Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat Dewan Redaksi illinibasketballhistory.com.
Industri pertahanan di negara-negara Barat terus mengalami konsolidasi melalui merger dan akuisisi sejak tahun 1950an hingga saat ini. Melalui konsolidasi, jumlah produsen pertahanan menyusut dan hanya terkonsentrasi pada beberapa produsen tertentu.
Konsolidasi menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari karena anggaran pertahanan negara-negara tersebut mengalami penurunan pasca Perang Dingin. Sementara itu, di sisi lain, biaya pengembangan dan produksi sistem persenjataan semakin mahal dari dekade ke dekade; Misalnya, harga F-35 hampir enam kali lebih mahal dibandingkan harga F-16 penggantinya.
Dalam industri pertahanan dan kedirgantaraan, konsolidasi di Amerika Serikat menyebabkan General Dynamics dan McDonnell Douglas menghilang dari pasar, Lockheed dan Martin Marietta bergabung menjadi Lockheed Martin, sementara Northrop bergabung dengan Grumman menjadi Northrop.
Sedangkan di Eropa, Messerschmitt-Bölkow-Blohm, Aerospatiale dan CASA diserap oleh EADS sebelum EADS berganti identitas menjadi Airbus. Namun konsolidasi tidak selalu berhasil, seperti halnya kegagalan merger antara BAE dan EADS pada tahun 2012 akibat veto Kanselir Jerman Angela Merkel. Penting juga untuk dicatat bahwa tidak semua industri kedirgantaraan dan pertahanan Eropa melakukan konsolidasi, seperti Dassault Aviation.
Merger dan akuisisi industri dirgantara dan pertahanan di Barat tidak lepas dari aspek ekonomi, yaitu bagaimana menciptakan pasar yang kompetitif sehingga kita dapat menawarkan solusi teknis terbaik dengan harga dan harga terbaik kepada konsumen. Dari sisi politik, konsolidasi dilakukan agar eksistensi industri pertahanan nasional atau multinasional tetap terjaga sebagai bagian dari kapasitas kedaulatan.
Di Amerika, konsolidasi terjadi antar perusahaan pertahanan nasional, sedangkan di Eropa konsolidasi yang tercipta lebih bersifat multinasional, karena karakter Eropa lebih menekankan nilai-nilai bersama Eropa dibandingkan nilai-nilai nasional. Namun bukan berarti negara-negara Eropa tidak mengadopsi nilai-nilai nasionalnya, karena BAE Systems, Dassault Aviation, dan Saab adalah cermin politik dari kemampuan kedaulatan Inggris, Prancis, dan Swedia.
Konsolidasi industri dirgantara dan pertahanan khususnya produsen pesawat tempur terjadi seiring peralihan teknologi pesawat tempur dari generasi keempat ke generasi kelima. Di antara dua generasi teknologi terdapat transisi teknologi yaitu generasi 4.5 dengan fitur-fitur seperti beberapa pesawat tempur generasi keempat yang mengadopsi radar AESA, kemampuan manuver tinggi, semi-discretion, dan kemampuan sensor fusion.
Saat ini hanya ada dua pesawat tempur generasi kelima yang beroperasi, yaitu F-22 yang dirancang oleh Lockheed Martin dan dikembangkan pada awal 1990-an dan F-35 yang dikembangkan pada awal 2000-an menggunakan radar AESA, kemampuan super jelajah, full stealth, full sensor fusion dan penyimpanan senjata di badan pesawat.
Akibat konsolidasi tersebut, Amerika Serikat kini hanya memiliki tiga produsen pesawat tempur: Boeing, Lockheed Martin, dan Northrop Grumman. Eropa memiliki empat produsen pesawat tempur: Dassault Aviation, BAE Systems, Saab dan Leonardo, selain konsorsium Eurofighter.
Dari empat pabrikan dan satu konsorsium, hanya Dassault Aviation, Saab dan Eurofighter yang terus memproduksi dan memasarkan pesawat tempur generasi 4,5 tersebut. BAE Systems belum memiliki produk baru setelah Hawk 100/200, sedangkan Leonardo fokus memasarkan pesawat Lead-In Fighter Training (LIFT).
