illini news Siap-Siap Perdagangan Dunia, “Kiamat” Baru Muncul di Laut Dekat RI

Jakarta, ILLINI NEWS – Perdagangan global kini terancam ‘kiamat’ baru. Bukan di Laut Merah yang saat ini terkena dampak perang Israel melawan Hamas di Gaza, melainkan di laut lepas Indonesia, Laut Cina Selatan (LCS).

Peringatan para ahli pekan lalu, ILLINI NEWS International, Senin (14/10/2024). LCS sendiri merupakan jalur perdagangan penting bagi Tiongkok, Jepang, dan India, tiga negara dengan perekonomian terbesar di dunia.

Hal ini disebabkan oleh klaim Tiongkok atas hampir seluruh wilayah maritimnya, yang membuatnya berselisih dengan banyak negara ASEAN. Bahkan terjadi bentrokan antara Tiongkok, Filipina, dan Vietnam, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa perkembangan baru ini akan mengganggu perdagangan global.

“Perkembangan di Laut Cina Selatan harus menjadi perhatian pasar global dan rantai pasokan karena pentingnya jalur air ini bagi perdagangan internasional,” kata Marko Papic, kepala strategi geo-makro global di BCA Research.

“Laut Cina Selatan adalah jalur pelayaran paling berharga di dunia dalam hal nilai perdagangan yang melewatinya,” kata Papic, seraya menambahkan bahwa konflik di sana jelas merupakan ancaman bagi pelayaran global.

“Jalur laut sangat penting bagi barang dan komoditas untuk melewati Tiongkok, barang-barang buatan Tiongkok, yang kemudian dibawa ke belahan dunia lain,” imbuhnya.

Data mengenai skala pasti perdagangan yang melewati LCS sulit dilacak. Namun, Proyek Energi Tiongkok CSIS memperkirakan bahwa perdagangan senilai USD 3,4 triliun (sekitar Rp 52 triliun) melewati Laut China Selatan pada tahun 2016, yang mencakup 21% perdagangan global.

Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa 60% perdagangan maritim melewati Asia pada tahun yang sama. Dimana LCS membawa 1/3 pengiriman global. Cina – Filipina dan Vietnam

LSC sendiri berada di Pasifik Barat. Letaknya di antara Tiongkok, Taiwan, Filipina, Vietnam, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Kamboja, banyak di antaranya yang mengklaim perairan tersebut.

Namun Tiongkok mengklaim seluruh wilayahnya berdasarkan konsep “9 jalur”. Bahkan China menolak putusan pengadilan arbitrase internasional di Den Haag, Belanda, dan menolak klaim Beijing.

Hal ini menyebabkan meningkatnya ketegangan dengan banyak negara tetangga Tiongkok. Pasalnya, penjaga pantai Tiongkok kerap melanggar batas zona ekonomi eksklusif.

Awal bulan ini, misalnya, Filipina mengatakan sebuah kapal rudal Tiongkok melacak sebuah kapal Filipina dan mengarahkan laser ke sebuah pesawat patroli di dekat Crescent Shoal yang disengketakan. Hal ini menyusul serentetan kapal karam, meriam air, dan insiden lain yang melukai pelaut Filipina.

Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. menyoroti masalah ini pada KTT regional ASEAN Kamis lalu dan menyerukan diskusi mendesak mengenai proses LCS. Pada saat yang sama, ia menuduh Beijing melakukan pelecehan dan intimidasi.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Vietnam baru-baru ini mengutuk tindakan Tiongkok di Laut China Selatan. Vietnam mengatakan kapal-kapal Tiongkok menyerang kapal-kapal nelayan Vietnam.

“Dalam beberapa minggu terakhir, kita telah melihat meningkatnya ketegangan tidak hanya antara Tiongkok dan Filipina, tetapi juga dengan Vietnam,” kata Richard Heydarian, penasihat politik dan dosen senior hubungan internasional di Universitas Filipina.

“Saya pikir sampai lebih banyak negara ASEAN angkat bicara dan kita akan melihat lebih banyak bentrokan yang mengkhawatirkan,” tambah AS.

Menurut para ahli, risiko geopolitik meningkat di LCS, namun mereka menambahkan bahwa masih banyak alasan untuk menghindari semua konflik. Tiongkok sendiri disebut-sebut menggunakan taktik abu-abu untuk LCS melalui tindakan pemaksaan dan intimidasi dibandingkan konflik bersenjata.

“Taktik zona abu-abu, meski mengkhawatirkan, adalah contoh kesediaan Tiongkok untuk melewati LCS, namun tidak menghancurkannya,” kata Heydaryan.

Namun Amerika Serikat (AS) mungkin terlibat. Setidaknya itulah yang dikatakan Abdul Yacob, peneliti Asia Tenggara di Lowe Institute.

“Jika Tiongkok mulai mengambil tindakan yang mempengaruhi kebebasan navigasi, seperti menyatakan sebagian wilayah Laut Cina Selatan terlarang bagi kapal sipil, Amerika Serikat bisa semakin terlibat,” ujarnya.

“Bahkan saat ini, Tiongkok, termasuk semua pihak, ingin meningkatkan situasi menjadi konflik militer skala penuh,” tambahnya.

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *