Jakarta, ILLINI NEWS – Pedagang kaki lima (PKL) mudah ditemukan di Indonesia. Seringkali dijual di etalase toko, di pinggir jalan, atau bahkan di pinggir jalan.
Sepertinya banyak orang yang salah memahami asal usul kata ini. Banyak orang mengira istilah PKL disebabkan oleh dua kaki pedagang dan tiga roda pada gerobaknya.
Sebenarnya istilah ‘pedagang kaki lima’ ini tidak diciptakan oleh masyarakat Indonesia, melainkan karena adanya kesalahpahaman dalam penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah kolonial dan penduduk.
Bagaimana itu bisa terjadi?
Asal usul istilah ini dapat ditelusuri dari masa kepemimpinan Thomas Stanford Raffles di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Singapura, sekitar tahun 1810-an.
Raffles kemudian mengeluarkan perintah yang mewajibkan pemiliknya menyediakan jalan atau tempat bagi orang untuk berjalan kaki. Lebarnya lima atau lima kaki. Raffles percaya bahwa lebar lima kaki atau 1,5 meter akan membantu melindungi orang dari terik matahari dan hujan saat berjalan.
Namun perintah Raffles tersebut kurang jelas bagi masyarakat Indonesia dan Singapura yang dikuasai oleh penutur bahasa Melayu. Di Melayu, banyak orang yang menerjemahkan bahasa asing berdasarkan apa yang dijelaskannya. Misalnya wanita cantik digambarkan sebagai wanita cantik, bukan cantik.
Nah, seperti lima kaki, bahasa Indonesia menerjemahkannya menjadi lima kaki. Pada saat pekerjaan penerjemahan ini selesai, tempat yang diminta Raffles sudah penuh dengan pedagang. Dengan kata lain, tidak digunakan sebagai tempat lalu lintas orang.
Di sinilah muncul kata PKL. Ini mengacu pada vendor dalam radius lima kaki.
Situs resmi Perpustakaan Nasional Singapura menyatakan bahwa pedagang kaki lima atau “pedagang lima meter” sudah menjadi istilah umum untuk pedagang kaki lima atau pedagang kaki lima. Hal serupa juga terjadi di Indonesia.
Threes Susilastuti dalam Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988) menceritakan, selama tinggal di Batavia pada tahun 1870-an, ia banyak menjumpai pedagang kaki lima. Mereka biasanya menjual kebutuhan sehari-hari, makanan, dan obat-obatan.
Saat berjualan barang, pedagang kaki lima kerap berteriak keras untuk menarik perhatian pembeli. Dari sini banyak pembeli yang dengan mudah menemukan barangnya.
Namun menurut film dokumenter Susan Blackburn, Jakarta: 400 Years (1987), kehadiran PKL memicu protes Eropa. PKL dianggap mengganggu keindahan arsitektur kota, apalagi sebagian besar dari mereka adalah orang-orang kumuh dan berbisnis di depan rumah-rumah Belanda.
Namun, protes tersebut hanyalah sebuah insiden. Sebab, kehadiran PKL semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Apalagi setelah tahun 1930 atau krisis keuangan. PKL adalah cara yang bagus untuk menghasilkan uang karena dapat dilakukan dengan sedikit uang, namun membuka banyak peluang.
Hingga saat ini keberadaan PKL masih eksis dan menjadi sebutan bagi pedagang kaki lima yang berbisnis di pinggir jalan. (mfa/mfa) Simak videonya di bawah ini: Video: Lirik Produk Perawatan Rambut Lokal Prospek Bisnis Mendunia