Jakarta, ILLINI NEWS – Kepolisian Indonesia tidak pernah kehabisan teladan yang bisa menjadi inspirasi mereka dalam menjalankan tugasnya. Kita ambil contoh dari kisah hidup Jenderal Polisi Hyogeng Imam Santos yang rela menyamar sebagai orang bodoh pada tahap penugasan untuk memecahkan sebuah kasus besar. Hobi rahasia umum
Hoegeng Imam Santoso menorehkan sejarah sebagai Kapolri periode 1968-1971. Meski telah menjadi orang nomor satu dengan sejumlah bintang, ia tetap menjalankan tugas yang secara realistis dapat ditangani oleh bawahannya, yakni menyamar.
Sekitar tahun 1970-an, angka penggunaan narkoba di Jakarta meningkat. Banyak generasi muda yang terjebak pada barang ilegal tersebut. Masyarakat sudah khawatir. Selain itu, peredaran narkoba di tingkat lokal seringkali berubah bentuk dan mudah didapat. Para pedagang asongan juga mungkin menjual narkoba dalam berbagai bentuk yang sulit dideteksi.
Di tengah kondisi tersebut, Hoegeng punya ide untuk menyamar dan mengungkap kasus besar tersebut. Dalam autobiografinya yang bertajuk Hoegeng: Oasis Keren di Tengah Perilaku Korup Pemimpin Nasional (2014), pria kelahiran 14 Oktober 1921 ini kabarnya langsung berkoordinasi dengan anak buahnya dan diminta berganti pakaian. sebagai anak muda dari tahun 70an.
Jadi saya pakai wig panjang, kemeja bermotif bunga, syal di leher, pokoknya seperti orang gila, kata Hoegeng.
Hoegeng kemudian diam-diam berkeliling ke berbagai tempat. Dari sana, ia bergaul dengan anak-anak muda perokok, yang sebagian besar berasal dari latar belakang elite.
Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata mereka melakukan hal-hal yang tidak biasa karena mengalami depresi. Tekanan yang kuat di lingkungan, baik di rumah, di tempat kerja, atau di sekolah, menyebabkan depresi pada diri mereka yang berujung pada lepasnya diri dari penggunaan narkoba.
Pada titik ini, satu benang merah dapat dideteksi dalam kasus besar. Selama persidangan rahasia, Hyogeng melakukannya sendiri. Tak ada seorang pun di masyarakat yang tahu kalau Kapolri menyamar sebagai orang bodoh.
Hoegeng menganggap aksi “turun gunung” di lapangan sebagai bentuk sosialisasi, meski ia sudah menyandang pangkat jenderal bintang empat.
“Saat saya jadi Kapolri misalnya, saya masih suka menyamar dan memantau situasi,” kata Hoegeng dalam Hoegeng: Polisi dan Realitas Ideal (1993).
Penyamaran bukan hal baru bagi pria asal Pekalongan ini. Karena masih di posisi rendah, Hoegeng melakukan hal tersebut. Ia pernah berpura-pura menjadi pelayan untuk mendapatkan informasi tentang pergerakan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1948.
Saat itu, Hoegeng ditugasi Kapolri Raden Said Soekant untuk menyamar sebagai pelayan di sebuah restoran. Ia kemudian ditugaskan sebagai pelayan di Restoran Pinokio di Yogyakarta. Kebetulan, restoran tersebut terletak di dekat rumah pribadi Hoegeng dan menjadi tempat bertemunya banyak orang dari berbagai kebangsaan dan profesi.
Seperti yang diharapkan, Hoengeng mudah mendapatkan informasi. Saat mengantarkan pesanan, ia selalu mendapat informasi dari warga, pedagang bahkan tentara Belanda. Segala informasi itu kemudian disampaikan kepada pimpinan untuk digunakan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hoegeng juga mencetak gol.
Kegemaran menyamar sebenarnya hanya satu dari sekian banyak contoh yang dicontohkan jenderal polisi ini. Sejarah mencatat, ia menjadi polisi yang jujur dan langka karena menentang suap di tengah korupsi. Namun Hoegeng sendiri dicopot dari jabatan Kapolri pada tahun 1971. Setelah pensiun, ia hidup sederhana hingga meninggal dunia pada 14 Juli 2004.
Meski sudah tiada, nama Hoegeng tetap hidup sebagai polisi teladan. Banyak pihak yang masih mencari dan akan selamanya mencari Hoegeng baru untuk membentuk kepolisian yang melindungi dan melayani masyarakat. (mfa/mfa) Simak video berikut ini: Video: Naskah Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global