JAKARTA, ILLINI NEWS – Salah satu fase sejarah kolonial Indonesia adalah masa pendudukan Perancis di bawah pimpinan Marsekal Hermann Willem Dandels (1808-1811). Pada tahun 1808, suku Dandel menguasai Hindia Belanda, yang sekarang dikenal sebagai Indonesia.
Sekadar diketahui, kedatangan Dandels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Timur merupakan atas perintah Kaisar Napoleon Bonaparte dan Raja Belanda Louis Napoleon. Sejak tahun 1795, Perancis menguasai seluruh wilayah jajahannya, termasuk Belanda dan Hindia Belanda.
Di Hindia Belanda, Dandels merancang berbagai pendekatan dan proyek jalan raya Aner-Batavia-Cirebon-Surabaya-Panarukan sepanjang 1.000 km yang terkenal.
Selama ini diajarkan bahwa pembangunan hanya mungkin terjadi berkat upaya masyarakat setempat. Setiap hari tanpa henti, penduduk asli terpaksa menimbun tanah untuk keperluan perlindungan dan pengangkutan tanaman dandelion. Juga diajarkan bahwa penduduk asli tidak dibayar saat bekerja.
Namun baru-baru ini beredar cerita bahwa Dandel sebenarnya membayar para buruh melalui Bupati. Namun upah tersebut tidak sampai ke tangan buruh, artinya mereka korup.
Benarkah tidak ada bukti?
Sejarawan Christopher Reinhart dari Universitas Teknologi Nanyang mengatakan ada dua kekurangan dalam cerita ini.
Pertama, perhitungan upah buruh korup. Reinhart menjelaskan, dana tersebut hanya cukup untuk sambungan jalan Ener-Batavia-Cereban, namun Dandels punya anggaran untuk proyek tersebut.
“Di proyek itu dananya ada. Namun karena tidak ada catatan transaksinya, maka belum bisa dipastikan apakah dana tersebut sudah diberikan kepada karyawan,” ujarnya kepada ILLINI NEWS, Jumat (16/8/2024).
Sejarah berdasarkan arsip dan sumber lain sangatlah penting. Arsip dapat melacak pendanaan proyek. Namun terkait aliran dana top-down, tidak ditemukan arsip atau dokumennya.
“Jadi, hal ini lebih tidak diketahui dibandingkan korupsi,” kata Reinhardt, yang memfokuskan studinya pada sejarah kolonial.
Kedua, surat keterangan gaji diberikan kepada bupati. Reinhart menjelaskan, proyek sambungan jalan khususnya dari Anir-Batavia-Cireban dikelola langsung oleh pemerintah kolonial hingga masyarakat. Tidak ada bupati yang memimpin.
Ia juga mendasarkan artikel ini pada sikap anti korupsi Dandels. Jika benar Bupati itu korup, maka sudah ada catatan terbukti melakukan korupsi.
“Kalau bupati atau salah satu anak buahnya korupsi di proyek yang dipimpin langsungnya, bisa dibayangkan orang itu dipenggal,” kata Reinhart. Minta bantuan keuangan
Jika proyek Anyer-Cirebon milik Daendels didanai, kondisi berbeda akan terjadi saat menghubungkan jalan dari Cirebon-Panarukan. Bupati pun dimintai dana untuk Dandella.
Pada tanggal 28 April 1808 di Semarang, Dandels mengadakan pertemuan di rumah gubernur pantai timur Jawa dan mengundang 40 atau lebih gubernur di Jawa. Dijelaskan, tidak ada dana untuk proyek tersebut pada masa pemerintahan kolonial saat itu.
Dandels mencatat, ada kesenjangan dana yang bisa digunakan untuk melanjutkan proyek tersebut, yakni pajak. Pada masa itu para bupati yang mewakili sultan mempunyai kekuasaan perpajakan, yaitu pajak dalam bentuk natura (hasil tanah) dan pajak tenaga kerja bagi bupati yang berupa kerja paksa rakyat.
Umumnya hak perpajakan diubah sesuai kebutuhan bupati. Namun kali ini Dandels meminta pengalihan hak proyek tersebut. Ketika hasilnya ditransfer, narasi mengenai kerja paksa adalah salah.
“Jadi walaupun dikatakan kerja paksa, itu juga salah,” tegas Reinhart.
Akhirnya setelah melalui berbagai dinamika dan tantangan, proyek jalan tersebut berhasil diselesaikan pada tahun 1810. Setelah itu, jalan tersebut digunakan untuk keperluan pertahanan dan transportasi. Berdasarkan hal tersebut, Jalan Raya Ener-Panarukan dikenal juga dengan nama Jalan Raya Pos.
Korupsi versi bupati
Detikcom mengutip Minggu (18/8/2024), seperti dilansir Anda Sri Hartik dalam buku Dua Abad Jalan Raya Penchura, konon sempat berbicara dengan Sultan Dandels saat jalan menuju kawasan Kesultanan Cireban sedang dibangun. dari Cirebon. Selain untuk meminta izin, perundingan dilakukan karena keuangan pemerintah Belanda tidak mencukupi untuk membayar upah buruh.
Sebaliknya, Dandelus mengumpulkan para bupati untuk memberinya kewenangan penuh dalam mengelola tenaga kerja. Namun dalam pelaksanaannya, bupati menjadi sangat korup.
Putra Linga Pamungkas, aktivis sejarah di Komunitas Sejarah Sirbon, mengatakan setiap pekerja dibayar 10 sen seminggu berupa beras dan garam. Namun gaji tersebut tidak dibayarkan oleh Bupati. Menurut Lingga, dari sinilah bermula praktik korupsi di kalangan bupati asli setempat.
“Belanda memberikan tenaga kerja kepada pribumi melalui bupati. Namun bupati tidak membayarnya kepada pribumi, tidak ada faktur atau catatan upah yang dibayarkan kepada pribumi oleh bupati. Banyak pribumi yang bekerja kelaparan,” Lingga dikatakan. (mfa/mfa) Simak video berikut ini: Video: Lihat Potensi Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal, Global Kisah Selanjutnya Jangan Kaget! Berapa banyak yang dibangun Belanda saat menjajah Indonesia?