Jakarta, ILLINI NEWS – Energi panas bumi Indonesia memiliki potensi besar sebagai pembangkit untuk menopang beban puncak (beban dasar). Meski demikian, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) mengakui pengembangannya menghadapi sejumlah tantangan.
Julfi Hadi, Presiden PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), mengatakan proyek panas bumi memiliki risiko yang tinggi. Ia mengatakan ada dua risiko utama yang perlu dipertimbangkan, yaitu risiko pengeboran dan risiko harga.
Menurut Julfi, risiko pengeboran menjadi salah satu tantangan terbesar. Namun hal ini dapat diminimalisir dengan pengelolaan yang baik.
Resiko pengeboran, kalau bisa kita kurangi, kemungkinan keberhasilan pengeboran bisa ditingkatkan dengan memulai yang lebih kecil terlebih dahulu di lahan kita yang besar, kata Julfi pada Rakornas REPNAS 2024 di Jakarta, Senin (14/01/2018). 10). /2024)
Julfi juga menyinggung perkembangan teknologi yang memungkinkan sumur-sumur yang sebelumnya tidak aktif dapat dihidupkan kembali dengan bantuan pompa.
Risiko kedua yang terekspos adalah risiko harga. Dia menjelaskan, pengurangan biaya tidak hanya soal pengurangan belanja modal (capex), tapi juga pemanfaatan teknologi secara maksimal.
“Kita bisa mengendalikannya dengan mengembangkan teknologi, meningkatkan produksi dari sumur sebanyak-banyaknya, dan pembangkit listrik sebanyak-banyaknya. Biaya tetap akan turun,” tutupnya.
Julfi juga mengatakan kolaborasi dengan asosiasi energi panas bumi menjadi kunci pengurangan biaya di masa depan, terutama dengan kesepakatan penggunaan peralatan panas bumi tertentu. Hal ini diharapkan dapat mengurangi biaya pengeboran selama lima tahun ke depan.
PGEO juga ingin perusahaan berkomitmen menambah PLTP berkapasitas 1.000 mega watt (MW) atau 1 giga watt (GW) dalam 2-3 tahun ke depan.
(hura/hura) Tonton video di bawah ini: Video: Penetrasi EV meningkat, produsen menuntut lebih banyak insentif Artikel berikutnya PGE menghadirkan paradigma baru dalam pengembangan energi panas bumi.