Saat ini, produsen pesawat tempur di Amerika Serikat dan Eropa mendedikasikan sumber dayanya untuk merancang dan mengembangkan pesawat tempur generasi keenam, seperti program Next Generation Air Dominance (NGAD) di Amerika Serikat dan program Future Air Combat System (FCAS) . , yang merupakan kolaborasi antara Dassault Aviation, Airbus dan Indra Systems.
BAE Systems, bersama Leonardo dan Mitsubishi Heavy Industries, telah membentuk kemitraan untuk Global Combat Air Program (GCAP). Salah satu ciri pesawat tempur generasi keenam adalah Manned – Unmanned Teaming (MUM-T), yaitu pesawat tempur manusia akan beroperasi bersama dengan pesawat tanpa awak atau disebut Loyal Wingmen.
Meskipun tidak jelas siapa kontraktor utama untuk program NGAD, program desain dan pengembangan pesawat tempur generasi keenam lainnya memiliki karakter serupa, yaitu kemitraan multinasional. Hal ini tidak dapat dihindari karena biaya Engineering, Manufacturing and Design (EMD) sangat tinggi, sedangkan produksi pesawat tempur tersebut diharapkan mencapai skala ekonomi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Perancis dan Spanyol berkolaborasi dalam program FCAS, sedangkan Inggris, Italia, dan Jepang berkolaborasi dalam program GCAP. Kecuali Amerika Serikat, hampir tidak ada negara yang memiliki kapasitas fiskal untuk mengembangkan sendiri pesawat tempur generasi keenam.
Indonesia akan terus menjadi negara konsumen pesawat tempur karena tidak mempunyai kedaulatan atau kapasitas ekonomi untuk mengembangkan pesawat tempur sendiri. Meski Indonesia mengikuti program KF-21 bersama Korea Selatan, namun peran Indonesia dalam EMD pesawat tempur generasi 4,5 sangat terbatas.
Sebaliknya, setelah tahun 2030, Indonesia pasti membutuhkan pesawat tempur baru dan diperkirakan antara tahun 2025 hingga 2029 Kementerian Pertahanan akan melakukan akuisisi F-15EX produksi Boeing. Pertanyaannya adalah apakah setelah tahun 2030 Indonesia akan memiliki akses politik untuk membeli jet tempur generasi kelima.
Berdasarkan perhitungan politik dan rekayasa, mulai saat ini hingga tahun 2030 pilihan Indonesia untuk membeli jet tempur hanya berasal dari dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu Amerika Serikat dan Perancis.
Inggris tidak lagi memproduksi pesawat tempur, sedangkan akuisisi Rusia dan China sangat kecil kemungkinannya karena berbagai alasan politik, sedangkan Perancis tidak memproduksi pesawat tempur generasi kelima dan fokus pada produksi pesawat tempur generasi kelima generasi keenam.
Satu-satunya produsen pesawat tempur generasi kelima yang juga bisa diekspor adalah Amerika Serikat melalui F-35. Meskipun beberapa negara berkembang berupaya mengembangkan pesawat tempur generasi kelima, program mereka diperkirakan akan matang paling cepat setelah tahun 2040 jika mereka dapat mengatasi beberapa masalah teknik dan sistem propulsi.
Dari uraian tersebut terlihat jelas adanya benang merah antara konsolidasi industri dirgantara dan pertahanan, pasar yang diciptakannya, serta keterkaitan dan hubungan antar negara. Menghadapi kondisi tersebut, Indonesia harus mengantisipasi prospek pasar pesawat tempur global setelah tahun 2030 sejak dini agar bisa memiliki akses terhadap pesawat tempur generasi kelima.
Jika tidak direncanakan, hingga tahun 2045 Indonesia hanya mampu mengoperasikan pesawat tempur generasi 4,5. Penting untuk dicatat bahwa terdapat hubungan yang kuat antara teknologi pertahanan dan diplomasi, dimana teknologi tidak kebal terhadap pertimbangan politik dan ekonomi. (miq/miq)