berita aktual Cerita CT Transformasi Bisnis Media dari Era TV Hingga Digital

JAKARTA, ILLINI NEWS – Cherul Tanjung, pendiri CT Corp, berbagi kunci membangun bisnis yang bisa tumbuh dalam jangka panjang. Salah satu kuncinya, kata dia, adalah dengan “buy futures at current price” atau membeli berjangka dengan harga saat ini.

Cherul menceritakan pengalamannya memulai bisnis di industri media yang seringkali membutuhkan kreativitas. Setelah perencanaan pada tahun 1998, ia mulai memasuki bisnis media pada tahun 2001. Jadi, bisnis medianya sudah berjalan kurang lebih 23 tahun dan tidak mudah menurut metodenya.

Ketika CT dimulai, TV mendominasi pasar, sekitar 80% hingga 90%.

“Nah, dulu bisnis pertelevisian itu sederhana sekali. Saya punya pengalaman yang sangat sederhana. Apa yang harus dilakukan? Beli acara di rumah produksi, pasang iklan di TV, jual iklan. Model bisnisnya sangat sederhana,” kata CT 2024. pertamina. Creativepreneur Summit di JCC Senayan, Sabtu (24/8/2024).

“Yah, lalu kami berpikir. Apa bedanya jika saya melakukan hal yang sama? Antara TV kami dan TV lain. Saat itulah kami mulai berpikir untuk memulai TV kami sendiri.”

Ketika CT mencoba memulai produksinya sendiri, banyak orang mengira dia gila dan akan gagal. Ia pun mengakui, beberapa tahun pertama di bisnis media pasti “berdarah-darah”. Di tahun keempat mereka baru mulai bersinar.

“Nah, tahun kelima kita bisa jadi nomor satu,” jelas CT.

Ternyata yang membawa bisnis televisinya menjadi nomor satu adalah produksi acaranya sendiri. Salah satunya adalah “dunia lain” yang merupakan sejenis alam gaib.

“Kalau di belahan dunia lain, biaya produksinya sangat murah. Tadi biaya produksinya mungkin Rp 5 juta hingga paling banyak Rp 7,5 juta,” kata CT.

Ia berkelakar bahwa produksinya murah karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk semangat acaranya.

“Pendistribusiannya satu episode bisa mencapai Rp 1,2 miliar. Ini saatnya lho,” kata CT.

“Jadi, industri kreatif itu konyol. Persaingannya tidak ada gunanya. Kira-kira Rp 5-7,5 juta sampai Rp 1,2 miliar.”

TV tersebut konon rampung sekitar tahun 2016, padahal CT sukses. Setelah itu, beberapa iklan lagi harus dibuat di masa mendatang.

Sekitar tahun 2010, CT membeli detikcom seharga US$ 60 juta atau hampir Rp 500 miliar. Sekali lagi orang menganggap ini gila, karena membuat iklan online sendiri dari awal akan memakan biaya sekitar Rp 5 miliar, termasuk murah.

Oke, tapi tidak ada yang menyangka setelah 10 tahun akan ada perubahan yang disebut digitalisasi. Jadi ini namanya membeli masa depan dengan hari ini. Membeli masa depan di depan harga hari ini, kata CT.

Saat ini detiknetwork juga sudah banyak berkembang dan memiliki banyak organisasi media. Ia mengatakan, jika ada yang ingin membeli detikcom sekarang seharga US$ 1 miliar, ia tidak akan mau.

(fsd/fsd) Tonton video di bawah ini: Mighty Dollar, Pasar Rambut Lokal yang Terbuat dari Bahan Impor? Artikel Berikutnya Pria ini adalah orang terkaya di Afrika dengan pendapatan Rp 255 triliun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *