dapat digunakan untuk mengubah cara berpolitik. AI memungkinkan terciptanya konten yang lebih beragam, termasuk meme, video, dan gambar, yang dengan mudah memanipulasi emosi penonton dan mudah diterima di media digital. Dalam hal ini gemoy menjadi salah satu alat untuk menjangkau masyarakat umum, khususnya generasi muda yang lebih terbiasa menggunakan media.

Ada kekhawatiran mengenai transparansi dan integritas penggunaan kecerdasan buatan dalam politik. Konten yang dihasilkan oleh AI dapat dirancang dengan cara yang menyesatkan atau menyesatkan, terutama jika digunakan untuk mengubah citra seorang pemimpin secara signifikan atau untuk memengaruhi perilaku pemilih.

Selain itu, penggunaan kecerdasan buatan untuk membuat konten viral yang menarik perhatian masyarakat dapat membahayakan dan memanipulasi opini publik, yang tentunya bertentangan dengan prinsip pemilu yang adil dan transparan.

Larangan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk melindungi hak-hak pemilih dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk berkembang dengan memenuhi kebutuhan dasar dan hak-haknya. hak atas informasi.

Jika AI digunakan untuk menciptakan kecurangan, maka berpotensi merusak integritas pemilu, yang utama adalah hak pemilih untuk mendapatkan informasi yang jujur ​​dan transparan.

Kebijakan mengenai penggunaan kecerdasan buatan dalam kampanye politik dimaksudkan untuk mencegah kerusakan seperti gambar atau penggunaan gambar, namun di sisi lain juga berisiko membatasi kebebasan berkreasi dalam menyampaikan pesan.

Namun yang lebih penting untuk ditekankan adalah aturan khusus tersebut ditujukan untuk transparansi penggunaan kecerdasan buatan dan peningkatan kreativitas lokal. Partai politik wajib mengungkapkan apakah mereka menggunakan kecerdasan buatan dalam materi kampanyenya, sehingga pemilih bisa mendapatkan informasi yang akurat dan tidak tertipu dengan hal-hal yang bisa digunakan.

Dengan demikian, integritas pemilu dapat tetap terjaga tanpa menghambat pesatnya dan suksesnya perkembangan teknologi. Meski sebagian masyarakat sudah lama mengetahui tentang produk AI, namun masih ada sebagian saudara kita di pelosok tanah air yang belum paham karena minimnya internet (blankspot).

Masyarakat Indonesia tidak hanya menginginkan kemajuan teknologi dalam proses persaingan, namun juga kearifan seorang pemimpin yang mampu mengarahkan pandangannya pada kesuksesan dalam memilih pemimpin. Inilah saatnya untuk memikirkan tentang karakteristik seorang pemimpin, bukan sekedar gambaran yang diciptakan oleh kecerdasan buatan.

Keputusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh sebatas pelarangan foto atau video yang mengandung kekayaan intelektual, tetapi juga harus menyangkut manipulasi politik yang telah menyesatkan masyarakat selama bertahun-tahun. Slogan-slogan yang menjanjikan kesuksesan seperti “Rakyat dan Tanpa Korupsi” harus menjadi kenyataan ketika para kandidat terpilih untuk menjabat.

Meskipun penggunaan teknologi maju tidak bisa dihindari di dunia modern, namun penggunaannya harus dikelola dengan bijak. Tujuan utama masyarakat saat ini adalah memastikan pemilu di Indonesia terselenggara dengan benar, tanpa adanya trik teknologi yang dapat merusak integritasnya.

Namun yang terpenting adalah memastikan pemimpin terpilih bisa memenuhi janjinya dengan tindakan nyata untuk kemaslahatan rakyat. Fokus utama demokrasi Indonesia harus menjadi perhatian bersama. (miq/miq)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *