Jakarta, ILLINI NEWS – Presiden Prabowo Subianto melalui Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan berencana mengubah struktur Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk mencapai keberhasilan dalam swasembada dan stabilisasi pangan. Ke depan, Bulog akan menjadi lembaga nirlaba yang tidak lagi berorientasi pada keuntungan, sehingga perannya sebagai penstabil pangan bisa lebih optimal seperti pada era Orde Baru Presiden Soharto.
“Untuk mencapai swasembada pangan, Bulog harus dikembalikan fungsinya, kelembagaannya harus bertransformasi, tidak bisa komersil lagi. Kalau komersil nanti masyarakat beli jagung, kadang hitung gabah. Bulog untung atau rugi kalau kalah nanti diverifikasi,” kata Zulkifli Hasan saat jumpa pers di gedung Graha Mandiri Jakarta, dikutip Sabtu (23/11/2024).
Kembalinya Bulog pada masa Orde Baru berarti kebangkitan kembali kejayaannya ketika Bulog berperan sebagai penyangga pasokan dan harga kebutuhan pangan negara.
Sekadar gambaran, kisah Bulog sendiri bermula dari gagasan Presiden Sohart tentang pengendalian harga pangan. Pada tahun 1966, lahirlah lembaga bernama Komando Logistik Nasional (Kolagnas). Sesuai dengan namanya, Colagnes mengelola logistik pangan nasional. Pada awalnya, Colagnes sudah mengimpor ratusan ribu ton beras untuk ketahanan pangan.
“Selama tahun 1966 Kolonjas mampu membeli 640.000 ton beras dari dalam negeri dan 308.500 ton beras dari luar negeri,” tulis Ahmad Dzaki Siradj dalam 70 Tahun Achmad Tirtosudiro: Profil Seorang Prajurit Angkatan Darat (1992:216).
Singkat cerita, nama Colonia berubah menjadi Bulog pada tahun 1967. Sejak saat itu, Presiden Soeharto menginginkan Bulog berperan sebagai penstabil harga pangan. Umumnya pada masa Orde Baru, Bulog bertugas mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, gandum, tepung terigu, dan bahan makanan lainnya.
Jika semua elemen itu terlalu tinggi, Bulog akan turun gunung sebagai stabilisator. Hal ini menjadikan Bulog sebagai lembaga yang kuat dan strategis. Kekuatan ini kemudian memungkinkan masyarakat Indonesia membeli barang-barang kebutuhan pokok dengan harga terjangkau. Bahkan bisa membuat Indonesia memecahkan rekor pencapaian swasembada pangan pada tahun 1980an.
Namun peran sentral dan strategis Bulog selama 32 tahun Orde Baru berubah ketika terjadi krisis moneter tahun 1997-1998. Saat itu, perekonomian Indonesia sedang lemah sehingga mendorong Presiden Soeharto menerima paket ekonomi IMF.
Paket pemulihan ekonomi IMF terutama mencakup tiga kebijakan: pengetatan sektor moneter, perbaikan perbankan, dan pengetatan fiskal. Sektor pangan juga terkena dampaknya. Ekonom Boediono dalam Indonesia’s Economic in Historical Trajectories (2016) mengatakan bahwa IMF mendesak pemerintah Indonesia untuk mengubah tugas Bulog, khususnya terkait fasilitas tenaga kerja.
Saat itu, Indonesia tidak bisa berbuat banyak karena sudah menjadi pasien IMF. Oleh karena itu, pemerintah menuruti keinginan IM dengan mengeluarkan dua keputusan presiden.
Pertama, Keputusan Presiden No. 45 Tahun 1997, membatasi tugas Bulog dari menangani bahan baku pokok menjadi beras dan gula saja. Kedua, Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1998 yang mengurangi tugas Bulog hanya menangani beras saja.
Proses pemotongan tugas Bulog kemudian resmi berlangsung dan berdampak pada sektor pangan Indonesia. (mfa/mfa) Simak videonya di bawah ini: Video: Prabovo Minta Bulog Amankan Pasokan dan Harga Minyak Artikel Berikutnya Prabovo Kembalikan Fungsi Bulog ke Era Soeharto, Ini Alasannya