Jakarta, ILLINI NEWS – PT Mayora Indah Tbk (MYOR) mengkritik aturan pelabelan kandungan gula pada kemasan makanan dan minuman (mamin) yang diterapkan tanpa perubahan apa pun dan akan merugikan bisnis perusahaan.
Andre Sukendra Atmadja, Presiden Majora Group, mengatakan jika harus memproduksi permen bebas gula, biaya produksinya meningkat 4-5 kali lipat. Hal ini juga tepat karena dalam aturan tersebut, produk kembang gula otomatis mendapat label merah karena jumlah gula dalam produk kembang gula tersebut mencapai 40% dari total berat bersih 3 gram, yaitu 1,2 gram.
“(Biaya produksi) akan naik. Kalau dijadikan kembang gula bebas gula, bukan hanya naik 2x lipat, tapi bisa naik 4-5x (kenaikan biaya produksi),” kata Andre saat ditemui di Cikup. wilayahnya, Tangerang, Banten, Selasa (5 November 2024).
Perlu diketahui, kebijakan pelabelan rencananya akan diatur dengan peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah No. 343. Peraturan pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2024. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Pasal 194 Kitab Undang-undang Kesehatan mengatur bahwa penetapan batas maksimal kadar gula, garam, dan lemak harus berdasarkan kajian risiko dan standar internasional. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak secara tegas mengamanatkan kadar gula pada makanan kemasan, namun menetapkan batas konsumsi gula harian sebesar 50 gram.
Rencananya kebijakan pelabelan ini akan mengklasifikasikan produk pangan kemasan menjadi tiga warna, yakni merah, kuning, dan hijau. Label berwarna merah menandakan produk mengandung gula, garam atau lemak diatas batas anjuran konsumsi, label kuning menandakan kehati-hatian dan label hijau menandakan produk aman dikonsumsi.
Andre menilai adanya aturan pelabelan tersebut justru akan membingungkan konsumen karena makanan dan minuman berlabel merah dianggap tidak aman dan tidak sehat.
“Produknya sebenarnya oke, tapi setelah diberi label sepertinya ada masalah. Misalnya permen, kok permen (dapat labelnya) warnanya hijau, padahal harusnya merah. tidak mungkin kantongnya habis saat dimakan, “Tapi karena labelnya menyesatkan, karena warnanya merah, barangnya terlihat beracun,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah menciptakan level playing field antara industri makanan dan minuman kemasan dengan industri makanan dan minuman convenience, termasuk UMKM.
“Harus ada level playing field. Industri siap makan harus diberi label, yang biskuit label merah (konsumen) tidak beli, jadi kalau beli sama saja bohong atau lebih buruk lagi. Jadi kalau industri makanan dan minuman kita beri label pada kemasannya, artinya: “Industri makanan cepat saji juga harus bisa memberi label. Kalau tidak, berbahaya,” ujarnya.
Andre juga mengajukan dua alternatif kepada pemerintah untuk menjamin tetap terjaganya konsumsi gula masyarakat. Pertama, dengan memberikan tenggang waktu dua tahun hingga aturan tersebut diterapkan sepenuhnya.
Menurut dia, industri makanan dan minuman lokal memerlukan waktu untuk menyesuaikan resep setiap produknya. Sementara itu, Andre menilai perlu waktu lama agar masyarakat mendapat edukasi yang cukup mengenai konsumsi makanan kemasan rendah gula.
Kedua, ia mengusulkan agar kebijakan pelabelan fokus pada agenda “Pilihan yang Lebih Sehat”. FYI, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) telah menerapkan logo centang hijau untuk makanan kemasan yang rendah gula, garam, dan lemak.
Andre yakin program Pilihan yang Lebih Sehat pada akhirnya akan mendorong produsen untuk memproduksi produk dengan kandungan gula, garam, dan lemak yang lebih rendah. Hal ini disebabkan efektivitas penerbitan program yang dimulai pada tahun 2021.
Dengan program “Pilihan Sehat”, konsumen akan menjadi lebih teredukasi dalam 2-3 tahun ke depan dan pada akhirnya beralih ke makanan dengan kandungan gula, garam, dan lemak yang lebih rendah. Dengan begitu, produsen akan mengelola bisnisnya dengan lebih stabil,” tutupnya. (dce) Simak video berikut: Video: Majora ekspor Rp 1,57 miliar ke Malaysia dan Palestina Artikel berikutnya “PP Kesehatan” pada rokok dan tembakau Ini poin penting